NU Benteng Indonesia

 
NU Benteng Indonesia

Setelah sukses melakukan Islamisasi di Pulau Jawa, Walisongo kemudian melanjutkan dan memfokuskan dakwahnya dalam ranah pendidikan. Salah satu sebab Walisongo cepat diterima di kalangan masyarakat Jawa kuno, tak lain karena strategi dakwah mereka yang sangat jitu. Adapun strategi dakwah yang mereka lakukan, yaitu dengan jalan mendialektikakan dan mengakulturasikan budaya lokal dengan agama Islam. Hal itu bermula dari paradigma mereka terhadap kebiasaan masyarakat Jawa, bahwa masyarakat pribumi kala itu sangat erat akan budaya. 

Dalam hal itu, berdasarkan asumsi penulis, mereka mencoba melakukan semacam pendekatan terhadap masyarakat yang erat akan budaya. Dengan kata lain, strategi dakwah mereka lebih menitikberatkan terhadap apa yang masyarakat butuhkan. Dalam artian, mereka berdakwah, tapi di dalam dakwahnya tersebut mereka juga ingin mencoba menjadi manusia yang bermanfaat kepada sesamanya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa mereka dalam dakwahnya menjunjung tinggi Khoir Al-naas Anfauhum Li Al-naas

Setelah ajaran dakwah mereka yang merupakan manifestasi antara budaya dengan agama Islam, lalu kemudian di dalam masyarakat membentuk suatu kemapanan struktur dan tatanan sosial, barulah mereka membangun pesantren sebagai sentralistik dakwah mereka. Peran pesantren di sini masih berfungsi sebagai menjaga ajaran budaya mereka yang telah mapan di masyarakat dan sebagai pusat kegiatan mengajarkan ilmu keislaman. Kemapanan ini secara turun-temurun dapat terjaga sampai ketika bangsa Barat menjajah negeri ini. Akibat penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Barat, sehingga peran pesantren di sini bertambah satu lagi, yaitu melakukan pengusiran terhadap bangsa Barat tersebut.

Seperti yang diceritakan oleh sejarawan Indonesia Agus Sunyoto yang masih menjadi pengurus di PB NU di bagian Ketua Umum LESBUMI, bahwa kejadian pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan pesantren tersebut terjadi secara turun temurun. Walaupun dalam pemberontakan itu mereka tidak berhasilan mengusir penjajah dari tanah air, namun kejadian tersebut tidaklah menyurutkan semangat dan tekat mereka. Bahkan semangat dan tekat mereka bertambah sangat dari waktu ke waktu. Pihak penjajahpun mengakui akan kesulitannya dan kewalahan dalam menyurutkan pemberontakan yang tak kunjung usai tersebut. 

Hingga pada akhir abad ke-19, masih berdasarkan cerita Agus Sunyoto, bahwa pihak Belanda kemudian memanggil seorang ahli ilmu sosiologi berdarah Belanda, yaitu Snouck Horgrounje. Dalam pandangannya tehadap masyarakat Jawa, menghasilkan asumsi bahwa Islam masyarakat Indonesia hanya luarnya saja Islam, namun dalamnya adalah Hindu dan Budha. Sampai pada sekitar tahun 1900, kemudian dia mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mendirikan lembaga pendidikan berbentuk sekolah untuk masyarakat di Indonesia dengan tujuan agar dapat membendung pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan pesantren. 

Ternyata strategi yang dilakukan oleh Snouck Horgrounje berhasil. Dengan dibangunnya sekolah yang kala itu hanya diajarkan pemahaman keislaman secara tekstual dari al-Quran dan al-Hadits tanpa interpretasi dari ulama salaf. Dalam bahasa masyarakat pesantren, hal itu lumrah disebut sebagai tanpa adanya pemahaman dari kitab kuning, sehingga masyarakat lulusan sekolah ini berbeda pemahaman dengan kaum santri dan kiai. Dari sini muncul lah aliran-aliran baru yang berbeda pemahaman dari mereka yang mudah mengkafir-kafirkan. Mereka juga membidah-bidahkan bahkan tidak segan sampai mensyrik-syirikkan budaya Islam Nusantara yang diajarkan oleh Walisongo. 

Misal, seperti HTI, LDII, PERSIS dan lain sebagainya. Aliran-aliran ini biasa juga disebut sebagai kelompok tekstualis atau radikalis. Sehingga kalangan pesantren memiliki dua lawan, yaitu lawan eksternal dan internal. Eksternal berasal dari pihak Belanda, internal berasal dari pecahan aliran-aliran Islam sendiri. Akibat dari bertambahnya lawan dari kalangan pesantren ini, baik itu lawan dari pihak internal maupun eksternal, sehingga lambat laun pemberontakan yang dilakukan oleh kaum pesantren pun dapat dibendung. 

Sampai usaha terakhir yang dilakukan oleh kalangan pesantren guna mempertahankan agama, budaya dan tanah air adalah dengan mendirikan suatu jam'iyah dalam bidang sosial dan keagamaan. Jam'iyah ini diberi nama sebagai Nahdlatul Ulama. Secara etimologi, NU merupakan persatuan atau kebangkitan para ulama. Sudah merupakan barang tentu bahwa para faunding father menamakan jam'iyah ini sebagai NU, tidak serta-merta menamakan ja'miyah sosial dan keagamaan ini dengan asal temuan penamaan. Alasan kenapa jam'iyah ini dinamakan sebagai NU selain pada masanya untuk membendung banyaknya pecahan-pecahan aliran dalam islam yang mudah mengkafir-kafirkan dan memahami Islam secara tekstual tanpa disandarkan berdasarkan pemahaman ulama salaf, adalah karena didasarkan atas hadis Rasulullah al-ulama waratsah al-anbiya

Para faunding father dari jam'iyah ini berasumsi untuk dapat memahami ilmu-ilmu keagamaan sangat dibutuhkan pula pemahaman berdasarkan para ulama. Karena mereka adalah orang yang paling dekat dan paling bertaqwa kepada Allah, jadi pastilah mereka akan sangat berhati-hati dalam memutuskan suatu perkara terutama perkara yang menyangkut ranah keagamaan. Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam al-quran, innamaa yakhsya Allah min ibaadihi al-ulama

Tidak diragukan lagi pasca NU lahir, peran NU yang terhimpun dalam kalangan pesantren dapat dikatakan berhasil dan sukses dalam mengusir para penjajah. Namun, sisa dari pecahan aliran-aliran Islam yang dari dahulunya memecah belah umat Islam di Indonesia, yang disiasati oleh pihak penjajah tidak dapat menghilang bahkan pada masa sekarang sekalipun. Ini merupakan PR dari para faunding father yang dipercayakan kepada kita dan harus segera diselesaikan oleh kits, masyarakat NU saat ini.

Lawan yang berasal dari ormas Islam sendiri tidak harus diberantas dengan jalan berperang. Biar bagaimanapun, se-khilaf apapun mereka, namun tetap mereka merupakan saudara seagama kita. Dan kita sebagai saudara seagama mereka, sudah menjadi kewajiban untuk menegur sembari menyadarkan mereka dari kesalahannya. Kita harus menegur mereka dengan amr maruf bi al maruf atau dengan nahy an al-munkar bi al-maruf, bukan dengan cara amr maruf bi al-munkar atau nahy an al-munkar bi al-munkar. Meminjam bahasanya Malala Yosafzai, peraih Nobel perdamaian 2014, dia mengatakan melawan radikalisme dengan cara mengangkat senjata bukanlah jalan terbaik. Sebab radikallisme hanya bisa diatasi dengan pendidikan. Dengan pendidikan kita bisa memerangi atau bahkan memberangus radikalisme tersebut. 

Mereka mencita-citakan sebuah sistem yang baru di Negeri kita tercinta ini. Mereka mencita-citakan Indonesia menjadi suatu sistem khilafah atau daulah Islamiah. Ini merupakan suatu ancaman yang sangat signifikan tidak hanya dalam masyarakat di kalangan NU, bahkan Indonesia. Selain melakukan tindakan bi al-maruf, namun kita juga harus bertindak tegas, karena itu dapat menurunkan kedudukan pancasila dan NKRI, harga mati bagi seluruh masyarakat Indonesia. Seperti hasil keputusan muktamar NU di tahun 1953 di Palembang, keputusan muktamar ini salah satunya memutuskan bahwa NU tidak akan mendirikan khilafah atau daulah islamiah. Selain itu, keputusan muktamar di tahun 1953 ini juga memutuskan bahwa usaha mendirikan khilafah atau daulah islamiah di Indonesia merupakan mendirikan negara di atas negara. Hal ini dihukumi sebagai bughat (pemberontakan). Dan seluruh warga Negara Indonesia khususnya warga NU wajib memberantas segala bentuk bughat. 

Dari ulasan sejarah yang kita bahas di atas akan tampak sebuah benang merah bahwa fenomena Islam, lebih-lebih Islam al-nahdliyah di Indonesia ibaratkan dua sisi mata uang koin. Sama-sama berbeda sisi namun saling melengkapi antara sisi satu dengan sisi yamg lain. Meminjam bahasanya Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali atau yang biasa disebut sebagai Imam Al-Ghazali, mengatakan bahwa, "negara dan agama ibaratkan bangunan dengan penjaganya. Jika rumah tidak memiliki penjaga, maka jangan berharap rumah tersebut akan aman. Begitu pula dengan penjaga yang membutuhkan rumah untuk tempat berteduh dan berlindung." Wallahu a'lam bisshawab...

(Sulistya Ayu Anggraini, Santriwati Pemerhati NU)