Menelaah Strategi Pembangunan Peradaban Berlandaskan Kajian Tafsir Surat At-Taubah Ayat 122

 
Menelaah Strategi Pembangunan Peradaban Berlandaskan Kajian Tafsir Surat At-Taubah Ayat 122
Sumber Gambar: wikipedia.org, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ketika Perang Jawa berhenti karena Pangeran Diponegoro ditangkap, maka para prajurit santri memilih berdiaspora, menyebar ke berbagai kawasan pedalaman untuk merintis pendirian pesantren. Mereka berpegang teguh pada penjelasan Surat At-Taubah ayat 122. Bahwa, selain berjihad di medan perang, harus ada yang tetap tafaqquh fid din. Pesantren adalah wadahnya. Saat itu mereka beranggapan apabila Diponegoro suatu waktu akan kembali memimpin perlawanan terhadap kolonialisme, maka di pesantren para ulama juga mengajarkan beladiri, pertabiban, di samping ilmu-ilmu agama.

Zainul Milal Bizawie dalam bukunya Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945) menjelaskan, bahwa para ulama veteran Perang Jawa berkomitmen dengan penanda di lokasi masing-masing sebagai wujud persatuan dan satu tekad melawan Belanda. Penanda itu adalah adanya dua pohon sawo di depan tempat tinggal masing-masing. Pohon sawo ini mengandung filosofi sawwu shufufakum yang artinya “rapatkan barisanmu”. Mereka mengacu pada Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, bahwa beliau bersabda:

سَوُّوْا صُفُوفَكُمْ، فإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلَاةِ

"Luruskanlah barisanmu, karena sesungguhnya lurusnya barisan termasuk menegakkan shalat." (HR. Bukhari)

Peralihan strategi dari perjuangan bersenjata ke perjuangan pencerdasan masyarakat di bidang pendidikan ini di kemudian hari menampakkan hasilnya. Usai perang, strategi ini berhasil. Beberapa pesantren didirikan oleh veteran Perang Jawa, seperti Tremas, Pacitan (1830), Tambakberas (1825), Pondok Pesantren Al-Asyariyah Kalibeber Wonosobo (1840), PP. Qomarul Hidayah, Tugu, Trenggalek; Pesantren Kapurejo yang didirikan oleh Kyai Hasan Muhyi (Raden Mas Ronowidjoyo), seorang perwira tinggi dalam Detasemen Sentot Alibasah Prawirodirdjo, dan seterusnya.

Selanjutnya, para anak cucu veteran Perang Jawa ini juga merintis pendirian pesantren, seperti Pesantren Maskumambang Gresik (1859), Pesantren Berjan Purworejo (1870), Pesantren Arjawinangun Cirebon, Pesantren Al-Amin Prenduan Sumenep, Pesantren Kedunglo Kediri, Pesantren Genggong Probolinggo (1839), Pesantren Langitan Tuban (1852), Pesantren Rejoso Jombang (1885), Pesantren Guluk-Guluk Sumenep (1887), dan seterusnya.

Berikut landasan kajian tafsir Surat At-Taubah ayat 122:

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ

“Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?”

Di dalam Tafsir Marah Labid, Syaikh Nawawi Al-Bantani menjelaskan, bahwa sesungguhnya sesudah Rasulullah SAW membuka rahasia ketidakikutsertaan orang munafik dalam Perang Tabuk, maka kaum Muslim mengatakan, “Demi Allah, kami tidak akan tertinggal dari Rasulullah dan tidak pula tertinggal dari pasukan yang dikirim olehnya.” Dan, ketika Nabi Muhammad tiba di Madinah dari medan perang Tabuk, lalu mengirimkan pasukan-pasukan khusus kepada orang-orang kafir, maka seluruh kaum Muslimin berangkat ke medan perang, dan mereka meninggalkan Rasulullah sendirian di Madinah, lalu turunlah ayat ini yang memang berkenaan dengan peristiwa itu.

Sementara di dalam Tafsir Al-Mishbah, Prof. Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata Thaifah dapat berarti satu atau dua orang. Ada juga yang tidak menentukan jumlah tertentu, namun yang pasti jumlahnya lebih kecil dari Firqah. Firqah bermakna sekelompok manusia yang berbeda dengan kelompok lainnya. Karena itu, satu suku atau bangsa, dapat dinamai dengan istilah Firqah.

Bileh KH. Bisri Musthofa, ing ndalem Tafsir Al-Ibriz, sampun mertelaake, istilah Ghazwah dan Sariyyah, iku mengkene maknane. Pasukan perang kang Kanjeng Nabi melu nindakake iku arane ghazwah, dene kang kanjeng Nabi ora nindakake dewe iku arane Sariyyah. Sa'jerone Kanjeng Nabi ono ing Madinah sepuluh tahun, ghazwah-ghazwah kedaden kaping pitu likur, dene sariyyah-sariyyah kedaden kaping patang puluh pitu.

Saweneh qaul ngarani mengkene:

1. Pasukan kang anggotane punjul saking satus tumeko limangatus iku den sebut Sariyyah

2. Pasukan kang punjul saking limangatus hinggo wulungatus, den sebut Mansar

3. Pasukan kang punjul saking wulungatus hinggo patang ewu, den sebut Jaisy

4. Pasukan kang punjul saking patang ewu, den sebut Jahfal

Demikian uraian KH. Bisri Musthofa dalam kitab tafsirnya yang berbahasa Arab Pegon.

Lalu melalui ayat ini, Buya Hamka, dalam Tafsir Al-Azhar, menjelaskan bahwa semua golongan harus berjihad, turut berjuang, tetapi Rasulullah kelak membagi tugas mereka. Ada yang berjihad di garis depan, ada juga yang berjihad di garis belakang. Sebab itu, kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang ilmu agama adalah bagian dari jihad fi sabilillah juga.

Dalam pandangan Buya Hamka, bisa dikata, selama Rasulullah hidup, keadaan selalu mengalami revolusi. Musuh mengepung dari segala penjuru. Maka, ayat ini memberikan tuntunan jangan lengah tentang nilai apa yang seharusnya diperjuangkan. Dalam periode selanjutnya, keadaan juga berlangsung genting. Terjadi perang saudara, perebutan kekuasaan, dan tindakan brutal lain, namun tetap ada di antara mereka yang tafaqquh fid din. Karena itu, kita juga mengenal di antara para raja besar, juga ada para ulama agung yang sezaman dengannya.

Napoleon Bonaparte, menurut Buya Hamka, melakukan dua langkah strategis ketika menjajah Mesir. Dia datang dengan pasukan dan para ilmuwan. Para ilmuwannya yang tergabung dalam Komite Besar Ilmiah menggali rahasia Mesir, hingga memunculkan Egyptologie, yaitu segala ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Mesir. Komisi yang dibawa Napoleon memang datang dalam rangka perang, namun kelak membawa hasil besar dalam kemajuan penyelidikan sejarah. 

Demikian peradaban dibangun dengan keilmuan. Tidak semua harus turut dalam perang fisik untuk menumpas kemungkaran, tetapi sebagian juga diperlukan kalangan ilmuwan yang fokus dalam pengembangan ilmu pengetahuan, agar kelak generasi seterusnya tidak kehilangan jejak ilmu pengetahuan yang menjadi pondasi dalam membangun peradaban. Wallahu A’lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 15 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Rijal Mumazziq Z.

Editor: Hakim