Biografi Kyai Ageng Juru Mertani (Patih Kesultanan Mataram Islam Pertama)

 
Biografi Kyai Ageng Juru Mertani (Patih Kesultanan Mataram Islam Pertama)

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Kyai Ageng Juru Mertani
1.3  Nasab Kyai Ageng Juru Mertani
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Juru Mertani  

2.1  Guru-guru Kyai Ageng Juru Mertani

3.  Penerus Kyai Ageng Juru Mertani

3.1  Anak-anak Kyai Ageng Juru Mertani
3.2  Murid-murid Kyai Ageng Juru Mertani

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Juru Mertani

4.1  Mengatur Strategi Untuk Menaklukkan Arya Penangsang
4.2  Membantu Mendirikan dan Menjaga Kesultanan Mataram Islam
4.3  Mengatur Siasat Melawan Pemberontakan Kyai Ageng Mangir

5.  Keteladanan Kyai Ageng Juru Mertani

6.  Referensi

 

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Kyai Ageng Juru Mertani adalah putra Kyai Ageng Sobo atau Kyai Ageng Wonosobo, putra Sunan Kidul, putra Sunan Giri anggota Walisanga pendiri Giri Kedaton. Ibunya adalah putri dari Kyai Ageng Sela, yang masih keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad). Juru Mertani memiliKi adik perempuan bernama Nyai Sabinah yang menikah dengan Kyai Ageng Pamanahan, putra Kyai Ageng Ngenis, putra Kyai Ageng Sela. Dengan demikian, Kyai Ageng Pemanahan adalah adik sepupu sekaligus ipar Juru Mertani.

1.2 Riwayat Keluarga Kyai Ageng Juru Mertani

Kyai Ageng Juru Mertani mempunyai anak yaitu:

  1. Pangeran Manduro 
  2. Pangeran Juru Kiting 
  3. Pangeran Juru Wiroprobo 
  4. R Ayu Ronggowongso Hadiprojo 

1.3 Nasab Kyai Ageng Juru Mertani

Nasab Kyai Ageng Juru Mertani beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW. Dengan Silsilah sebagai berikut :

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
  3. Al-Imam Al-Husain
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
  11. As-Sayyid Ubaidillah
  12. As-Sayyid Alwi
  13. As-Sayyid Muhammad
  14. As-Sayyid Alwi 
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih 
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin 
  22. As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy
  23. As-Sayyid Maulana Ishaq
  24. As-Sayyid Ainul Yaqin (Sunan Giri)
  25. Sunan Kidul
  26. As_Sayyid Abdullah Al-Akbar atau Kyai Ageng Wonosobo atau Pangeran Sobo
  27. Kyai Ageng Juru Mertani

1.4 Wafat

Kyai Ageng Juru Mertani diperKirakan wafat di tahun 1615. dan dimakamkan dikomplek pemakaman Mataram di Kota Gede.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Kyai Ageng Juru Mertani

Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Kyai Ageng Wonosobo atau Pangeran Sobo

2.1 Guru-guru Kyai Ageng Juru Mertani

  1. Kyai Ageng Wonosobo atau Pangeran Sobo atau As_Sayyid Abdullah Al-Akbar
  2. Kyai Ageng Sela
  3. Sunan Kalijogo
  4. Kyai Ageng Banyu Biru

3  Penerus Kyai Ageng Juru Mertani

3.1 Anak-anak Kyai Ageng Juru Mertani

  1. Pangeran Manduro 
  2. Pangeran Juru Kiting 
  3. Pangeran Juru Wiroprobo 
  4. R Ayu Ronggowongso Hadiprojo 

3.2 Murid-murid Kyai Ageng Juru Mertani

  1. Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya
  2. Pangeran Benowo
  3. Pangeran Rangga

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Kyai Ageng Juru Mertani

Nama Kyai Ageng Juru Mertani muncul dalam Babad Tanah Jawi sebagai tokoh yang mendesak Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi agar berani mengikuti sayembara menumpas Arya Penangsang. Arya Penangsang adalah bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja Demak tahun 1549. Sayembara diadakan oleh Hadiwijaya bupati Pajang dengan hadiah, tanah Pati dan Mataram. Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi semula tidak berani mengikuti sayembara karena takut pada kesaktian Arya Penangsang. Setelah Kyai Ageng Juru Mertani berjanji menjadi pengatur strategi, maka keduanya pun berangkat mendaftar.

Kerajaan Mataram Islam dirintis oleh tokoh-tokoh keturunan Raden Bondan Kejawan putra Bhre Kertabhumi. Tokoh utama Perintis Kesultanan Mataram adalah Kyai Ageng Pamanahan, Kyai Juru Mertani dan Kyai Panjawi mereka bertiga dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram".

Ada beberapa fakta yang menguatkan mereka dianggap sebagai perintis Kesultanan Mataram yaitu :

Fakta 1 : Tokoh-tokoh perintis tersebut adalah keturunan ke 1 sampai dengan ke 6 raja Majapahit terakhir Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V, yang sudah dapat dipastikan masih memiliKi pengaruh baik dan kuat terhadap Kerajaan yang memerintah maupun terhadap masyarakat luas.

Fakta 2 : Tokoh-tokoh tersebut adalah keturunan Silang/Campuran dari Walisongo beserta leluhurnya yang terhubung langsung kepada Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib, yang sudah dapat dipastikan mendapatkan bimbingan ilmu keagamaan (Islam) berikut ilmu pemerintahan ala khilafah / kekhalifahan islam jajirah Arab. Hal ini terbukti dalam aktivitas keseharian mereka juga sering berdakwah dari daerah satu ke daerah lainnya dengan mendirikan banyak Masjid, Surau dan Pesantren.

Fakta 3 : Para perintis tersebut pada dasarnya adalah "Misi" yang dipersiapkan oleh para Syekh dan para Wali (Wali-7 dan Wali-9) termasuk para Al-Maghrobi yang bertujuan "mengislamkan Tanah Jawa" secara sistematis dan berkelanjutan dengan cara menyatu dengan garis keturunan kerajaan.

Fakta 4 : Suksesi Kesultanan Demak ke Kesultanan Pajang kemudian menjadi Kesultanan Mataram pada dasarnya adalah kesinambungan dari "Misi" sesuai Fakta 3, seperti juga yang terjadi dengan Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang, Kerajaan Talaga Majalengka dan Kerajaan Sarosoan Banten, di luar adanya perebutan kekuasaan.

Dengan demikian dari keempat fakta di atas, jelas sudah bahwa terbentuknya Kesultanan Mataram pada khususnya dan Kesultanan Islam di Jawa pada umumnya merupakan strategi yang dipersiapkan oleh para Syekh dan para Wali untuk mempercepat menyebarnya Islam di Tanah Jawa, sehingga salah satu persyaratan pembentukan Kesultanan Islam baik di Jawa maupun di daerah lainnya harus mendapatkan "Legitimasi/Pengesahan" dari Mekah dan/atau Turki, jalur untuk keperluan tersebut dimiliki oleh para "Ahlul Bait" seperti para Syekh dan para Wali.

Kyai Ageng Juru Mertani adalah putra dari Kyai Ageng Wonosobo, seorang alim Ulama yang berdakwah dan menyebarkan ajaran Islam di daerah Wonosobo. Beliau masih keturunan dari Sunan Giri yang mendirikan Giri Kedaton. Sejak kecil beliau dibimbing dan dididik oleh ayahandanya di derah Wonosobo. Setelah beranjak dewasa beliau belajar olah kanuragan dan strategi kepada Kyai Ageng Selo yang terhitung masih kakek beliau. Disanalah beliau berlatih dengan Kyai Ageng Pemanahan, Kyai Ageng Penjawi dan Raden Mas Karebet. Dalam pelajaran tersebut Kyai Ageng Selo melihat bakat Kyai Ageng Juru Mertani dalam hal strategi dalam peperangan maupun politik. Oleh karenanya jika terkait misi yang ditugaskan oleh gurunya maka Kyai Ageng Juru Mertani yang akan ditunjuk sebagai pemimpin dari misi tersebut.

Sosok Kyai Juru Mertani digambarkan sebagai seorang Petani yang berwawasan negarawan, disaat para bangsawan lain lebih tertarik untuk mengolah ketrampilan fisik , pada masa mudanya Kyai Juru Mertani  lebih tertarik  pada ilmu agama, olah rasa, serta ilmu ketatanegaraan, filsafat, psikologi maupun strategi . Meskipun demikian Kyai Juru Mertani adalah seorang guru  yang adem,  sederhana, bijaksana dan tidak ambisius akan kekuasaan,Beliau dikenal sebagai sosok yang bisa menahan emosi dan bisa mengendalikan  diri.

Beliau menghabiskan masa mudanya bersama sepupu sekaligus kakak iparnya yaitu Kyai Ageng Pemanahan , Beliau sangat mendukung kegiatan Kyai Ageng Pemanahan bahkan dalam berbagai peristiwa Kyai Ageng Pemanahan lebih percaya dengan nasehat Kyai Ageng Juru Mertani. Kyai Ageng Juru Mertani lah yang memberi semangat Kyai Ageng Pemanahan dan R Panjawi untuk ikut sayembara membunuh Aryo Penangsang, dan atas nasehat dan strategi beliau juga akhirnya pertempuran dimenangkan Danang Sutawijaya.atas dasar strategi Kyai Juru Mertani pula akhirnya tanah Hutan Mentaok bisa diberikan oleh Sultan Pajang . Saran dari Kyai Juru Mertani pula, akhirnya pusat kerajaan Mataram dipilih oleh Panembahan Senopati  di Kotagede. Ketika Kyai Ageng Pemanahan wafat , Beliau sendirilah yang menghadap kepada Sultan Hadiwijaya untuk mengabarkan tentang wafatnya Kyai Ageng Pemanahan dan memohon perintah dari Sultan Hadiwijaya siapa yang berhak mengganti kedudukan Kyai Ageng Pemanahan di perdikan Mataram.

Kyai Juru Mertani meski tidak pernah terlihat adu fisik tetapi beliau adalah seorang yang sakti dan mumpuni karena ilmu spiritualnya yang tinggi. Beliau adalah salah seorang yang punya andil besar atas berdirinya kerajaan Mataram Islam.Sepeninggal Kyai Ageng Pemanahan, Kyai Ageng juru Mertani lah yang memberi saran, pitutur dan nasehat serta peringatan kepada Panembahan Senopati untuk tidak pernah memusuhi Sultan Hadiwijaya .

4.1 Mengatur Strategi Untuk Menaklukkan Arya Penangsang

Strategi untuk mengalahkan adipati Jipang disusun rapi oleh Juru Mertani. Mula-mula Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi mendaftar sayembara sambil membawa serta Sutawijaya (putra kandung Kyai Ageng Pemanahan). Hadiwijaya merasa tidak tega karena Sutawijaya telah menjadi anak angkatnya. Maka, ia pun memberikan pasukan Pajang untuk mengawal Sutawijaya.

Pasukan Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi yang terdiri atas gabungan orang Pajang dan Sela berangkat dan menunggu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Juru Mertani melarang mereka menyeberang karena sungai tersebut sudah dimantrai oleh Sunan Kudus, guru Arya Penangsang. Juru Mertani kemudian menangkap tukang kuda musuh yang sedang mencari rumput. Telinga orang itu dipotong dan ditempeli surat tantangan atas nama Hadiwijaya.

Si tukang kuda pulang ke kadipaten Jipang melapor pada majikannya. Arya Penangsang marah melihat pembantunya dilukai, apalagi terdapat surat tantangan agar Arya Penangsang bertarung tanpa kawan melawan Hadiwijaya di tepi Sungai Bengawan Solo.Arya Penangsang tidak kuasa menahan emosi. Ia pun berangkat melayani tantangan musuh. Siasat Juru Mertani berhasil. Apabila surat tantangan dibuat atas nama Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Panjawi, pasti Arya Penangsang tidak sudi berangkat.

Arya Penangsang tiba di tepi timur Bengawan Sore berteriak-teriak menantang Hadiwijaya. Ia tidak berani menyeberang karena ingat pesan Sunan Kudus. Namun Juru Mertani sudah menyusun rencana jitu. Sutawijaya disuruh naik kuda betina yang sudah dipotong ekornya.
Akibatnya, kuda jantan milik Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang bisa melihat alat vital si kuda betina. Kuda tersebut menjadi liar dan tidak terkendali sehingga membawa Arya Penangsang menyeberangi sungai mengejar kuda milik Sutawijaya.

Ketika Arya Penangsang baru saja mencapai tepi barat, Sutawijaya segera menusuk perutnya menggunakan tombak Kyai Plered. Perut Arya Penangsang robek dan ususnya terburai. Namun ia masih bertahan. Ususnya itu disampirkan pada pangkal keris pusakanya.
Arya Penangsang yang sudah terluka parah masih bisa meringkus Sutawijaya. Sutawijaya dicekik sampai tidak berdaya. Juru Mertani meneriaki Arya Penangsang agar bertarung secara adil. Karena Sutawijaya bersenjata tombak pusaka Kyai Plered, maka ia juga harus memakai pusaka jika ingin membunuh Sutawijaya.

Maka, Arya Penangsang pun mencabut keris pusaka Kyai Setan Kober yang terselip di pinggangnya. Akibatnya, usus yang tersampir di pangkal keris tersebut ikut terpotong, sehingga Arya Penangsang pun menemui kematiannya. Pasukan Jipang dipimpin Patih Matahun datang menyusul majikan mereka. Melihat Arya Penangsang tewas, mereka pun menyerbu untuk bela pati. Kesemuanya itu dapat ditumpas oleh Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi.

Sayembara telah usai. Kyai Juru Mertani menyusun laporan palsu bahwa, Arya Penangsang mati dikeroyok Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Panjawi. Apabila Hadiwijaya di Pajang mengetahui kalau pembunuh sebenarnya adalah Sutawijaya, tentu ia akan lupa memberi hadiah tanah Mataram dan Pati, mengingat Sutawijaya adalah anak angkat Hadiwijaya.

4.2 Membantu Mendirikan dan Menjaga Kesultanan Mataram Islam

Setelah mengalahkan Arya Penangsang tahun 1549, Kyai Ageng Pemanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Setelah hadiah dari Hadiwijaya diterima, Kyai Ageng Pemanahan selanjutnya minta izin kepada Sultan Hadiwijaya untuk menempati daerah Alas Mentaok/Mataram. Kyai Ageng Pemanahan berangkat menuju Alas Mentaok disertai dua orang menantunya, yakni Raden Dadap Tulis dan Tumenggung Mayang. Ditambah pula Kyai Ageng Ngenis, orangtua Kyai Ageng Pemanahan, penasihatnya Kyai Juru Mertani, serta putranya Danang Sutawijaya beserta pasukannya. Mereka mencari pohon beringin yang telah ditanam oleh Sunan Kalijaga sebelumnya. Pohon beringin tersebut Kini dikenal oleh masyarakat dengan nama waringin sepuh dan masih kokoh berdiri di dekat pintu masuk makam raja-raja Mataram Kotagede.
 
Daun-daunan dari pohon ini, oleh masyarakat setempat dipercayai memiliki tuah tersendiri. Dua helai daun yang jatuh dalam kondisi terbuka dan tertutup, dipercaya dapat menjadi bekal keselamatan dalam perjalanan. Setelah dicari, akhirnya ditemukan juga pohon tersebut. Kemudian dipilih tanah di sebelah selatan pohon beringin yang hendak dipakai untuk membangun halaman dan rumah untuk tempat tinggal Kyai Ageng Pemanahan beserta keluarga. Kyai Ageng Pemanahan, keluarga beserta pasukannya bekerja keras hingga pembangunan rumah dan halaman beliau selesai dalam waktu singkat. Begitu selesai, rumah tersebut segera ditempati Kyai Ageng Pemanahan sekeluarga, Banyak saudara-saudara asing yang tinggal di Mataram, sehingga menambah ramai dan makmur. 

Sejak saat itulah Kyai Pemanahan menjadi penguasa di Mataram, dan Kyai Ageng Pemanahan dikenal juga dengan nama Kyai Ageng Mataram. Kyai Ageng Pemanahan tunduk pada Kerajaan Pajang dan pada saat itu Mataram belum menjadi tanah perdikan, sehingga selalu berkewajiban melapor ke Kerajaan Pajang. Halaman dan rumah Kyai Ageng Pemanahan tersebut sekarang ada di kompleks dalam makam raja-raja Kotagede Yogyakarta. Alkisah ketika Kyai Ageng Ngenis (orangtua KyaiAgeng Pemanahan) meninggal dunia, Kyai Ageng Pemanahan menginginkan untuk menguburkannya di halaman rumah tersebut. Makam untuk keluarga dan kerabat Kyai Ageng Pemanahan. Sesudah Kyai Ageng Pemanahan mangkat dan dimakamkan di halaman rumah, Kyai Juru Mertani pergi ke Pajang dan memberitahukan tentang mangkatnya Kyai Ageng Pemanahan, Hadiwijaya terkejut dan berkata, “Kakang Juru Mertani, sebagai gantinya yang menjadi penguasa Mataram adalah putranya saja yaitu Danang Sutawijaya.

 Sekembalinya Kyai juru Mertani Dikisahkan bahwa Sutawijaya menjelang tengah malam . keluar dari istana disertai lima orang pengawalnya menuju Lipuro. Dan selanjutnya tidur di Kumuloso (sebuah batu hitam . yang halus permukaannya) tidak lama kemudian disusul oleh  pamannya yaitu Kyai Juru Mertani yang mencoba membangunkan  Sutawijaya, tiba-tiba ada sebuah bintang sebesar buah kelapa yang masih utuh terletak di kepala Sutawijaya. Bintang itu berkata  seperti manusia bahwa Sutawijaya kelak akan menjadi raja besar . . . yang menguasai tanah Jawa yaitu raja Mataram, turun temurun sampai anak cucu. .

 Kyai Juru Mertani pun lalu menasihati keponakannya tersebut untuk memohon lagi kepada Tuhan, agar dimudahkan.
  “ Ngger janganlah kamu memusuhi Sultan Hadiwijaya  yang tak lain adalah orangtuamu dan juga gurumu, Aku malu karena Kita yang berada di perdikan mataram sepertinya tidak tahu membalas budi baiknya. Bukankah kita telah diberi tanah dan wilayah untuk kita tempati dan kita bangun oleh Beliau? Aku minta Ngger, lebih baik sekarang mintalah dan berdoalah kepada Allah jikalau Sultan Hadiwijaya wafat  Angger bisa menggantikan Keratonnya.Tapi sekarang jangan sekali-kali memusuhi beliau, justru sebaliknya balaslah kebaikannya supaya batinnya rela jika Angger kelak menggantikannya sebagai Raja.” 

Selanjutnya membagi tugas untuk menemui penguasa Laut Selatan  dan Gunung Merapi. Keduanya berpisah sesuai kesepakatan. Memang sabda pandita itu mustahil wola wali. Apa yang dijanjikan Kanjeng Sunan Kalijaga benar terjadi. Paska meninggalnya Sultan Trenggono, Demak Bintara yang begitu kuat pengaruhnya di Jawa, akhirnya runtuh juga. Meskipun Pajang, dimana Sultan Hadiwijaya yang ketika itu memiliki istri anak dari Sultan Trenggono / Ratu Mas Cempaka pun demiKian, juga mengalami masa sulit mempertahankan kekuasaannya dan akhirnya tumbang.

Setelah tumbangnya kerajaan besar tersebut, Kyai Ageng Juru Mertani dengan segala ke-brilian-nya, meskipun masih terbilang usia muda, dia bergerak secara diam-diam mengadakan pertemuan-pertemuan penting dengan kalangan generasi Susuhunan (Sunan) para Priyagung (Hartawan yang bijak) para Pandita (Tokoh lintas agama) dan para Adipati (Penguasa wilayah) disepanjang pulau Jawa, dengan membawa Sabda Mukti Kanjeng Sunan Kalijaga, untuk menghimpun kekuatan demi berdirinya kerajaan Islam penerus Kerajaan Demak dan Pajang. Agar Jawa tidak diduduki bangsa asing (kolonial) juga tidak terjadi perang saudara demi memperebutkan kekuasaan yang berkepanjangan.

Dan apa yang terjadi?! Kyai Ageng Juru Mertani yang muda itu berhasil mengumpulkan kekuatan yang luar biasa. Sunan Bayat sebagai salah satu murid kesayangan Kanjeng Sunan Kalijaga pun terpesona dengan gagasan Kyai Ageng Juru Mertani demi keutuhan dan perdamaian Trah Jawa.
Bahkan beliau adalah satu-satunya pemuda Jawa brang Wetan (dari timur) yang berhasil diterima dengan baik inisiatifnya oleh Kasultanan Cirebon, untuk mendorong berdirinya kerajaan Islam paska runtuhnya Demak dan Pajang. Sejarah mencatat, Kasultanan Cirebon pun memiliKi kekerabatan yang kuat dengan Mataram Islam dari hasil pernikahan.

Kyai Juru Mertani menjadi penasihat Sutawijaya. Ia juga mendukung perjuangan Sutawijaya selama masih berada pada jalan yang benar. Juru Mertani pun berangkat bertapa ke puncak Gunung Merapi meminta bantuan penguasa di sana. Hasilnya, ketika terjadi perang melawan Pajang tahun 1582, Gunung Merapi tiba-tiba meletus dan memuntahkan laharnya menyapu pasukan Sultan Hadiwijaya.
Juru Mertani tidak hanya dikisahkan cerdik, tapi juga memiliKi kesaktian tinggi, meskipun tidak pernah diceritakan bertarung melawan musuh.

4.3 Mengatur Siasat Melawan Pemberontakan Kyai Ageng Mangir

Kisah lain yang terjadi pada masa kepemimpinan Sutawijaya atau Panembahan Senopati. Menarik juga untuk kita simak bersama. Panembahan Senopati ingin bisa menguasai seiuruh wilayah Mataram. Sayangnya, setelah beberapa kali mencoba, ia masih Saja belum mendapatkan hasil yang ia  inginkan. Karena bagaimanapun juga, beberapa penguasa wilayah tidak mau tunduk pada kekuasaannya. Salah satu di antaranya adalah Kyai Ageng Mangir Wanabaya. Pria tersebut merupakan penguasa daerah Mangir, sebuah desa perdikan atau desa yang tidak memiliki kewajiban membayar upeti kepada Kerajaan Mataram. Desa itu terletak seKitar 30 km dari Mataram, di dekat pertemuan Sungai Progo dan Sungai Bedok, yang Kini terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. 

Baginya, Desa Mangir tidak memiliki kewajiban untuk harus . tunduk pada kekuasaan Mataram. Oleh karena itu, bagi Panembahan Senopati, Desa Mangir dan seluruh warga dan pemimpinnya adalah duri dalam daging yang harus segera disingkirkan. ia pun sampai ‘berunding dengan Kyai Juru Mertani untuk membuat rencana menyerang Mangir. Namun, sang patih menolak rencana tersebut. Menurutnya. Kyai Ageng Mangir bukanlah lawan yang sepadan untuk Panembahan Senopati. Sebagai seorang keturunan Majapahit, pemimpin Desa Mangir tersebut tentu memiliKi banyak pendukung di daerahnya. Belum lagi, ia memiliki ‘tombak sakti bernama Kyai Baru Klinthing yang tidak akan bisa dikalahkan oleh Panembahan Senopati dengan mudah.

 “Jadi apa yang sebaiknya Kita lakukan, Patih?” tanya Panembahan Senopati. 
Kyai Juru Mertani tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. la berpikir keras mencani siasat yang lebih halus, dan dipastikan bisa memenangkan sang raja. 
“Menurut hamba, Kita harus menggunakan sebuah siasat, Baginda,” ucap Kyai Juru Mertani, 
“Kita bisa menggunakan siasat apus karma atau tipu daya halus, karena ia sangat menyukai hiburan ledhek atau ronggeng. Jika Baginda berkenan, Kita bisa mengutus Putri Baginda, Sekar Pembayun, untuk menyamar sebagai penari kemudian pergi ke Mangir.” 
“Untuk apa kita mengirim Sekar Pembayun?” tanya Panembahan Senopati. 
“Dengan kecantikannya, ia pasti bisa memikat sang pemimpin Desa Mangir hingga akhimya mereka menikah. Jika itu terjadi, berarti penguasa Mangir telah menjadi menantu Baginda. Mau tak mau, ia harus menghadap dan menghormati Mataram,” jawab Kyai Juru Mertani.
Jawaban fersebut membuat Panembahan Senopati tertegun. Pada satu sisi dia merasa khawatir karena rencana tersebut bisa mengancam keselamatan buah hatinya. Namun, di sisi lain, rencana tersebut sangat sempurna untuk bisa menjaga kewibawaan Mataram. Setelah memikirkannya matang-matang, Panembahan Senopati pun menyetujui rencana tersebut.

Tanpa menunggu lama,  ia langsung memanggil putrinya, Sekar Pembayun, dan Mengungkapkan rencananya. Sebagai seorang putri yang taat pada orang tuanya, Sekar Pembayun tak bisa menolak perintah itu. Sebelum memberangkatkan putrinya ke Mangir, Panembahan Senopati membentuk sekelompok seni musik ledhek yang terdiri dari para punggawa terkemuka di Mataram. Di antaranya ada ‘Adipati Martalaya yang ditunjuk sebagai dalang, Kyai Jayasupanta sebagai penabuh gamelan, dan Kyai Suradipa sebagai penabuh gendang. Masing-masing dari anggota ledhek tersebut memiliKi nama samaran. Adipati Martalaya Menggunakan nama Kyai Dalang Sandiguna dan Kyai Jayasupanta menjadi Kyai Sandisasmita. Tak hanya itu, Sekar Pembayun pun menggunakan nama samaran Waranggana. la berpura-pura menjadi seorang penari sekaligus putri dari Kyai Dalang Sandiguna yang dikawal oleh seorang istri bupati bernama Nyai Adirasa..

Grup kesenian ledhek itu harus berlatih selama beberapa saat dahulu agar terlihat lebih meyaKinkan. Panembahan Senopati pun menyiapkan peralatan berupa gamelan dan wayang  yang nantinya akan dibawa ke Mangir juga. Setelah persiapan yang matang, grup kesenian itu memulai perjalanannya menuju Mangir. Dalam perjalanan, mereka selalu mengadakan sebuah pertunjukan di setiap desa yang dilewati. Hal tersebut membuat nama mereka menjadi semakin dikenal di setiap desa hingga sampai ke Desa Mangir. 

Sebelum sampai wilayah Mangir, Raden Ajeng Pembayun beserta rombongan terlebih dahulu melakukan ritual kungkum (berendam) di sebuah sendang (kolam alami) yang konon merupakan petilasan Sunan Kalijaga. Air sendang tersebut diyakini mempunyai daya gaib, sehingga barangsiapa mandi di tempat tersebut akan memancarkan aura yang dapat memikat hati. Karena kisah tersebut, sendang itu terkenal sebagai Sendang Kasihan. Sendang tersebut dapat Kita kunjungi letaknya 2 km dari Pabrik Gula Madu Kismo Yogyakarta, tepatnya di Dusun Kasihan, Kelurahan Taman Tirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Oleh karena itu, ketika mereka tiba di tujuan mereka, grup kesenian palsu itu disambut dengan suka cita oleh Kyai Ageng Mangir. Apalagi, kebetulan saat itu tengah diadakan merti dusun atau bersih desa, sebuah pesta rakyat untuk mensyukuri nasil panen yang melimpah. Sang pemimpin desa langsung, meminta Kyai, Dalang Sandiguna untuk mengadakan pertunjukan di halaman rumahnya, la pun mengundang para warga untuk menyaksikan pertunjukannya bersama. 

Ketika pertunjukan ledhek-nya dimulai, Kyai Ageng Mangir terlihat sangat bahagia Terutama saat melihat gerak tari Sekar Pembayun yang lemah gemulai dan suara merdunya. Seperti dugaan Kyai Ageng Juru Mertani, sang pemimpin desa langsung terpikat dengan kecantikan Sekar Pembayun dan berniat untuk meminang sang putri. Padahal, selama ini belum ada satu wanita pun yang bisa memikat hatinya. . 
Ketika pertunjukan berakhir, ia langsung menemui Kyai Dalang Sandiguna.

“Kyai Dalang, siapakah wanita cantik penari itu?” tanyanya tanpa basa-basi. 
“la adalah Waranggana, Tuan, putri hamba,” jawab Kyai Dalang Sandiguna. 
“Jika berkenan perbolehkanlah aku meminangnya, Kyai,” pinta Kyai Ageng Mangir.  

Tentu saja hal yang diharapkan itu langsung mendapatkan persetujuan Kyai Dalang Sandiguna. Pesta pemikahan pun langsung direncanakan dan dilaksanakan sesegera mungkin. Sejak saat itu, Waranggana menjadi bagian dan keluarga Mangir. Sebaliknya, Kyai Ageng Mangir tanpa sadar telah menjadi bagian dan keluarga Mataram. Setelah pesta pernikahan selesai diadakan, rombongan Kyai Dalang Sandiguna yang kini telah menyelesaikan tugasnya pun kembali ke Mataram. Selama berbulan-bulan, Sekar Pembayun atau Waranggana tinggal di Desa Mangir dengan penuh kebahagiaan. la bahkan tengah hamil tua dan sangat menyayangi sang suami. . Namun, bagaimanapun juga, ia masih memiliki sebuah tugas dan sang ayah. Yaitu membawa suaminya ke Mataram untuk bertemu dengan Panembahan Senopati. Sang putri pun berusaha mencari momen yang tepat untuk mengungkapkan jati dirinya. 

Pada suatu malam, ketika suaminya tengah terlelap, Sekar Pembayun mengambil tombak “ Kyai Baru Klinthing milik suaminya. Kemudian, ia mengusapkan sampur sonder atau ikat pinggang yang ia gunakan untuk menari ke tombak tersebut. Hal itu membuat kesaktian _ tombak pusaka itu berkurang. Sesudahnya, ia membangunkan sang suami untuk membongkar jati diri yang sebenarnya.
“Kakanda, sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku ceritakan padamu. Namun, kumohon kanda berjanji tidak akan marah setelah mendengarnya’ pinta Sekar Pembayun dengan lembut.
“Katakan saja, Dinda. Aku berjanji tidak akan marah padamu,” ucap Sang suami.
“Sebenarnya namaku bukan Waranggana, kanda. Aku adalah Putri Sekar Pembayun, putri Panembahan Senopati dari Mataram” 

Pengakuan tersebut tentunya membuat Kyai Ageng Mangir terkejut. la tak pernah menyadari kalau rupanya wanita yang ia cintai adalah putri dari musuh terbesarnya. Pikiran dan hatinya pun menjadi tidak karuan. Ditambah lagi, Putri Sekar Pembayun mengajaknya untuk sowan atau menghadap ke Mataram. Tujuannya adalah untuk menunjukkan pengabdian dan baktinya sebagai seorang menantu, . Kyai Ageng Mangir semakin merasa seperti tengah berada di persimpangan jalan. Namun, ia tak memiliki alasan untuk menolak permintaan istrinya. Akhimya, meskipun dengan berat hati, Kyai Ageng Mangir setuju untuk sungkem kepada Panembahan Senopati di Mataram.

“Baiklah. Demi cintaku padamu dah rasa hormatku kepada mertua, aku akan sowan ke Mataram,” ucap Kyai Ageng Mangir dengan penuh keyakinan
Keesokan harinya, Putri Sekar Pembayun berangkat ke Mataram bersama suami, beberapa kerabat, dan pengawainya. Kyai Ageng Mangir tak lupa membawa tombak pusakanya, Kyai Baru Klinthing, rombongan ini berjalan selama berhari-hari menuju Kotagede, pusat dari Kerajaan Mataram. Sesekali, mereka berhenti di sebuah desa untuk beristirahat dahulu. Suatu hari, saat tengah beristirahat di sebuah desa, Kyai Ageng Mangir mendengar sebuah ' bisikan dari tombak pusakanya. “Kembalilah ke Mangir, Tuan! Jika Anda melanjutkan perjalanan ke Mataram, nyawa Tuan di pal(dipastikan) akan melayang.Meskipun begitu, Kyai Ageng Mangir tetap berniat untuk meneruskan perjalanannya. la tak peduii jika perjalanannya berisiko .sekalipun. Namun sebelum meninggalkan desa tersebut, ia menamai. wilayah itu sebagai Palbapang, yang berasal ‘dari kata pal atau ngepal yang . diucapkan tombak pusakanya;' 

Setelah beberapa lama melanjutkan perjalanannya, rombongan ini Kembali beristirahat di sebuah desa, Saat beristirahat suami dari Sekar Pembayun itu kembali teringat akan bisikan tombak pusakanya. ia merasa ngemban mentul, atau bimbang untuk melanjutkan perjalanannya atau tidak bagaimanapun juga, Panembahan Senopati adalah musuhnya. Namun, di sisi lain ia ingin menunjukkan baktinya sebagai seorang menantu yang baik. Meskipun merasa ragu, Kyai Ageng Mangir tetap memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.  Sekali lagi, sebelum melanjutkan perjalanannya, ia memberi nama daerah tersebut menjadi Bantul, diambil dari suasana hatinya yang ngemban mentul. 

Ketika sampai di Mataram, rombongan ini mendapatkan sambutan meriah dari para kerabat Istana. Kerajaaan Mataram juga mengadakan pesta yang disebut dengan ngunduh mantu. Di depan keraton, sudah disiapkan tarub atau teratak yang dijaga oleh Kyai Juru Mertani. Saat Kyai Ageng Mangir hendak melewati tarub tersebut, Kyai Juru Mertani menghentikannya. Rupanya, pesta ngunduh mantu sudah diatur sedemiKian rupa untuk menjebak Kyai Ageng Mangir,
“Maaf, Kyai, menurut hamba sangat tidak sopan jika seorang menantu sungkem kepada mertuanya dengan membawa senjata,” ucap Kyai Juru Mertani. 

Bukannya merasa kesal, Kyai Ageng Mangir langsung melepas semua senjata yang ia bawa, _ termasuk Kyai Baru Klinthing. Kemudian, ia dan istrinya sungkem kepada Panembahan Senopati. Sang raja sendiri memberikan sambutan yang hangat pada putri dan menantunya. Tanpa sadar, keramahtamahan ini membuat sang menantu terlena. Kyai Ageng Mangir sampai duduk bersimpuh dan bersembah sebagai bentuk penghormatan. Akhirnya di hukumlah Kyai Ageng mangir sampai tewas. Putri Sekar Pembayun yang menyaksikan seluruh peristiwa tersebut dalam jarak dekat langsung menangis histeris. Penyesalan pun muncul di dalam dadanya. Kunjungannya ke Mataram pada akhirnya hanya menjadi sebuah petaka atas gugurnya suami yang ia cintai,

Dalam Babad Tanah Jawi juga mengisahkan, Sutawijaya memiliki putra sulung bernama Raden Rangga yang suka memamerkan kesaktiannya dan pemarah. Ketika berjalan, Raden Rangga tidak mau berbelok atau memutar kendati ada batu besar atau pohon di depannya. Sayangnya, watak atau pembawaan Raden Rangga cepat marah. Ketika tersinggung atau marah ia akan memukul siapa pun yang ada di dekatnya.
Suatu waktu ada seorang pendekar dari Banten yang datang untuk menantang Panembahan Senopati. Mengetahui hal itu Raden Rangga maju menghadapi sang pendekar. Pertarungan itu mengakibatkan kematian sang pendekar. Raden Rangga menang. Kemudian di lain waktu ada rombongan pengamen dengan keahlian sulap, sihir, dan bermain pedang yang datang ke wilayah Kerajaan Mataram Islam. Raden Rangga dengan berpakaian rakyat biasa menantang pimpinan rombongan pengamen tersebut untuk mengadu kesaktian.

Lagi-lagi, Raden Rangga berhasil memenangi adu kekuatan saat itu. Sepak terjang Rangga sampai ke telinga Panembahan Senopati. “Akhirnya Raden Rangga dipanggil, diingatkan jangan suka pamer kekuatan. Di atas langit masih ada langit,” ujar Nuky.
Seusai menasihati Raden Rangga, Panembahan Senopati meminta putranya itu untuk membengkokkan salah satu jarinya. Permintaan itu pun dituruti sang putra. Namun setelah berusaha keras dengan semua kekuatan, usahanya gagal.

Saat itu lah, Raden Rangga didorong oleh Panembahan Senopati menggunakan jentikan jarinya hingga terlontar jauh. Tubuh Raden Rangga menabrak dan membuat Beteng Cepuri jebol. “Sekali sentak tubuh Raden Rangga terlempar menembus Beteng Cepuri hingga alun-alun,” urainya.Panembahan Senopati melakukan itu sebagai peringatan kepada putranya agar tidak congkak kendati memiliki kekuatan lebih. Setelah itu Raden Rangga pun meninggalkan ayahandanya dan kerap mengadu kepada ibu suri di Palereman atau Peleman.

Suatu hari Raden Rangga disuruh pergi ke rumah Juru Mertani untuk berguru. Pemuda itu pun berangkat dengan setengah hati karena merasa lebih kuat dari pada Juru Mertani. Walau merasa bingung disuruh berguru, Raden Rangga tetap melakukan perintah sang ayah. Ia bertolak menemui Ki Juru Martani. Namun setiba di lokasi yang dituju, ternyata Ki Juru Martani sedang menunaikan Salah Zuhur. Raden Rangga pun akhirnya menunggu sementara waktu. Saat menunggu itu konon Raden Rangga menusuk-nusuk lantai batu pualam menggunakan jarinya.

Juru Mertani muncul dari dalam dan mengatakan kalau batu mushala tersebut keras jadi jangan buat mainan. Seketika itu juga, Raden Rangga tidak mampu lagi melubangi batu mushala dengan jarinya. Sejak itu, Raden Rangga berguru pada Juru Mertani dengan sepenuh hati karena ia yakin kalau orang tua yang dianggapnya lemah dan tidak pernah bertarung itu ternyata menyimpan kesaktian yang luar biasa.

Kyai Juru Mertani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapuraputra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.

Kyai Juru Mertani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demikian, Juru Mertani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Kyai Ageng Pemanahan.

Tugas seorang Kyai Ageng Juru Mertani adalah mempertemukan dan mempersatukan. Beliau bukan tipe seorang Mandraguna yang gila kekuasaan. Apalagi beliau tahu yang Mukti di tanah Jawa setelah Runtuhnya Demak dan Pajang itu nantinya Trah dari Kyai Ageng Selo dari garis laki-laki turun ke laki-laki, tentu Panembahan Senopati-lah yang memiliki potensi besar untuk menjadi Raja Mataram Islam kala itu. Toh Kyai Ageng Juru Mertani juga mendapat anugerah luar biasa, karena putrinya nanti ada yang menjadi garwa (istri) Raja Mataram Islam dan melahirkan generasi Raja Mataram Islam pada generasi berikutnya. Sopo Nandur Bakal Ngunduh. Beliau tidak butuh Kamukten (Kejayaan) untuk dirinya, tapi untuk generasi selanjutnya.”

5   Keteladanan Kyai Ageng Juru Mertani

Sosok Kyai Juru Mertani digambarkan sebagai seorang petani yang berwawasan negarawan, disaat para bangsawan lain lebih tertarik untuk mengolah ketrampilan fisik , pada masa mudanya Kyai Juru Mertani  lebih tertarik  pada ilmu agama, olah rasa, serta ilmu ketatanegaraan, filsafat, psikologi maupun strategi . Meskipun demiKian Kyai Juru Mertani adalah seorang guru  yang adem,  sederhana, bijaksana dan tidak ambisius akan kekuasaan,Beliau dikenal sebagai sosok yang bisa menahan emosi dan bisa mengendalikan  diri.

Kyai Juru Mertani menjabat sebagai patih Kesultanan Mataram sejak pemerintahan Sutawijaya tahun 1586-1601. Dilanjutkan pemerintahan Mas Jolang putra Sutawijaya yang memerintah tahun 1601-1613. Lalu digantikan oleh Adipati Martapuraputra Mas Jolang yang menjadi raja satu hari, dan dilanjutkan Sultan Agung putra Mas Jolang lainnya yang naik takhta sejak tahun 1613.

Kyai Juru Mertani alias Adipati Mandaraka meninggal dunia pada tahun 1615. Kedudukannya sebagai patih Mataram kemudian digantikan oleh Tumenggung Singaranu. Dengan demiKian, Juru Mertani mengabdi di Mataram dalam waktu yang sangat lama, yaitu ikut membuka Alas Mentaok menjadi desa Mataram, sampai awal pemerintahan Sultan Agung, cicit Kyai Ageng Pemanahan.

Tugas seorang Kyai Ageng Juru Mertani adalah mempertemukan dan mempersatukan. Beliau bukan tipe seorang Mandraguna yang gila kekuasaan. Apalagi beliau tahu yang Mukti di tanah Jawa setelah Runtuhnya Demak dan Pajang itu nantinya Trah dari Kyai Ageng Selo dari garis laki-laki turun ke laki-laki, tentu Panembahan Senopati-lah yang memiliki potensi besar untuk menjadi Raja Mataram Islam kala itu. Toh Kyai Ageng Juru Mertani juga mendapat anugerah luar biasa, karena putrinya nanti ada yang menjadi garwa (istri) Raja Mataram Islam dan melahirkan generasi Raja Mataram Islam pada generasi berikutnya. Sopo Nandur Bakal Ngunduh. Beliau tidak butuh Kamukten (Kejayaan) untuk dirinya, tapi untuk generasi selanjutnya.”

Coba dinegeri ini, seandainya ada yang mewarisi kepribadian Sang Kyai Ageng Juru Mertani, betapa Bangsa yang konon katanya Kaya Raya Gemah Ripah Loh Jinawi tentunya tidak perlu menunggu waktu yang lama menemukan masa keemasan dan kejayaan-nya!Betapa tidak?

Di Indonesia, akan banyak ditemukan orang-orang yang hebat, generasi yang brilian dan super cerdas. Namun sayang, sebagian besar dari Kita teramat angkuh belajar sejarah pada bangsanya sendiri. Cenderung bertarung demi merebutkan kekuasaan dibandingkan menyatukan visi misi demi menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, nyaman, berperadaban dan penuh kedamaian seperti halnya yang dilakukan oleh Kyai Ageng Juru Mertani Sang Sandi Agung.

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang DisingKirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  4. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  5. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Balai Penelitian Bahasa, Babad Mangir, Jilid I, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, 1980.
  7. Pigeaud, T. H, dan H. J. De Graaf, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, terj. Grafiti Pers dan KITLV, Jakarta: PT Grafiti Pers, 1987.
  8. Pramana,  Sugeng,  Kyai  Ageng  Mangir,  Berjuang  Melawan  Hegemoni  Mataram, Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006. 
  9. Purwadi,  Kyai  Ageng  Mangir,  Kisah  Asmara  yang  Diwarnai  Ambisi  dan  Tragedi, Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006.
  10. Suryo, Djoko, “Kisah Senopati-Kyai Ageng Mangir dalam Historiografi Babad”, dari Babad  dan  Hikayat  Sampai  Sejarah  Kritis,  (ed.),  T,  Ibrahim  Alfian, 
  11. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Toer, Pramodya Ananta, Drama Mangir, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000. 
  12. Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos, 1997
     
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya