Bioplasga: Plastik Ramah Lingkungan Dari Selulosa Rumput Gajah

 
Bioplasga: Plastik Ramah Lingkungan Dari Selulosa Rumput Gajah

LADUNI.ID - Yogyakarta. Plastik yang sangat sulit diuraikan oleh mikroba di dalam tanah kini semakin menjadi permasalahan yang pelik bagi lingkungan kita. Masalah juga timbul pada bahan pembuatan plastik yang keadaannya di alam semakin menipis yaitu minyak bumi, gas alam dan batu bara. Sifat sulit terurai oleh alam menjadi sumber masalah lingkungan yang disebabkan oleh material plastik. Struktur kimia plastik sebagai senyawa organik polimer terbentuk dari rantai karbon yang sangat kuat.

Secara alamiah, untuk memecah rantai karbon tersebut membutuhkan waktu yang sangat panjang, hingga mencapai ratusan bahkan ribuan tahun. Sebagai solusi permasalahan tersebut, kini telah banyak dikembangkan bioplastik atau plastik biodegradable, yaitu plastik yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat diperbarui dan mudah diuraikan oleh alam. Sementara menurut riset Sustainable Waste Indonesia (SWI), ada 1,3 juta sampah plastik per tahun yang tidak dikelola.

Masalah sampah plastik konvensional yang tidak bisa terurai secara alami ini mendorong mahasiswi Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, Hestiana, Mahclisatul Qolbiyah, dan Yashinta Devi membuat inovasi bioplastik (biodegradable plastic) berbahan rumput gajah (Pennisetum purpureum). Hasil inovasi tersebut diberi nama "Bioplasga" atau Bioplastik Selulosa Rumput Gajah.

"Selama ini rumput gajah hanya dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak bahkan dianggap sebagai tanaman pengganggu, padahal memiliki kandungan selulosa yang relatif tinggi," jelas Hestiana, belum lama ini.

Kandungan selulosa dalam rumput gajah sebesar 32,4 persen dan lignin 12,6 persen. Kandungan selulosa yang cukup tinggi dan lignin yang relatif rendah tersebut, menjadikan rumput gajah berpotensi sebagai bahan baku bioplastik.

Bioplastik dapat dibuat menggunakan polimer selulosa yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Sehingga dapat terurai secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan. Sementara lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya, dan 50 persen diantaranya cuma sekali pakai.

Menurut Hestiana, Bioplasga sangat berbeda dengan plastik konvensional. Sebab, dapat terurai dalam waktu 8 hari jika dipendam pada tanah. Namun demikian saat ini masih tahap penelitian untuk mendapatkan hasil 100 persen diurai dalam tanah.

Meski masih pada tahap uji di laboratorium dan butuh penelitian lanjutan, namun Hestiana mengaku proses tersebut tidak terlalu rumit untuk bisa diproduksi dalam skala besar. Sebab, secara bahan baku cukup mudah didapatkan.

"Kita menggunakan selulosa hasil isolasi batang rumput gajah yang dicampur zat aditif kitosan sebagai antimikroba dan minyak biji jarak sebagai pemlastis," terangnya.

Hestiana berharap, kedepan Bioplasga bisa diproduksi menjadi plastik yang dapat digunakan masyarakat. Sehingga dampak negatif plastik konvensional bisa diminimalisir.

"Bioplasga akan diproduksi dalam bentuk biji plastik, tetapi lebih dominan ke produk plastik jadi seperti bungkus makanan, sayuran dan buah, karena plastik ini juga bersifat anti mikrobakterial," ungkapnya.