Kolom Gus Nadir: Soal Vaksin, Mengenal Tiga Teori Fiqih: Istihalah, Istihlak dan Darurat

 
Kolom Gus Nadir: Soal Vaksin, Mengenal Tiga Teori Fiqih: Istihalah, Istihlak dan Darurat
LADUNI.ID - Belakangan ini terjadi kontroversi masalah vaksin yang berasal dari babi. MUI sudah memberikan fatwa dalam hal ini. Saya mendapat banyak pertanyaan mengenai argumentasi fatwa MUI yang membolehkan vaksin berasal dari kandungan babi tersebut karena darurat.
 
Silakan ditanyakan langsung kepada para ulama di Komisi Fatwa MUI. Tulisan saya ini hanya hendak menjelaskan tiga teori yang biasa dibahas dalam literatur keislaman agar kita bisa lebih mudah memahami kontroversi berkenaan dengan babi atau hal haram lainnya.
 
Fiqih klasik mengenal apa yang disebut dengan istihâlah, yaitu perubahan hukum suatu hal ke hal lain. Dalam kitab standar mazhab Hanafi, Radd Al-Mukhtâr ‘alâ Al-Durr Al-Mukhtâr, disebutkan contoh ekstrem dari aplikasi istihâlah: Bahwa menurut Ibn Abidin, kalau babi tenggelam di laut dan setelah itu tubuhnya hancur, kemudian berubah menjadi garam maka garamnya halal.
 
Jika najis sudah menjadi abu, tidak dikatakan najis lagi. Garam tidak dikatakan najis lagi, walaupun sebelumnya berasal dari keledai, babi, atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah.
 
Contoh ekstrem, kotoran sapi yang sudah berubah menjadi tanah liat dan dipakai sebagai bahan batako dinding masjid hukumnya boleh dan tidak najis. Sewaktu masih kotoran sapi berlaku hukum kotoran sapi. Berubah menjadi tanah liat, maka berubah pula hukumnya.

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN