Esensi Rabithah Dalam Dunia Tarekat

 
Esensi Rabithah Dalam Dunia Tarekat

 

LADUNI.ID I TASAWUF- Kehidupan manusia dalam keseharian tidak terlepas dari interaksi (hubungan) antara satu sama lainnya. Hubungan ini disebabkan manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin hidup sendiri tanpa membutuhkan kepada yang lain. Prosesi interaksi manusia tersebut melahirkan sebuah jamaah atau perkumpulan. Islam sangat menganjurkan umatnya hidup dalam berjamaah. Perintah ini seperti disebutkan dalam  banyak hadist diantaranya seperti kutipan Imam Bukhari dalam kitabya “Tarikh al-Khabir” menyebutkan :”.Kalian hatus berjamaah’.( Kitab Tarikh al-Kabir, Jilid VIII, hal 447).

Saidina Umar Bin Khatatab dalam khutbahnya menyampaikan sabda nabi yang berbunyi :”..Kalian harus berjamaah dan hindarilah bercerai (dari jamaah), karena setan bersama orang yang sendirian”. (Kitab Sunan Tumudzi, jlid IV: 465, Sunan al_kubra, Jld V, hal.388). Dalam dunia tasauf keterikatan tersebut lebih dikenal dengan sebutan “rabithah”.

Mengupas pembicaraan tentang rabitah tidak terlepas perannya wasilah, wasilah dan rabitah ini dua unsur yang saling berkaitan. Membahas tentang wasilah dan rabitah, sesungguhnya juga membahas tentang fenomena rohaniah. problema ini merupakan masalah yang amat sangat halus dan oleh sebab itu pengkajiannya adalah amat tinggi dan terkadang logika tidak samapi merabanya dan sangat diperlukn keyakinan dan kepekaan hati dalam memahaminya.

Rabitah dan wasialh dia merupakan kunci, merupakan power, merupakan kekuatan dalam beramal. Dia adalah sumber keikhlasan, yang merupakan kunci dari diterimanya amal ibadat dan kesuksesan dalam mengarungi kehidupan didunia ini.

Rabithah dalam etimologinya diartikan dengan “perhubungan, perikatan”.(Kamus Arab-Indonesia, Mahmud Yunus, 136). Dalam kamus Al-munawir disebutkan bahwa rabitah adalah hubungan atau ikatan. (kamus al-Munawir, hal 501). Syekh Daud al-Fatani di dalam kitabnya “Diya 'ul-Murid” menyebutkan bahwa rabitah itu mengkhayalkan rupa syaikhnya di antara dua matanya maka yaitu  terlebih sangat muakkad bagi memberi bekas. Maka dihadirkan rupa syaikh pada hatinya..

Hal senada juga diungkapkan oleh Syekh 'Abdus Shamad Al-Palimbangi di dalam kitabnya “Hidayatus-Salik” mengatakan tentang adab-adab berzikrullah, antara lain beliau menyebutkan adab yang ketujuh dengan katanya:"Ketujuh, menyerupakan rupa syaikhnya antara kedua matanya dan adab ini terlebih muakkad (sangat dituntut) pada ahli tasawuf."

Sementara itu dalam persfektif Syekh Muhammmad Amin Al Kurdi menyebutkan diharuskan seorang murid terus menerus merabitahkan rohaniahnya kepada rohaniah Syekh gurunya yang mursyid, guna mendapatkan karunia dari Allah SWT.  Beliau mengatakan sebuah karunia yang didapati itu bukanlah dari mursyid, seorang mursyid tidak memberi bekas, pemberi bekas yang hakiki dan sesungguhnya hanya Allah SWT. Dia pemegang peranan seluruh perbendaharaan di langit dan di bumi, dan tidak ada yang dapat berbuat untuk mentasarufkannya kecuali sang khalik sendiri melalui pintu- pintu yang telah ditetapkan-Nya atau menjadi Sunnah-Nya, antara lain melalui para kekasih-Nya, para wali-wali Allah SWT yang memberikan syafaat dengan izin-Nya ( Tanwirul Qulub, Syekh Amin Al Kurdi, hal 448).

Syaikh Muhammad bin 'Abdullah al-Khani di dalam kitab“Bahjah Saniyyah“ setelah beliau menerangkan dengan panjang lebar tentang pentingnya rabitah dan cara mengamalkannya, beliau menyimpulkan nasihat terhadap para salik dengan katanya hendaklah (salik / murid) itu mengekalkan rabitah di sepanjang masa dan tidak boleh meninggalkan rabitah itu sama sekali. Kemudian, ketahuilah bahawasanya murid itu perlukan rabitah, sekiranya murid itu tidak mendapatkan limpahan rahmat dari Allah tanpa wasitah. bersambung

 

Wallahul Muwafiq Ila’aawamith Thariq,

Wallahu ‘Allam Bishawab

Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Staf pengajar Dayah Mudi Mesjid Raya Samalanga