Aceh : Bukan Kerajaan Warisan #2

 
Aceh : Bukan Kerajaan Warisan #2

LADUNI. ID I SEJARAH- Nah, jika syarat sebagai seorang Sultan sudah mencukupi, maka Sultan dipilih oleh 26 unsur perwakilan anggota pemilihan Sultan. Hal ini termaktub dalam Qanun Syara' Al Asyi Pasal Bab Kedua Belas. 26 Perwakilan tersebut adalah: 

(1) Geuchik, Waki Geuchik (Imum Meunasah), Tuha Peut yang berjumlah tujuh orang pada tiap-tiap kampun di seluruh Aceh (2) Seluruh Imum Mukim (3) Seluruh Hulubalang pada tiap-tiap daerah (4) Qadhi Malikul Adil

(5) Syaikhul Islam, Imam Mufti Empat Mazhab (6) Qadhi Mua'zzam (7) Qadhi ditiap-tiap daerah (8) Mangkubumi empat orang (9) Menteri Mizan empat orang (10) Perdana Menteri dua orang (11) Keurukôn Katibul Muluk (12) Laksamana Menteri Peperangan

(13) Menteri Dalam Negara (14) Menteri Luar Negara (15) Menteri Keadilan sekalian Hakimnya (16) Menteri Darham (Keuangan) (17) Menteri Harta Waqaf (18) Menteri Binaan (19) Menteri Jual Beli Balé Furdhah (20) Menteri Rimba (21) Menteri Pertanaman (22) Menteri Purba

(23) Hulubalang empat sekalian Majelis Mahkamah Balé Rungsari (24) Hulubalang delapan sekalian Majelis Anggota Balé Gadèng (25) Semua Anggota Balé Mahkamah Rakyat (Parlemen) (26) Semua Alim Ulama Syara' Ahlussunnah wal Jamaah dan cerdik pandai diseluruh Kerajaan Aceh. 

Hanya mereka yang memiliki suara dan berhak menentukan pilihan siapa yang layak menjadi Sultan Aceh dengan sistem suara terbanyak dari anggota pemilihan tersebut. Tentunya, semua bermufakat dan bermusyawarah lebih dulu dengan Ijma' alim ulama. Sesudah terpilih, lantas Sultan diangkat dan ditabalkan pada "Batu Tabal". 

Jika Sultan mangkat atau meninggal, maka Qadhi Malikul Adil yang menjabat sebagai Wakil Sementara Sultan ditabal berdasarkan Qanun Syara' Kerajaan Aceh "Sultan Alauddin" melalui Ijma' Mahkamah Qanun Syara'. Qadhi Malikul Adil dipercayakan pada posisi tersebut karena ia adalah Jaksa Agung Kerajaan yang berpegang teguh pada Hukum Syara' Allah dan Syariat Nabi berdasarkan syarat yang telah ditetapkan. 

Dalam Qanun Adat Aceh juga disebutkan bahwa seorang Sultan Aceh/Raja Aceh harus menjalankan dan memenuhi 31 Majelis atau Aturan. Hal ini, kami melihat lebih kepada Petunjuk Teknik (Juknis) atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak). Terlalu panjang jika kami menguraikan ketiga puluh satu Majelis tersebut disini. Menariknya, dalam Qanun Adat Aceh tersebut khususnya Bab "Perintah Segala Raja-Raja" disebutkan soal 5 Gelar yang dimiliki oleh seorang Sultan dan dihimpun dalam satu nama: Paduka, Maha, Seri, Raja dihimpun menjadi Paduka Seri Maharaja. 

Seseorang yang memiliki lima gelar tersebut atau berhimpun beberapa diantaranya itu, maka ia wajib memelihara martabat dan namanya yang mulia agar tidak binasa karunia Raja atas dirinya. 

Hal ini menegaskan, bahwa gelar dan jabatan tersebut bukan suatu yang diciptakan atau diwarisi. Tapi harus memenuhi standar dan persyaratan dari segi aturan maupun sikap. Dan, dalam Pasal Bab Kedua Belas Qanun Syara' Al Asyi juga disebutkan bahwa Kerajaan, Sultan dan Raja-Raja Aceh tidak boleh dipusakai (diwarisi) hal ini sesuai dengan pendapat Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah dalam Kerajaan Aceh. Keterangan ini juga menyertakan dalil Nash Al Quran Surat Al Imran ayat 26. 

Maka, kami melihat hari ini (mohon maaf) kawan-kawan yang memiliki gelar tersebut diatas juga merupakan dari bagian yang tidak bisa diwarisi (Apalagi ada orang yang mengaku diri sebagai Raja alias Raja Palsu). Hanya saja, Rakyat Aceh memberikan penghargaan kepada seluruh Keturunan Raja-Raja atau Sultan Aceh yang memang sudah selayaknya dihargai dan dimuliakan menurut Adat kita.

Tapi, penghargaan itu tidak serta-merta melegitimasikan diri kita untuk klaim sepihak bahwa Aceh adalah Tanah yang mesti diwariskan kepada golongan tertentu. Karena satu-satunya yang pasti kita warisi adalah gelar "Almarhum & Almarhumah" serta 'dosa' sejarah yang harus kita dibayar mahal bersama sampai hari ini. Rencong Kiri-Kanan, Nanggrôe bisa hilang!

Salam 
Haekal Afifa | Ketua Institut Peradaban Aceh.