Indonesia Darurat Berhitung

 
Indonesia Darurat Berhitung

LADUNI.ID -  Entah apa yang sudah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dinas pendidikan provinsi dan kabupaten kota dalam menyikapi fakta rendahnya keterampilan berhitung warga sekolah yang dikelolanya, selain mengucurkan Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) yang tahun ini berjumlah lebih dari Rp 71 triliun di APBN, yang tak berdampak berarti kepada kenaikan kompetensi guru (De Ree dkk, WB 2016).

Apalagi, ketika keterampilan itu dijadikan tolok ukur kesiapan menghadapi era abad 21 dan sebuah studi terbaru (Amanda dkk, CFEE Annual Digest 2018) yang menyatakan bahwa anak muda Indonesia akan siap menghadapi abad ke-21, ketika abad ke-31 menjelang, karena studi tersebut menghitung bahwa selama sekian tahun sejak masuk SD hingga lulus SMA sekolah hanya meningkatkan keterampilan menghitung atau aritmatika sederhana dari peserta didik sebanyak nol koma nol sekian persen. Hasil studi makro tersebut sejalan dengan hasil ulangan di sebuah kelas di SMA di Kalimantan Tengah yang diunggah oleh seorang guru (Rukim, 2018) pada awal September 2018.

Ketika hasil studi itu didiskusikan dengan koleganya di pulau dan kota lain, hasilnya tak jauh berbeda. Kesimpulannya, meski duduk di kelas IPA, murid tak terampil menyelesaikan operasi sederhana "tambah, kurang, kali dan bagi" termasuk pengertian
"peratus atau prosen", perpuluhan dan pecahan. Padahal, sebuah operasi paling dasar dari aritmatika, seperti menyambung huruf membentuk kata dan kalimat "i-ni bu-di..." dalam konteks membaca dan menulis.

Satu catatan penting, yakni 8 tahun lalu, sudah diingatkan bahwa keadaan darurat buta matematika ini (Koran Tempo, 2008) dengan merujuk ke hasil uji PISA (Program for International Student Assesement) dan uji TIMSS (Trend for International Mathematic and Sciences Study) ketika peringkat siswa Indonesia kelas 2 SMP/MTs hanya selapis di atas Bostwana Afrika. Ya, peringkat Indonesia nomor dua dari bawah! Sebuah kondisi buta total matematika, dan mereka diramalkan tak siap menghadapi abad 21. Tulisan tersebut yang sudah pasti hanya sebuah peringatan kecil keadaan darurat, karena cukup banyak tulisan lain yang mengingatkan situasi serupa tapi, hal itu ternyata dianggap sepi oleh pemerintah yang menganggap semuanya baik-baik saja.

Gerakan transformasi eksponensial
Sikap "Complacency" yang menganggap sebuah persoalan darurat seperti angin lalu adalah sebuah pembiaran dan merupakan kejahatan publik berdosa besar. Persis seperti membiarkan seorang yang diketahui merokok sambil mengisi bensin atau membiarkan got lingkungan rumah tinggalnya penuh jentik nyamuk DBD.

Mirisnya, sulit berharap insiatif perbaikan tersebut datang dari pemerintah, apalagi jika mengikuti logika paper itu, bahwa baku mutu yang memenuhi syarat baru siap di abad ke-31. Untuk itu, perubahan perbaikan keterampilan tersebut haruslah dimulai secara linier dengan sudut yang curam dan segera menjadi deret ukur atau eksponensial. Insiatif harus dimulai dari organisasi masyarakat sipil (civil society organisation) dan bersama sama membuat sebuah platform untuk berbagi peran.

Tidak sulit mengurainya, terutama jika kita mulai dengan menelaah beberapa Standar Nasional Pendidikan (SNP), yaitu Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI) dan Standar Proses (SP) untuk Matpel Matematika SD hingga SMP. Begitu sudah diketahui "bottle-neck" dari telaah itu, kita ajak relawan yang faham operasi aritmatika dasar, yang dengan metodenya bisa saling memeriksa keterampilan putra-putrinya mulai SD sampai SMP dan mencari persoalan yang menghambat serapan mereka atas mata pelajaran tersebut.

Karena disebut matematika dasar seharusnya itu tidak rumit, karena terjadi kasat mata dalam kehidupan keseharian kita. Belanja ke pasar atau minimarket, kredit motor, membeli bakso, membayar zakat, menghitung hutang harian ke bank pasar, bahkan berbagi warisan peninggalan orang tua, semua memerlukan keterampilan dasar berhitung. Maka, mereka yang sudah lulus SMA, meskipun mungkin lupa, pasti akan mudah mengingat kembali, apalagi mereka yang lulus di bidang Rekayasa dan MIPA seharusnya masih terampil.

Gerakan ini sulit dan akan menjadi masif, bahkan terukur jika tak dirancang dengan baik. Untuk itu, setiap pemangku kepentingan harus dipetakan perannya, termasuk yang hanya mampu menyumbang uang, bukan keterampilan. Uang sangat berarti, tapi sebuah gerakan lebih memerlukan semangat berbagi apa yang dimiliki dan tentu kesadaran kondisi darurat, baik dari si penerima manfaat (guru dan murid) atau pemangku kepentingan lain.

Hal tersulit dalam menggelindingkan gerakan ini menjadi bola salju adalah meyakinkan semua pemangku kepentingan, terutama orang tua murid (Sumintono, 2017) bahwa kondisi sudah darurat nasional, karena sikap "complacency" itu sangat sulit berubah, dan sama sulitnya meyakinkan akan adanya banjir bandang jika hutan di ketinggian tidak dijaga, kecuali langsung mengalami sendiri. Tetapi, pertanyaannya, akankah kita menunggu datangnya abad ke-31 barulah di liang kubur kita berteriak, siapkah akhirnya cucu dan cicit kita menghadapi abad-21?

 

Oleh: Ahmad Rizali

Sumber: Kompas.com