Antara Dunia dan Akhirat Harus Seimbang

 
Antara Dunia dan Akhirat Harus Seimbang
Sumber Gambar: ilustrasi.Png (Laduni.id) Editor:@Dent

LADUNI.ID, Jakarta – Jika ada yang bertanya, untuk apa sebenarnya manusia diciptakan di dunia ini? Sebagai seorang muslim, tentu akan mudah kita menjawabnya: Kita diciptakan Untuk beribadah…!Karena tujuan penciptaan memang telah jelas dititahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman dalam QS. Az-Zariyat ayat 56 :

 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ (٥٦)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat 51:56).

Ayat ini berlaku umum  menjelaskan bahwa tugas pokok kita sebagai manusia pada dasarnya adalah untuk beribadah semata. Namun demikian, apakah yang dimaksud dengan ibadah di sini hanya seperti yang kita bayangkan yaitu melaksanakan rukun Islam semata? Atau hanya berdiam di masjid berdzikir kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa henti tanpa melakukan kegiatan apapun selainnya? Tentu tidak…!

Ketentuan bahwa satu-satunya tugas kita sebagai makhluk ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah untuk beribadah memang tidak dapat didustakan. Namun kenyataan bahwa kita hidup di dunia juga tidak dapat dikesampingkan. Manusia memang diciptakan dengan berbagai macam watak dan karakter. Berdasarkan tingkat kesadarannya, aktivitas yang dilakukan tentu juga akan berbeda-beda. Seseorang dengan kesadaran bahwa kehidupan di dunia hanya sementara, akan bisa menyeimbangkan kebutuhan duniawi dengan akhiratnya. Sementara seseorang dengan tingkat kesadaran tidak berimbang, akan lebih condong memprioritaskan salah satu dari keduanya.

Manusia sudah semestinya dapat menyeimbangkan urusan dunia dan akhirat. Ini tersirat dalam harapan di setiap akhir doanya yang selalu memohon agar mendapatkan kebaikan hidup di dunia dan di akhirat. Doa yang terambil dari Al-Qur’an ini juga mejadi isyarat bahwa Al-Quran juga mengusung semangat keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat. Doa ini dikenal dengan doa sapujagad, karena meliputi dua urusan besar, dunia dan akhirat.

Doa itu terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 201,

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّقُوْلُ رَبَّنَآ اٰتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَّفِى الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَّقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.” (QS. Al-Baqarah 2: 201).

Kehidupan dunia merupakan permainan dan senda gurau. Susah dan senang datang silih berganti. Senangnya merupakan kesenangan yang menipu dan sedihnya merupakan kesengsaraan sementara. Sungguh berbeda dengan kehidupan akhirat nanti yang kekal dan abadi.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman :

اِنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَاِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا يُؤْتِكُمْ اُجُوْرَكُمْ وَلَا يَسْـَٔلْكُمْ اَمْوَالَكُمْ (٣٦)

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.”(QS. Muhammad 47:36).

Betapa banyaknya manusia di zaman serba teknologi ini yang tidak bersyukur. Betapa banyaknya manusia yang saat ini sedang menyombongkan diri dengan kehebatan, kekuasaan, kekayaan, dan kecerdasannya.  Sangat memprihatinkan, banyak saudara kita yang rela menjual agamanya dan meninggalkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala demi kenikmatan dunia yang sangat singkat.

Dalam Al-Qur’an disebutkan:

وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ وَعْدَهٗۗ وَاِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَاَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ (٤٧)

“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu menurut perhitunganmu.”(QS. Al-Hajj 22:47).

Berdasarkan ayat di atas, bahwa satu hari di akhirat = 1000 tahun di dunia, sekarang mari kita hitung.1000 tahun dunia = 1 hari akhirat1000 tahun dunia = 24 jam akhirat1 tahun dunia = 24/1000 = 0,024 jam akhirat. Jadi bila umur manusia rata-rata 63 tahun, maka menurut waktu akhirat adalah 63×0,024 = 1,5 jam akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi kita umur di dunia ini rata-rata hanya 1,5 jam waktu akhirat. Sungguh waktu yang sangat singkat dan harus di pergunakan dengan sebaik mungkin untuk mendapatkan cinta dan sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Manusia memang diciptakan dengan akal dan dihiasi dengan keinginan (syahwat) pada keindahan-keindahan duniawi.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman dalam surat Ali ‘Imran ayat 14 :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ (١٤)

 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali ‘Imran 3:14).

Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa wanita, anak, harta, kendaraan, termasuk sawah ladang adalah keindahan dunia yang wajar jika manusia condong kepadanya. Kecintaan terhadap beberapa hal tersebut pada dasarnya adalah sah karena fitrah manusia memang diciptakan demikian. Namun kemudian menjadi tidak wajar jika kecintaan yang timbul menjadi berlebihan, apalagi menjadikan kesemuanya itu hanya sebagai tujuan hidup tanpa memperhatikan urusan akhirat.

Sejatinya, dunia memang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 29 :

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا ثُمَّ اسْتَوٰٓى اِلَى السَّمَاۤءِ فَسَوّٰىهُنَّ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ ۗ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ (٢٩)

 “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah 2:29).

Dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa bumi dijadikan untuk manusia, artinya manusi memiliki hak untuk memanfaatkan segala apa yang ada di dalamnya. Pemanfaatan itu tentu harus dipahami pada hal-hal yang mengandung maslahat saja, termasuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, maupun tersier, dalam ukuran yang diizinkan oleh syariat.

Tentu kita semua pernah mendengar atau membaca kisah viral seseorang yang memiliki kekayaan tiada bandingannya di muka bumi ini, Qarun. Dikisahkan bahwa pada awalnya Qarun adalah seseorang yang miskin. Lalu dia meminta Nabi Musa as. untuk mendo’akannya agar diberikan kekayaan kepadanya. Doa itu akhirnya dikabulkan dan Qarun lantas menjadi orang yang kaya. Al-Quran menggambarkan betapa kekayaan tersebut sangat melimpah. Saking kayanya, bahkan kunci-kunci gudang hartanya sangat berat dan harus diangkat oleh beberapa orang kuat. Namun, kecintaannya yang berlebihan terhadap harta kekayaannya memunculkan perasaan sombong yang pada akhirnya mengantarkannya pada kebinasaan.

Imam Bukhari dalam hadisnya meriwayatkan :

حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Celakalah budak dinar, budak dirham dan budak pakaian (sutra kasar) serta budak Khamishah (campuran sutera), jika diberi ia akan ridla dan jika tidak diberi maka dia tidak akan ridla." (HR. Imam Bukhari No. 5955).

Melalui hadis tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam menekankan bahwa sungguh tak elok manusia yang hatinya terpaku pada keberadaan harta. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menempatkan kekayaan pada hati tidaklah dianjurkan. Tercatat dalam sejarah, tidak sedikit para alim ulama yang mempunyai kekayaan yang banyak, namun kekayaan tersebut tidak menggoyahkan hati mereka dalam menyikapi kehidupan di akhirat.  

Islam menganjurkan keseimbangan dalam menyikapi kehidupan dunia dan akhirat. Tidak berlebihan pada dunia, sebaliknya juga tidak berlebihan pada akhirat. Dalam surat Al-Qashash ayat 77 Allah Subhanahu Wa Ta’ala. berfirman,

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ (٧٧)

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenimatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”(QS. Al-Qasas 28:77).

Menurut  Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab., Lc., M.A
Dalam Tafsir Al-Misbah, firman-Nya (وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا) merupakan larangan melupakan atau mengabaikan kenikmatan duniawi. Larangan itu dipahami oleh sementara ulama bukan dalam arti haram mengabaikannya,  tetapi dalam arti mubah dan dengan demikian tulis Ibnu Asyur ayat ini merupakan salah satu contoh penggunaan redaksi larangan untuk makna mubah atau boleh. Ulama ini memahami kalimat di atas dalam arti “Allah tidak mengecammu jika engkau mengambil bagianmu dan kenikmatan duniawi selama bagian itu tidak beresiko kehilangan bagian kenikmatan ukhrawi”.

Dalam sebuah ungkapan dikatakan bahwa dunia adalah ladang akhirat (Ad-Dunya Mazra’at Al-Akhirah). Maksudnya adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap dunia untuk menjadikannya sebagai ladang di mana kita menanam berbagai amal baik untuk dipanen nantinya di akhirat. Jika amal yang kita tanam berasal dari bibit yang kurang baik, kita harus bersiap memanen hasil yang kurang baik. Sebaliknya jika yang kita tanam berasal dari bibit yang baik, maka kita akan bergembira dengan hasil yang baik pula di akhirat kelak.

Berdasarkan pesan Al-Qur’an dan hadis di atas, cukuplah menjadi sandaran bagi kita untuk menyadari bahwa pada saat melakukan aktivitas yang bersifat duniawi, jangan lupa untuk mengingatkan diri agar memenuhi kebutuhan yang bersifat ukhrawi. Praktek dari Sikap seimbang ini telah diajarkan Rasulullah dalam satu hadis yang berbunyi,

اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ اَبَدًا وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا(رواه ابن عساكر)

Kerjakanlah urusan-urusan duniamu seakan-akan engkau hidup untuk selama-lamanya, dan kerjakanlah urusan-urusan akhiratmu seakan-akan engkau mati esok.  (HR. Ibnu ‘Asakir).

 

Sumber : Kitab Tafsir Al- Mishbah, (Karya Prof. Dr. AG. H. Muhammad Quraish Shihab., Lc., M.).
HR. Imam Bukhari No.5955

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Jumat, 28 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Lisanto
Kamis Legi, 25 Mei 2023