Dayah Sebagai Lumbung Belajar Agama dan Cendekiawan

 
Dayah Sebagai Lumbung Belajar Agama dan Cendekiawan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Dalam beberapa sejarah tercatat bahwa, sejak pertama kali Islam datang ke Aceh, bahwa tidak terdapat lembaga pendidikan lain kecuali dayah. Lembaga ini telah menghasilkan beberapa sarjana terkenal dan pengarang yang produktif. Pada abad ke-17, ketika masa kejayaan Kerajaan Islam Aceh, Aceh menjadi pusat kegiatan intelektual. Selama abad ini, beberapa sarjana dari Negara lain datang untuk belajar ke Aceh. Seorang ulama terkenal Syekh Muhammad Yusuf al-Makkasari (1626-1699), salah seorang ulama tersohor di waktunya itu di kepulauan Melayu, pernah belajar di Aceh.

Syekh Burhanuddin dari Minangkabau yang kemudian menjadi ulama terkenal dan menyebarkan Islam di Ulakan mendirikan surau di Minangkabau, juga pernah belajar di Aceh di bawah bimbingan Syekh Abd al-Rauf al-Singkili. Pada masa selanjutnya, ketika terjadi kemunduran dalam bidang ekonomi dan politik di kesultanan Aceh, perhatian ulama Aceh dengan ilmu-ilmu agama tidak berkurang. Dayah melanjutkan memenuhi kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan.

Sebelum kedatangan Belanda, dayah-dayah di Aceh masih sering dikunjungi oleh masyarakat dari luar Aceh. Daud Al-Fatani dari Pattani (sekarang satu wilayah di Thailand), yang kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka, -murid Muslim dari Asia Tenggara di Mekkah- juga pernah mengunjungi Aceh sekitar tahun 1760-an. Dia belajar di Aceh selama dua tahun dengan Muhammad Zain al-Faqih Jalal al-Din al-Ashi. Muhammad Zainal al-Faqih ini adalah pemimpin dayah di Aceh dan penulis dua kitab yang sangat terkenal, yaitu

UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN