Setiap Orang Memang Pernah Salah, Tapi Juga Pasti Pernah Berbuat Baik

 
Setiap Orang Memang Pernah Salah, Tapi Juga Pasti Pernah Berbuat Baik
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Seorang bijak bestari mengatakan, "Belajarlah senantiasa untuk menjadi orang baik!" Itulah pepatah yang bijak yang menunjukkan bahwa kita selalu dikelilingi oleh kesalahan dan kekhilafan. Salah dan khilaf adalah pakaian manusia. Pepatah ini mengisyaratkan juga bahwa setiap kita harus dan ingin menjadi orang baik. Baik dalam komunikasinya dengan Pencipta, bagus hubungannya dengan manusia, harmonis dengan makhluk lainnya.

Belajar menjadi orang baik berbeda dengan merasa menjadi orang baik. Kalimat pertama menunjukkan kita adalah makhluk yang tidak luput dari salah dan dosa, karenanya belajar dan belajar menjadi supaya baik dan lebih baik. Kalimat kedua menimbulkan persepsi bahwa kita adalah orang baik karenanya kesan yang dimunculkan adalah sedikit kesalahan dan dosa. Mengapa merasa sedikit salah dan dosa, karena tidak lain telah merasa jadi orang yang sudah baik. Pemahaman kedua ini bisa mengarahkan seseorang untuk menyepelekan kesalahan dan dosa, dan yang lebih parah adalah memvonis orang lain sebagai pelaku dosa sesungguhnya.

Bagaimana sikap kita saat melakukan salah dan dosa? Rasulullah SAW mengajarkan, bahwa jika seseorang melakukan kesalahan dan dosa lantas menyesal atas perbuatan itu, dan berjanji untuk tidak mengulanginya, maka langkah berikutnya adalah mengiringi kejahatan dan dosa itu dengan kebaikan yang melebihi kesalahan itu sendiri. Sederhananya jika kesalahan kita nilainya 5, maka iringilah kebaikan yang kira-kira potensi nilainya adalah 8.

Selanjutnya, dalam konteks kehidupan yang kita jalani, memahami orang lain adalah sikap yang dianjurkan. Namun statement tidak semudah saat berhadapan dengan kenyataan. Di sinilah perlu kita membuka mata hati, membuka telinga lebar-lebar dan melapangkan dada.

Bisa saja kekecewaan yang kita terima bukan karena semata ketidaksukaan orang pada kita, tapi justru berawal dari respons negatif kita pada mereka. Contoh kecil, saat berpapasan dengan sesama Muslim, penulis sering sapa dengan mengucapkan salam. Dari ucapan salam yang penulis sampaikan beragam intonasi dan ekspresi jawaban yang diperlihatkan. Ada yang menjawab dengan semangat, “waalaikumusalam warohmatullahi wabarokatuh”. Ada yang dengan jawaban seperlunya dan dengan intonasi yang datar, “walaikumsalam”. Jika ini sudah menjadi kebiasaan kita pada mereka, tidak ada ucapan lain yang mereka lontarkan kepada kita selain ucapan salam juga. Nah, dari sini kita tahu, bukankah respon yang dimunculkan berawal dari stimulus yang kita berikan?

Berbuat salah pasti pernah dilakukan siapapun, tetapi demikian juga sebaliknya, setiap orang juga pasti pernah berbuat baik, mungkin hanya dengan kadar yang berbeda. Dan mengingat kebaikan orang adalah salah satu cara untuk senantiasa memunculkan kebaikan-kebaikan lainnya. Sementara senantiasa mengingat keburukan dan kesalahan orang akan melahirkan sikap merendahkan orang lain, dan merendahkan orang lain adalah hakikat kesombongan yang dilarang agama. Merasa paling baik, merasa paling benar akan bisa membuat seseorang anti kritik dan tidak mau disalahkan. Puncaknya, sebagaimana klaim Iblis dari sikap yang ditunjukkannya dengan mengatakan, "sesungguhnya aku lebih baik dari dia (Adam)".

Memvonis selamanya dengan sikap bahwa orang lain selalu salah, sehingga tidak menyisakan ruangan kebaikan, adalah termasuk sikap yang tidak diajarkan oleh Islam. Setidaknya ada empat yang bisa menyebabkan seseorang merasa orang baik yang jika tidak disadari akan mengarah pada kesombongan, yakni bertambahnya harta (kaya), bertambahnya ilmu (dengan gelar dan pangkat), bertambahnya ketenaran (dikenal dan populis) serta yang jarang dicermati adalah bertambahnya ketaatan (merasa alim dan ahli ibadah).

Sebagai akhir dari tulisan ini. Mari kita renungkan firman Allah dalam Surat Asy-Syams ayat 8-10 yang berbunyi:

فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

"Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."

Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa setiap kita memiliki potensi keburukan dan kebaikan. Lingkungan secara umum adalah faktor yang sangat mewarnainya. Allah SWT telah memberikan semua petunjuk untuk melakukan kebaikan. Tinggal kemudian bagaimana kita melaksanakan itu dengan sebaik-baiknya. Semoga kita menjadi lebih baik dalam setiap hari-hari yang kita jalani. Amin. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Sholihin H. Z.

Editor: Hakim