Melalui Dua Jalur, Beginilah Ulama Sebarkan Karya Tafsir Nusantara

 
Melalui Dua Jalur, Beginilah Ulama Sebarkan Karya Tafsir Nusantara

LADUNI.ID, Tangerang Selatan - Mengutip hasil penelitian Howard M Federspiel, Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Jakarta Hasani Ahmad Said mengatakan, ada 48 karya tafsir populer yang ditulis oleh ulama Nusantara dari dulu hingga kini.

Dalam penilaian Hasani, karya-karya tafsir ulama Nusantara itu disebarkan melalui dua jalur. Pertama, melalui aktivitas pengajian. Aktivitas ini dipraktikkan di pesantren dan sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Bahkan sebelum masa penjajahan. Salah satu karya tafsir yang diajarkan adalah kitab Tafsir Jalalain. Uniknya, model pengajaran dan kitabnya masih diajarkan hingga hari ini.

“Maka dari itu keterpengaruhan terhadap karya-karya ulama tafsir Nusantara juga sangat berperan di situ. Memasukkan baik itu referensi maupun cara menafsirkan Al-Qur’an,” terang Hasani di Islam Nusantara Center (INC), Ciputat, Tangerang Selatan, Sabtu (8/12).

Sementara itu, yang kedua adalah melalui jalur penulisan. Hasani berpendapat, pada abad ke-16 ulama Nusantara sudah mulai menulis tafsir. Adalah Hamzah Fansuri ulama yang memulai menulis tafsir Al-Qur’an pada saat itu. Hamzah Fansuri memang dikenal sebagai seorang ahli tasawuf, namun ia juga merupakan ulama yang memprakarsai tafsir Nusantara. 

“Indikasinya, dia (Hamzah) menulis sajak tasawuf namun ada indikasi nuansa tafsir. Beliau menuliskan Al-Qur’an surat al-Ikhlas adalah laut itulah yang bernama Ahad. Terlalu lengkap pada as-Shomad. Olehnya itu lah lam yalid walam yulad. Walam yakun lahu kufuwan ahad,” terang Direktur Pusat Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir ini.

Selain daripada itu, Hasani juga menambahkan, Syamsuddin Sumaterani menulis kitab tafsir Jauhdar al-Haqa’iq pada abad ke -16 juga. Namun sayangnya, kitab tersebut tidak ditemukan naskahnya. Kemudian pada abad yang sama juga ditemukan tafsir Surat al-Kahfi. Belakangan diketahui kalau naskahnya tersimpan di Universitas Cambridge.

Dirinya juga menambahkan bahwa Abdul Rauf Singkel menulis sebuah karya tafsir dengan judul Tarjuman al-Mustafid pada 1675 M. Kitab tafsir ini ditulis dengan menggunakan bahasa Melayu Pegon dan ditulis secara tahlili. Ini menjadi babak baru tafsir Nusantara karena kitab tafsir tersebut memuat 30 juz utuh. Kitab tafsir ini untuk pertama kalinya dicetak di Istanbul Turki.

Kemudian di abad ke-18, Syekh Nawawi al-Bantani menulis sebuah kitab tafsir yang monumental, yaitu Marah Labid. Kitab ini menjadi embrio tafsir Nusantara berbahasa Arab yang mendunia atau menjadi rujukan. Kitab Marah Labid merupakan transformasi lompatan kemajuan di bidang penulisan tafsir di Nusantara pada saat itu. 

“Marah Labid lebih maju karena Syekh Nawawi dibesarkan di Haramain, beliau bertemu degan banyak ulama dan kitab tafsir. Sehingga ia lebih banyak berkenalan dengan tafsir di dunia Islam pada saat itu dibandingkan tafsir Tarjuman al-Mustafid (karya Abdul Rauf Singkel),” terangnya.

Lebih dari itu, Hasani juga menilai bahwa empat kitab tafsir tersebut –yang ditulis Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumaterani, Abdul Rauf Singkel, dan Syekh Nawawi al-Bantani- merupakan peletak dasar dari tafsir Nusantara. Meski demikian, Hasani mengaku kalau tafsir Nusantara pada periode awal-awal lebih condong atau bercorak tasawuf.

Usai hal tersebut, kemudian muncul beberapa ulama atau tokoh yang menulis kitab-kitab tafsir. Diantaranya adalah Kiai Munawar Khalil dengan kitabnya Hidayatur Rahman, Kiai A Hasan Bandung dengan Tafsir al-Furqan, Prof Mahmud Yunus dengan Tafsir Al-Qur’an Karim, Kiai Umar Bakri, Prof Hasbi Assiddiqi, Kiai Bisri Mustofa dengan Tafsir Ibriz, Prof Hamka dengan Tafsir A-Azhar, Kiai Qasim Bakri, prof Quraish Shihab dengan Tafsir Al-Misbah, dan lainnya.