Meraih Kelezatan Kuliner Rasulullah dan Keindahan Kebudayaan Roti pada Zaman Abbasiyah

 
Meraih Kelezatan Kuliner Rasulullah dan Keindahan Kebudayaan Roti pada Zaman Abbasiyah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Baghdad, kota yang dipandang sebagai persimpangan semesta, merupakan titik strategis yang tak tertandingi, demikianlah yang diungkapkan oleh raja Dinasti Abbasiyah ketika menyadari keberadaan posisi geografisnya yang luar biasa.

Terletak di timur, Baghdad berhadapan langsung dengan kebesaran Cina, sementara di baratnya, melintanglah jalan menuju Gibraltar yang menjadi gerbang utama ke Samudera Atlantik.

Namun, keberadaan Baghdad tidak hanya terbatas pada aspek geografisnya yang mengagumkan. Selama berabad-abad, kota ini menjadi pusat kegiatan intelektual, perdagangan, dan kebudayaan yang tak tertandingi.

Bahkan, beberapa ratus tahun kemudian, Baghdad melahirkan sebuah masakan adiluhung yang menjadi warisan kegemilangan kulinernya bagi dunia.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, tradisi roti tetap memegang peranan sentral sebagai makanan pokok bagi rakyat. Baghdad, yang menjadi ibu kota pemerintahan pada masa tersebut, memancarkan kehidupan kosmopolitan yang dinamis.

Di dalam kota yang megah ini, berjejerlah banyak tempat khusus di mana para tukang roti bersemangat menjalankan profesi mereka.

Dari gerai-gerai kecil di sudut-sudut jalanan hingga toko-toko roti yang lebih besar, industri roti berjalan dengan semangat yang membara di berbagai skala, mulai dari usaha kecil hingga menengah.

Hal ini mencerminkan kekayaan budaya dan ekonomi yang berkembang di Baghdad pada masa itu, di mana roti bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol keberlanjutan dan keberagaman masyarakat yang hidup dan berkembang di bawah naungan Dinasti Abbasiyah.

Di tepi sungai yang mengalir deras, para pengrajin roti membangun kincir air dengan cermat. Kincir air tersebut tidak hanya menjadi penanda keindahan alam, tetapi juga menjadi sumber energi utama dalam proses pembuatan roti. Dengan perangkat yang terpasang pada kincir air, mereka dapat menggerakkan mesin pembentuk adonan roti dengan lancar dan efisien.

Namun, tidak semua lokasi memiliki akses yang mudah ke sungai. Di daerah yang lebih terpencil, jauh dari gemerlap air yang mengalir, mereka mengandalkan kreativitas dan daya tahan untuk menghasilkan roti yang berkualitas.

Di sini, hewan ternak menjadi sumber tenaga yang tak ternilai harganya. Dengan melekatkan tongkat pengaduk adonan ke hewan ternak yang kuat, mereka menciptakan putaran yang cukup kuat untuk mencampur adonan dengan sempurna. Meskipun mungkin lebih sulit dan membutuhkan usaha ekstra, namun hasilnya tetap memuaskan, menjaga tradisi pembuatan roti tetap hidup dan berkembang di setiap sudut tanah yang mereka tempati.

Di samping bahan makanan dan teknologi terkait kuliner yang sudah dikenal di Baghdad, kota ini menjadi pusat penting bagi pertukaran perdagangan yang memungkinkan datangnya bahan makanan baru dan barang-barang eksotis dari berbagai belahan dunia melalui jalur darat maupun laut.

Salah satu contohnya adalah madu yang diambil dari hutan-hutan di wilayah utara, yang dibawa oleh para pedagang Viking melalui perjalanan darat jauh menuju kota Baghdad. Sementara itu, rempah-rempah seperti kayu manis, kelabat, kunyit, asafetida, dan merica datang dari jauh, terutama dari wilayah India dan Asia Tenggara, yang diakses melalui jalur perdagangan laut yang semakin berkembang.

Keterlibatan dalam perdagangan lintas benua tidak hanya memperkaya khazanah kuliner kota Baghdad, tetapi juga menunjukkan tingkat konektivitas perdagangan yang tinggi pada masa itu.

Roti gandum yang dibakar di tandur tanah liat menjadi makanan pokok bagi masyarakat Islam pada masa itu. Jenis roti ini juga menjadi makanan favorit Rasulullah SAW, terutama saat disantap bersama dengan daging.

Keberadaan roti tersebut juga mengilhami variasi makanan lain di berbagai belahan dunia. Sebagai contoh, di Afrika Utara dan Andalusia, roti gandum ini dapat dibentuk menjadi bola-bola kecil yang disebut couscous, menunjukkan bagaimana warisan kuliner Islam menyebar dan menginspirasi berbagai budaya di sepanjang perjalanan sejarah. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 26 Desember 2018. Tim redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Sumber : Republika.co.id

___________

Editor: Muhammad Iqbal Rabbani