Memandang Lautan, Ibadah dan Sunnah Rasulullah

 
Memandang Lautan, Ibadah dan Sunnah Rasulullah
Sumber Gambar: Unsplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - lautan merupakan salah satu ciptaan Allah SWT untuk penduduk bumi. Allâh SWT telah memberikan seluruh yang ada diatas bumi ini untuk digunakan manusia, sebagai bentuk anugerah dan karunia-Nya yang sangat besar dan luas. Ini sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya: 

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allâh telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allâh tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqmân/31:20).

Jutaan bahkan lebih ciptaan Allah SWT yang diperuntukkan untuk kita dan makhluk lainnya, diantara kenikmatan dan karunia Allâh SWT yang ada dibumi ini adalah lautan, keindahan lautan dan isinya disebutkan oleh yang Allah SWT dalam surat An-Nahlu, berbunyi :

وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan Dia-lah, Allâh yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. (QS. an-Nahl:14).

Lautan memiliki urgensi dalam kehidupan manusia, dimana menjadi sarana berlayarnya kapal-kapal yang membawa manfaat bagi mereka. Juga dalam lautan berisi kekayaan yang tak ternilai berupa barang tambang, hewan-hewan laut dan bebatuan berharga serta yang lainnya yang menjadi kebutuhan manusia.

Apalagi dimasa kini semakin terasa urgensi lautan dengan banyaknya orang yang beralih kelautan dalam menggali dan mengeksploitasi kekayaan yang terkandung didalamnya. Demikian banyaknya keterikatan manusia dengan lautan dewasa ini mendorong setiap Muslim untuk mengetahui hukum dan pandangan Islam terhadap lautan. Bahkan memandang lautan adalah sunnatullah.

Diterangkan dalam sebuah Hadis Rasulullah SAW. Memandang empat perkara ini pun kita sudah dapat pahala.
Empat  perkara itu tersebut adalah wajah ibu bapak, Al-quran, Lautan dan Ka’abah. Walaupun ada hadist lain yang mengatakan memandang wajah ulama juga ibadah. Pernyataan ini sebagaimana disebutkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda: “Melihat pada tiga perkara adalah ibadah. Melihat wajah ibu bapak, melihat al-Quran dan melihat lautan.” (HR. Abu Nuaim) dan ditambah dengan “Melihat Ka’abah” dalam riwayat Abu Daud)

Memperkuat argumen diatas, salah seorang sufi yang juga mursyid tarekat Naqsyabandiah mengatakan “Memandang laut adalah Sunnah.  Ketika kalian sedang gelisah, gugup, stres atau depresi, pergilah ke laut dan lakukan Zikrullah.  Setiap gelombang dan setiap tetes air mempunyai malaikat yang melakukan Zikrullah; oleh sebab itu, itu adalah sunnah untuk pergi ke laut dan bahkan memasukkan kaki kalian ke dalam air, malaikat itu akan datang dan membuat kalian merasa rileks, dan mereka akan mengirimkan kebahagiaan kepada kalian dan pekerjaan kalian.”.”(As-Sayyid Mawlana Syekh Hisyam Kabbani)

Memandang atau tafakkur dalam esensinya mempunyai nilai spesifik. Ini sebagaimana diungkapkan Luqman al-Hakim, sang ahli hikmah, sering duduk sendirian dalam waktu lama. Tuannya [dalam riwayat lainnya, bekas budaknya] datang kepadanya dan bertanya, “Ya Luqman, engkau duduk sendirian berlama-lama. Lebih baik bagimu jika engkau duduk-duduk bersama manusia.” Luqman pun menjawab, “Duduk berlama‑lama dalam kesendirian lebih memudahkan aku bertafakur [karena itu lebih bermanfaat (lebih utama)— penerj.] karena bertafakur menunjukkan jalan menuju Surga.”

Bukan hanya itu, salah seorang Khalifah termasyhur dalam Dinasti Bani Umayyah, `Umar bin ‘Abdul Aziz juga menguraikan argumennya, ia berkata, “Memikirkan nikmat-nikmat serta rahmat Allah Yang Maha Pengasih ter-masuk ibadah yang utama.”

Kini banyak fenomena alam yang terjadi dan menimpa negeri kita bahkan keindahan alam juga bernilai ibadah baik lautan, daratan juga tata surya ini, marilah kita menyisihkan waktu untuk bertafakkur dengan bermacam corak. Bahkan salah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafi berkata, “Jika manusia bertafakur tentang kesucian dan keagungan Allah Azza waJalla, niscaya mereka tidak akan durhaka (mengerjakan maksiat) kepada-Nya.” Pernah juga Hazrat Ibn ‘Abbas Ra berkata, “Dua rakaat shalat tengah malam dengan tafakur kepada Allah lebih baik daripada shalat yang tidak khusyuk sepanjang malam.”

Rasulullah juga pernah menyebutkan dalam sebuah hadist, berbunyi: "Bertafakur sesaat lebih baik daripada beribadah setahun." Dalam interpretasi hadist diatas, tafakkur yang dimaksudkan bukan asal namanya tafakkur, indikator tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun adalah bahwa manusia, ketika bertafakur sesaat secara benar dan produktif, dapat menguatkan dasar-dasar keimanannya sehingga cahaya makrifat dalam dirinya muncul dan cinta Ilahi dalam hatinya bersinar. Dengan begitu, dia sampai kepada kerinduan spiritual dan terbang di angkasanya menuju mardhatillah.

Dalam bahasa sufi tafakkur tersebut sering juga disebut muraqabah, baik murqabah mutlak, muraqabah af'al hingga muraqbah ma'iyah. Sungguh rahman dan rahim-Nya dalam memperhatikan manusia tidak sebanding kasih sayang manusia sesamanya saling membunuh, menindas dan sejenisnya bahkan dengan alam sekitarpun mereka merebut" keperawanan" alam, hutan mereka eksploitasinya dengan berbagai alasan. Sungguh kejamnya sang manusia. Tahta, wanita dan harta kerap menjadi bumerang dan racun yang mematikan untuk sang cucu Adam dan Hawa.

Beranjak dari itu, marilah kita bertafakkur dengan banyak objek termasuk memandang lautan dan lainnya untuk menemukan jati diri yang sebenarnya menjadi 'abdun' hingga mendapatkan prediket "Insan Kamil" menuju  sa'adah ad-darini (kebahagian negeri dunia dan akhirat).[] Amin

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 Desember 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

_______

Penulis: Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Editor: Athallah