Biografi Bathara Katong ( Raden Joko Piturun) Ulama dan Pendiri Kota Ponorogo

 
Biografi Bathara Katong ( Raden Joko Piturun) Ulama dan Pendiri Kota Ponorogo

Daftar Isi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga Bathara Katong
1.3  Nasab Bathara Katong
1.4  Wafat

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Bathara Katong

2.1  Guru-guru Bathara Katong

3.  Penerus Bathara Katong

3.1  Anak-Anak Bathara Katong
3.2  Murid-murid Bathara Katong

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Bathara Katong

5.  Keteladanan Bathara Katong

6.  Referensi

 

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Bathara Kathong adalah putra Prabu Brawijaya V dari selir yang berasal dari Campa. Beliau terlahir dengan nama Raden Joko Piturun atau Raden Harak Kali.

1.2 Riwayat Keluarga Bathara Katong

Bathara Kathong memmpunyai lima orang istri dan dikaruniai putra yaitu :

  1. Pangeran Onje
  2. Pangeran nadorudin
  3. Nyai Istri dari Sayyid Kalkum Wotgaleh atau Pangeran panembahan agung
  4. Nyai Ageng Kaliwungu istri Sunan Tembayat atau Panembahan Agung ing Kaliwungu
  5. Nyai Istri Kyai Ali putra dari Kyai Ageng Mirah

1.3 Nasab Bathara Katong

Nasab Kyai Ageng Tarub beliau masih keturunan dari Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi. Dengan Silsilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi + Selir dari Campa
  2. Raden Joko Piturun atau Bathara Kathong

1.4 Wafat

Bathara Katong meninggal sekitar pertengahan abad 15 dan dimakamkan di Plampitan, Setono, Kec. Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Bathara Katong

Beliau dibesarkan dan dididik oleh Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi

2.1 Guru-guru Bathara Katong

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
  2. Sunan Kalijaga
  3. Kyai Ageng Mirah

3  Penerus Bathara Katong

3.1 Anak-anak Bathara Katong

  1. Pangeran Onje
  2. Pangeran nadorudin
  3. Nyai Istri dari Sayyid Kalkum Wotgaleh atau Pangeran panembahan agung
  4. Nyai Ageng Kaliwungu istri Sunan Tembayat atau Panembahan Agung ing Kaliwungu
  5. Nyai Istri Kyai Ali putra dari Kyai Ageng Mirah

3.2 Murid-murid Bathara Katong

  1. Kyai siti geseng
  2. Kyai ageng pethung
  3. Kyai ampok boyo kyai Ageng Posong
  4. Kyai menak sompal 

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Bathara Katong 

Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya. Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain. Salah satunya dari Pujangga Anom Ketut Suryongalam, seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali. Pujangga Anom keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker atau Ponorogo saat ini.

Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu.Derah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu dinamakan Kutu, yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut REOG. Reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo (Wengker) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan Kadipaten Demak. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu. Demi menjaga martabat Majapahit dan kepentingan ekspansi penyebaran agama Islam, maka Prabu Brawijaya V memerintahkan putranya untuk mengatasi upaya pemberontakan tersebut sebelum meluas kemana-mana yakni Raden Joko Piturun atau yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong.

Akhirnya berangkatlah Raden Joko Piturun menuju daerah Wengker untuk menemui Kyai Ageng Kutu dan menyarankan untuk menyerah kepada Majapahit. Dengan hati yang teguh Kyai Ageng Kutu tetap Kukuh dengan pendiriannya dan merasa bahwa dirinya tidak bersalah dalam hal ini. Dan mengatakan “ saya berkata benar apa adanya, tanpa mengurangi hormat saya kepada sang Prabu bahwa saya tetap berpendapat bahwa sang Prabu menjadi lemah dalam bertindak dikarenakan pengaruh dari para istri-istrinya. “ Akhirnya Raden Joko Piturun memutuskan untuk segera menyerang daerah tersebut. Dikarenakan kalah jauhnya perbedaan pengalaman dan kesaktian serta masuk di wilayah musuh maka Raden Joko Piturun dipaksa harus mundur dari peperangan tersebut.

Kemudian dalam perjalanan mundur dari perang tersebut Raden Joko Piturun bertemu dangan salah satu Ulama yang bernama Kyai Ageng Mirah yang ternyata adalaha murid dari Sunan Kalijaga. Akhirnya beliau berguru kepada Kyai Ageng Mirah sambil mengistirahatkan pasukannya dan menunggu bala bantuan datang. Dalam pembahasan masalah kegagalan perang tersebut dengan Kyai Ageng Mirah menyarankan Raden Jaka Piturun agar menemui Kyai Ageng Kutu dan menyatakan menyerah dan meminta maaf atas kesalahannya, serta memohon agar Kayi Ageng Kutu mau mengangkatnya sebagai menantu sebagai bukti bersatunya dua Kubu. Sambil mengirimkan pesan kepada adipate Demak Agar sudi kirany untuk mengirimkan bala bantuan. Bala bantuan akhirnya datang yaitu salah satu santri Sunan Kalijogo bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Setelah menikah agak beberapa lama akhirnya Raden Joko Piturun merayu istrinya agar diambilkan Pusaka milik Ayahandanya dengan alasan karena  beliau ingin melihat dari dekat dan memegang pusaka tersebut yang bernama Kyai Koro Welang, karena Pusaka tersebut yang menjadi andalan Kyai Ageng Kutu. Akhirnya Senjata tersebut bisa diambil oleh Putri Kyai Ageng Kutu dan diserahkan kepada Raden Joko Piturun. 

Setelah mendengar bahwa ada pasukan Islam baru mendekat, Kyai Ageng Kutu memanggil para murid, pertapa, dan pengikut Buddha lainnya. Ia kembali menyerang pada malam hari, karena ia tidak bisa dikalahkan pada malam hari, sementara pada siang hari para pengikut Buddha itu bersembunyi. Bathara Katong kembali kalah dan melarikan diri. Akhirnya Bathara Katong mendapatkan berkah dari Allah Yang Mahakuasa, yang memberi petunjuk kepadanya untuk menyalakan obor sewaktu  bertempur melawan Kutu. Pertempuran sengit terjadi. Ki Ageng Kutu kalah oleh Kiai Sela Aji. 

Ketika Bathara Katong mencari jenazah Ki Ageng Kutu, jenazahnya telah hilang bersama dengan banteng tunggangannya dan kemudian terdengar suara dari langit, “Jah, Bathara Katong, sekarang aku telah kalah dalam perang melawanmu, tetapi nanti keturunanku (anak-putuku) akan membalaskannya pada anak cucumu.” Kyai Ageng Kutu moksa pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo. Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Sambit. Para pengikut Kutu yang selamat menyerahkan diri dan masuk Islam. 

Untuk meredam kemarahan dan kegelisahan masyarakat daerah wengker dan sekitarnya, Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas hilangnya Kyai Ageng Kutu.Tidak seberapa lama setelah Kyai Ageng Kutu menghilang, Raden Joko Piturun mengumpulkan rakyat Wengker dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo pada saat itu masih mempercayai keberadaan dewa-dewa atau Bathara.

Para pemenang, komandan, dan para pembantu utamanya } diberi tanah untuk mereka kelola. Bathara Katong sendiri tinggal di Plampitan, dan dari sana beliau memerintah seluruh wilayah di sebelah timur Gunung Lawu yang berbatasan dengan Bengawan Solo di utara, Pegunungan Pandam (barat), dan Pegunungan Wilis serta Samudera Hindia (selatan).

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar. Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan. Setelah istana kadipaten didirikan, Bathara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Rogo artinya Jasmani atau Jiwa. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Dakwah Islam dan berdirinya pemerintahan Islam di Kadipaten Ponorogo ditandai dengan prasasti batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di Komplek Makam Raden Djoko Pitoeroen yang menunjukan Candrasengkala Memet berupa gambar manusia, pohon, burung dan gajah yang melambangkan angka 1418 saka atau tahun 1496 M. Batu Gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Raden Djoko Pitoeroen adalah sebuah prasasti yang menggambarkan Candrasengkala Memet - Penobatan Raden Djoko Pitoeroen sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo pada hari Ahad Pon, Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 saka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H.

Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo. Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Dalam babad Ponorogo juga menceritakan “Pemerintahan Bathara Katong pertama-tama memperhatikan penyebaran agama Islam, mengajarkan mengaji Alquran dan Kitab. Di setiap dusun, desa, dan kota didirikan langgar untuk mengajarkan agama Islam kepada para santri. Setiap orang menjadi marsudi (yakin) akan , Islam, semua orang mengaji Alquran dan memahami buku| buku Islam. Istana Bathara Katong menjadi pusat studi agama Islam, dan menjadi pendahulu pesantren besar di daerah Madiun. Pemerintahannya berjalan dengan damai. 

Misi penyebaran agama oleh Bathara Katong memberi catatan penting pada bidang penelitian disertasi ini. Ia memberi bentuk pada masyarakat dan politik abad berikutnya. Bupati-bupati daerah Madiun-Ponorogo selanjutnya mengklaim sebagai keturunan langsung Bathara Katong. Para keturunan dan pengikutnya memang terus menjadi elite lokal di daerah_ tersebut, seperti yang dikonfirmasi juga dari. sumber-sumber lain. Sampai taraf tertentu kita bisa mengatakan bahwa daerah Madiun saat ini, ke arah selatan, meliputi daerah Ponorogo dan Pacitan saat ini, sebagai wilayah kekuasaan Bathara Katong.

Bathara Katong digantikan oleh putranya, Pangeran Wali Alah sebagai Bupati Ponorogo ke II. Legenda populer mengatakan bahwa Bathara Katong membuat aliansi dengan keluarga wali lain yang penting. Putrinya, misalnya, dinikahkan dengan Ki Pandan Aran dari Tembayat, salah satu penyebar ajaran Islam lainnya dari daerah  Mataram.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantarangin sebagai sejarah Reog. Bahkan kesenian Reog Ponorog dipakai sebagai media dakwah oleh para Ulama. Dikarenakan Bathara Katong mengikuti jejak Sang Guru Sunan Kalijaga yaitu berdakwah dengan menggunakan media Seni Budaya untuk menarik simpati masyarakat yang saat itu masih banyak menganut ajaran agama Kepercayaan atau Hindu dan Budha.

5   Keteladanan Bathara Katong

Bathara Katong merupakan tokoh yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat. Beliau memiliki suatu ajaran yang diikuti oleh masyarakat secara luas pada masanya. Ajaran itu adalah ajaran tentang filsafat hidup dan keagamaan. Dalam perjalanannya menyebarkan dakwah Agama Islam di daerah sekitar, Bathara Katong melakukan dengan mengambil simpati masyarakat dengan memberikan contoh teladan yang baik, dan beliau sering menjadi tempat tujuan untuk mengadu apabila terjadi permasalahan dan perselisihan yang terjadi pada saat itu. Tidak lupa beliau juga sering membagi-bagikan bahan makanan bagi yang membutuhkan. Sehingga dalam waktu singkat nama Bathara Katong semakin luas dikenal oleh masyarakat.

Bathara Katong pertama-tama memperhatikan penyebaran agama Islam, mengajarkan mengaji Alquran dan Kitab. Di setiap dusun, desa, dan kota didirikan langgar untuk mengajarkan agama Islam kepada para santri. Setiap orang menjadi marsudi (yakin) akan , Islam, semua orang mengaji Alquran dan memahami buku| buku Islam. Istana Bathara Katong menjadi pusat studi agama Islam, dan menjadi pendahulu pesantren besar di daerah Madiun. Pemerintahannya berjalan dengan damai

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Sejarah Wali Sanga, Purwadi,
  5. Dakwah Wali Songo, Purwadi dan Enis Niken,
  6. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  7. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  8. Terjemahan Babad Alit
  9. Terjemahan Babad Pacitan
  10. Terjemahan Babad Ponorogo
     
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya