Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah dan Amalan Untuk Penjagaan Rumah

 
Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah dan Amalan Untuk Penjagaan Rumah
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Rabi'ah Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan dan kecintaannya terhadap Allah SWT. Rabi'ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana beliau terkenal dengan sebutan Al-Qaysyah. Beliau dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga beliau mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Rabi’ah diperkirakan lahir antara tahun 713 - 717 Masehi, atau 95 - 99 Hijriah, di kota Basrah, Irak dan Wafat sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.

Nama lengkapnya adalah Rabi'ah binti Ismail Al-Adawiyah Al-Basriyah, diberi nama Rabiah lantaran beliau adalah anak keempat dari empat bersaudara.  . Rabi’ah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai "The Mother of the Grand Master" atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Beliau juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu Al-Faridh dan Zhun Nun Al-Misri. Kezuhudan Rabi'ah juga dikenal hingga ke Eropa. Hal ini membuat banyak cendikiawan Eropa meneliti pemikiran Rabi'ah dan menulis riwayat hidupnya, seperti Margareth Smith, Masignon, dan Nicholoson.

Dikisahkan, ada seorang pencuri masuk ke rumah Rabi’ah Al-Adwiyah ketika beliau sedang tidur malam. Pencuri itu mengambil beberapa barang yang ada di rumah tersebut, kemudian segera bersiap untuk pergi. Akan tetapi, lama dicari, pencuri itu tidak bisa menemukan pintu untuk keluar.
Tiba-tiba, terdengar suara tanpa rupa yang berkata, “Jika kau ingin keluar, taruhlah barang-barang yang kau ambil itu!”
Begitu pencuri itu menaruh barang curiannya, dia dapat segera menemukan pintu keluar. Akan tetapi ketika dia mengambil barang itu kembali, pintu tersebut tiba-tiba menghilang.
Lama dia mencari jalan keluar, tapi tetap dia tidak menemukan. Akhirnya pencuri itu menaruh kembali barang curiannya. Setelahnya, terdengar suara berkata, “Wahai Fulan, ketahuilah, jika Rabi’ah tidur, maka Tuhannya Rabi’ah tidak pernah tidur.”

Begitulah keadaan para wali Allah seperti Rabi’ah Al-Adawiyah. Dikarenakan mereka senantiasa menjaga Allah dengan istiqomah melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta senantiasa mengikat hati dan pikiran mereka dengan Allah, maka Allah-pun menjaga dan melindungi mereka dari segala mara bahaya yang datang.

Amalan Untuk Penjagaan Rumah

Dikatakan oleh Imam Ibn ‘Asyur, “Siapa membaca:

وَكَانَ اللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيتًا

Dan Allah menjadi pemelihara segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 85)

Dibaca Sebanyak 41 kali. Maka biarpun ada ratusan pencuri yang masuk ke rumahnya, Allah akan menjaga dan memberikan keamanan bagi rumah tersebut.”

Disebutkan juga oleh Imam Nawawi Al-Bantani, “Siapa memiliki kebun atau tanah yang di situ banyak terjadi pencurian. Maka ambil 4 batang bambu, kemudian tuliskan kalimat berikut di masing-masing batang bambu tersebut:

وَكَانَ اللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيتًا

Selanjutnya, tanam 4 batang bambu tersebut di setiap pojok tanah yang kita inginkan. Insya Allah tanah dan isinya akan dijaga oleh Allah dari segala bentuk pencurian.”

Dan untuk keamanan di rumah kita, Imam Nawawi Al-Bantani juga menyebutkan, “Ambil air, kemudian bacakan kalimat berikut:

وَكَانَ اللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيتًا

Sebanyak 41 kali. Kemudian percikkan air tersebut di sudut dan sekelilimg rumah kita. Insya Allah rumah dan penghuninya akan dijaga oleh Allah dari segala bentuk gangguan dan pencurian.”

Catatan:

Al-Muqit berarti Yang Maha Memelihara. Ya, Allah adalah yang memelihara segala sesuatu.

 وَكَانَ اللَّـهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُّقِيتًا

Apa yang dimaksud dengan pemeliharaan di sini? Bila dihubungkan dengan siyaq (konteks) dari ayat tersebut, maka makna pemeliharaan di sini berkaitan dengan kemampuan Allah untuk senantiasa membalas perbuatan [yang baik dibalas dengan kebaikan, dan yang buruk dibalas dengan keburukan].

Menurut Imam Ibn ‘Asyur, sifat Muqit di sini, yang asalnya berarti penjaga atau pengawas, digunakan untuk menunjukkan makna penjagaan dan pengawasan secara terus-menerus.

Sebelumnya Rabi’ah Al-Adawiyah merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya.

Di antara syair cinta Rabi’ah Al-Adawiyah yang paling masyhur adalah:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
Cinta karena diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu,
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat.
Baik ini maupun untuk itu, pujian bukanlah bagiku.
Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.”

Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hubb Al-hawa dan hubb anta ahl lahu, saya kutip tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi memberikan penafsiran bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat adalah nikmat materiil, tidak spiritual karenanya hubb di sini bersifat hubb indriawi. Walaupun demikian, hubb Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah, tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat.
Sebab, Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi memandang memandang sesuatu yang ada di balik nikmat. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai berikut:

“Mungkin yang Rabi’ah maksudkan dengan cinta karena dirinya adalah cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini, sedangkan cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal seperti ini disabdakan dalam hadis qudsi, ‘Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh, Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat mata, tidak terdengar telinga, dan tidak terbesit di kalbu manusia.”

Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh relung hatinya sehingga membuatnya hadir Bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap dalam syairnya,

“Kujadikan Kau teman berbincang dengan kalbu.
Tubuhku pun biar berbincang dengan temanku.
Dengan temanku tubuhku bercengkerama selalu.
Dalam kalbu terpancang selalu kekasih cintaku.”

Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah sering menyampaikan,

“Wahai Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencinta-Mu,
sehingga tidak ada yang menyibukkan aku selain dari-Mu.
Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, mata telah
bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pecinta
telah menyendiri dengan yang dicintai, dan inilah aku berada di
hadirat-Mu.”

Ketika fajar menyingsing, Rabi’ah berkata,

“Tuhanku, malam telah berlalu dan siang telah siap menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih.
Demi kemahakuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan selama
Engkau beri aku hayat, sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan
pergi karena cintaku pada-Mu telah memenuhi hatiku.”

Rabi’ah Al-Adawiyah merupakan tokoh wanita yang bisa kita contoh dalam kehidupan zaman sekarang. Baik dalam kezuhudannya, kesederhanaanya, ibadahnya terhadap Allah SWT, dan rasa cintanya kepada Allah SWT yang begitu besar sehingga enggan untuk berpaling dari-Nya.

Rabi’ah al-Adawiyah bukan hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga ilmu tafsir, ilmu fiqih, dan juga ilmu hadis. Banyak ulama yang datang untuk berdiskusi dengannya dalam majelis-majelis yang dihadiri oleh Rabiah. Ketika beliau meninggal, lautan manusia mengiringi pemakamannya; mulai dari pejabat kekhalifahan, tokoh ulama, hingga kaum miskin. Walau beliau telah tiada, tetapi ilmu yang beliau wariskan masih terus bergema hingga kini.

Kini dapat disaksikan adanya manusia postmoderen yang selalu melaju berlandaskan pada motif materialisme, bergerak bagai robot tak berjiwa yang berjalan tanpa cinta, dan kesadaran akan arti penting berTuhan dengan cinta tampaknya perlu ditumbuhkan kembali melalui gagasan cinta dari seorang sufi agung perempuan, Rabi’ah al-Adawiyah.

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٧١)

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan salat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. At-Taubah 9:71)

Demikian sekilas cerita tentang Rabi’ah Al-Adawiyah. Semoga Bermanfaat

 

Sumber : Dari Berbagai sumber Kajian Tasawuf