Kisah Inspiratif Yahudi Dermawan vs Muslim Bakhil di Hari Asyura

 
Kisah Inspiratif Yahudi Dermawan vs Muslim Bakhil di Hari Asyura
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Kitab I’anatut Tholibin karya Syaikh Abu Bakar Syatho terdapat satu kisah menarik tentang Hari Asyura. Kisah ini dimuat di jilid II, hlm 267-268. Menceritakan tentang seorang Yahudi yang dermawan dan seorang Muslim yang bakhil.

Dikisahkan ada seorang fakir berpuasa di Hari Asyura bersama keluarganya. Namun ketika menjelang maghrib, mereka tidak punya makanan apapun untuk berbuka. Lalu, dengan penuh harapan orang fakir itu keluar rumah untuk mencari rezeki demi buka puasa keluarganya.

Ia berangkat menuju pasar hendak meminjam uang secukupnya kepada seorang Muslim pemilik toko emas.

Orang fakir berkata; “Tuanku, aku orang fakir, bisakah Anda meminjamiku uang sedirham yang akan aku gunakan membeli makanan berbuka untuk keluargaku, dan sebagai balasannya aku akan mendoakanmu hari ini?”

Namun si pemilik toko justru memalingkan wajahnya dan tidak memberinya pinjaman sedikitpun. Bercucuranlah air mata orang fakir tersebut. Mengalir di pipinya mengiringi hati yang remuk dan pilu.

Ketika itu, pemilik toko emas lainnya yang kebetulan seorang Yahudi melihatnya dan menaruh iba. Orang fakir itu pun mengadukan kisahnya barusan di toko sebelah.

“Hari apa ini?” Tanya orang Yahudi penuh selidik.

“Hari Asyura,” jawab orang fakir sambil menerangkan keutamaan-keutamaannya.

“Ambil ini 10 dirham dan belanjakan untuk keluargamu karena memuliakan hari ini”, sergah Si Yahudi.

Gembiralah hati si fakir. Ia segera berbelanja dan pulang membawa makanan untuk buka puasa bersama keluarganya.

Di malam harinya, Si Muslim pemilik toko emas bermimpi, Hari Kiamat telah tiba, ia sangat kehausan dan sedih. Setelah melihat ke sekelilingnya, ia mendapati istana yang terbangun dari mutiara putih sedangkan pintu-pintunya terbuat dari batu yaqut merah. Ia segera berteriak dari luar; “Wahai pemilik istana, beri aku minum sedikit saja!” Lalu dijawab; “Ini sebenarnya istanamu kemarin hari. Setelah Kamu mengusir Si Fakir dengan hati perih, maka namamu dihapus dan dituliskan nama tetanggamu Si Yahudi yang menolong Si Fakir sebagai pemiliknya.”

Menyesal tiada guna, kekecewaan terus melanda. Pagi harinya Si Muslim yang bakhil itu menandatangi Si Yahudi dermawan untuk membeli pahala 10 dirham yang diberikannya kepada Si Fakir kemarin hari, dengan harga 10 kali lipatnya, yakni 100 dirham. Namun Si Yahudi bersikeras tidak akan menjualnya seraya menegaskan: “Demi Allah, aku tidak akan menjualnya, meskipun dibayar lebih dari 100 dirham, bahkan 100 dinar pun.”

Si Muslim pun penasaran, siapa yang memberitahu rahasia Hari Asyura ini kepada Si Yahudi, lantas ia menanyakannya; “Yang memberitahu kepadaku adalah Allah, Tuhan yang berfirman pada apapun yang akan diciptakan ‘Kun Fayakun, jadi maka jadilah’, dan Aku telah bersaksi bahwa tiada Tuhan Selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan Aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya,” terang Si Yahudi penuh haru mengiringi keislamnnya.

 

Hidayah Allah SWT adalah hak prerogatifnya. Tidak ada yang bisa memaksa ataupun mencegahnya. Jika Allah telah menghendaki, maka seketika itu akan terjadi. Jika tidak menghendaki terjadi, maka apapun dan bagaimanapun tidak ada yang bisa memaksanya.

Kisah Orang Yahudi di atas adalah bukti atas kuasa-Nya. Meski Seorang Yahudi, ketika sifat kasih sayang melekat pada dirinya dan peduli kepada orang yang membutuhkan, maka siapa yang tahu Allah SWT akan menurunkan rahmat dan memberikan hidayah kepadanya. Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa.

Sementara itu, meski Seorang Muslim yang tampak khusyuk tapi tak mempunyai kepedulian terhadap orang yang membutuhkan, siapa yang tahu Allah menghendakinya menjadi tidak baik.

Maka, dari sini kita bisa menarik satu pelajaran penting, bahwa peduli kepada orang lain yang membutuhkan adalah perbuatan mulia yang bisa menurunkan rahmat Allah SWT. Apalagi, perbuatan mulia itu dilakukan di hari yang mulia dan di bulan yang mulia pula, yakni, di Hari ‘Asyura’, di Bulan Dzulhijjah.

Sungguh beruntung Si Yahudi yang bermodalkan husnudhan atas keutamaan Hari ‘Asyura, dan kepeduliannya kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan, ia mendapat anugerah besar dan diberi hidayah masuk Islam. Semuanya telah dikehendaki oleh Allah SWT.

Lalu bagaimana dengan Orang Muslim yang mengetahui dan mengakui keutamaan Hari ‘Asyur serta tahu betapa mulianya membantu orang lain yang membutuhkan, namun justru mengabaikan semua itu? Wallahu ‘Alam. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Atthallah Hareldi