Serial Suku Nusantara : Suku Abui Nusa Tenggara Timur

 
Serial Suku Nusantara : Suku Abui Nusa Tenggara Timur
Sumber Gambar: Mediaindonesia.Com

Laduni.ID – Jakarta, Indonesia memang kaya. Tak terbatas pada kekayaan alamnya saja, melainkan juga budaya dan tradisinya. Terlepas dari kesibukan hiruk-pikuk perkotaan, Indonesia memiliki ribuan suku bangsa yang masih mempertahankan tradisinya.

Nusa Tenggara Timur, adalah salah satu dari beberapa provinsi di Indonesia yang masih menyimpan kekayaan budaya dari suku-sukunya. Salah satunya, yakni Suku Abui. Suku Abui merupakan suku yang mendiami wilayah Pulau Alor di Nusa Tenggara Timur. Tepatnya Desa Takpala, Alor. Mereka ini berdiam dalam wilayah-wilayah bernama Likuwatang, Malaikawata, Kelaisi, Tafuikadeli, Atimelang dan Motang.

Suku ini juga di kenal dengan nama Barawahing, Barue, atau Namatalaki. Kata Abui sendiri memiliki makna gunung. Masyarakat Abui memanggil diri mereka Abui laku, yang berarti orang pegunungan. Sementara Barawahing, memiliki arti kasar, dengan konotasi orang hitam, bau dan berasap. Jadi, ada baiknya untuk tak memanggil orang Abui dengan sebutan Barawahing.

Konon, zaman dahulu Suku Abui sangat mahir dalam berperang, sehingga mendapat julukan "Pemburu Kepala Manusia". Hal ini bisa dilihat dari perlengkapan baju perang yang digunakan saat menyambut tamu dengan tarian khas nya. Ada parang dan anak panah, yang digunakan oleh para penari laki-laki.

Suku Abui, seperti halnya suku lain di Indonesia, juga memiliki kepercayaan khusus. Masyarakat suku ini dulunya menganut paham animisme. Namun, hal ini terjadi sebelum Agama lain masuk di Nusa Tenggara Timur.

Mengunjungi suku Abui dapat menjadi salah satu wisata budaya untuk memperkaya pemahaman anda mengenai budaya Indonesia. Keramahtamahan suku Abui akan segera menjamu anda ketika mengunjungi pedalaman Nusa Tenggara Timur. Anda akan menemui betapa kebahagiaan mereka begitu sederhana.

Ketika datang ke kampung suku Abui, Anda akan disambut dengan tari-tarian dan nyanyian yang dibawakan oleh para ‘Mama’. Masyarakat suku Abui begitu murah hati dan dermawan, mereka percaya bahwa mereka tak memiliki apa yang mereka punya.  Saat ini, Takpala menjadi desa wisata yang dikembangkan oleh pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur.

Suku Abui di Desa Adat Takpala hingga saat ini memutuskan hidup tanpa listrik. Dulunya untuk penerangan, orang tua menggunakan bambu kering yang diisi dengan buah jarak, lalu dibakar. Cara itu berlangsung cukup lama hingga minyak tanah dikenal oleh masyarakat setempat. "Buah jarak dipakai sampai ada minyak tanah, hingga sekarang masih pakai minyak tanah, masyarakat Desa Adat Takpala memang tidak mau menggunakan listrik," kata Kepala Sanggar Desa Adat Takpala.

Di kampung ini, terdapat 14 rumah adat tradisional atau rumah lopo Suku Abui yang dihuni satu keluarga di setiap rumah. Secara keseluruhan, rumah Desa Adat Takpala terdiri atas empat macam rumah atau ruangan, yakni ruangan menerima tamu, rumah tempat memasak dan tidur, gudang penyimpanan jagung dan ubi, serta rumah sakral.

Rumah Sakral ini berada persis di tengah kampung. Rumah sakral di desa ini ada dua rumah. Rumah ini tidak dihuni, hanya dibuka satu tahun sekali saat pembukaan lahan. Dua rumah tersebut tidak bisa dibuka sembarang orang.

Menurut penuturan nenek moyang suku Abui, satu rumah adat disebut Kolwat (hitam) dan satu rumah lain disebut Kanuruwat (putih). Rumah Kolwat atau hitam adalah rumah yang berhubungan dengan hal gelap atau jahat. Sementara rumah Kanuruwat sebaliknya. Rumah ini dianggap suci.

Secara umum, sub suku Abui terbagi jadi tiga yaitu Marang, Kapitang, dan Awenni. Hanya suku Marang saja yang boleh masuk ke dalam rumah sakral ini. Selain itu, sub suku lain boleh masuk namun ada syaratnya. Hanya anak sulung dari sub suku tersebut yang diperbolehkan.

Di dalam kedua rumah ada peninggalan leluhur suku Abui, seperti moko (alat musik besi), periuk nenek moyang di zaman dahulu, dan tombak perang.

Salah satu aspek tradisional yang dipertahankan Suku Abui Desa Takpala adalah pada penggunaan genteng rumah yang masih berupa alang-alang. "Bahkan, jika atap rusak, kami tetap mempertahankan tradisi sejak dulu, kami akan cari alang-alang untuk memperbaiki, bukan menggantinya dengan seng," kata Kepala Sanggar Desa Adat Takpala.

Jika sebagian besar warga Alor menggantungkan hidupnya dari hasil laut, Suku Abui justru mencari nafkah dari hasil berkebun, seperti jagung dan ubi. Di belakang perkampungan tampak lahan yang sudah ditanami. Meski begitu, setelah masa panen selesai, warganya akan berpindah mencari lahan baru untuk ditanami lagi.

Sedangkan para orang tua yang sudah tidak bisa berkebun akan membuat kerajinan sebagai suvenir untuk dijual kepada wisatawan di lokasi tersebut.

Suku Abui yang mendiami desa Takpala ini menggunakan bahasa Abui untuk percakapan sehari-hari mereka. Menurut Grimes & Max Jacob dalam bukunya ‘A Guide to the people and languages of Nusa Tenggara’, suku Abui memiliki beberapa dialek, di antaranya seperti Atimelang, Kobola, dan Alakaman. Bahasa Abui ini merupakan akulturasi dari bahasa Papua, Alor, dan Makasai.

Sayangnya, seiring dengan perkembangan jaman dan tekanan dari pemerintah untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa percakapan sehari-hari, bahasa Abui kini makin luntur ditelan zaman.

Referensi

  1. Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedia Sukubangsa di Indonesia. Jilid A--K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat.
  2. PT. Ensiklopedia Nasional Indonesia. Ensiklopedia Suku, Seni dan Budaya Nasional Jilid 1.
  3. Grimes & Max Jacob ‘A Guide to the people and languages of Nusa Tenggara’,