Konteks Nabi Muhammad SAW Menikahi Shafiyah dan Kisah Isyarat Kenabian dalam Taurat

 
Konteks Nabi Muhammad SAW Menikahi Shafiyah dan Kisah Isyarat Kenabian dalam Taurat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada tahun keenam Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhthab Al-Israiliyyah yang tergolong masih keturunan dari jalur Nabi Harun, saudara Nabi Musa. Ia adalah seorang perempuan yang berasal dari suku Bani An-Nadhir. Lalu ia dinikahi oleh Nabi Muhammad SAW setelah suaminya gugur dalam perang Khaibar. Ketika itu Shafiyah menjadi tawanan perang, dan tidak seorang pun dari sahabat berani untuk mengawininya, sebab Shafiyah adalah pemimpin Bani Quraizhah dan putri dari pemimpin Bani An-Nadhir. Akhirnya para sahabat menyatakan orang yang paling pantas untuk menikahi Shafiyah, tidak lain adalah nabi sendiri. Menurut seorang cendekiawan Muslim kontemporer, M. Rasyid Ridha, hikmah di balik hal ini adalah untuk menjaga martabat Shafiyah agar tidak menjadi kalangan hina setelah menjadi budak dan menikah dengan orang biasa.

Selain alasan tersebut, tujuan Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyah binti Huyay adalah untuk mendamaikan suasana permusuhan yang terjadi antara Islam dan para kalangan Yahudi, dan tentu saja hal tersebut juga menjadi momen yang tepat untuk menyampaikan dakwah ajaran Islam.

Ada yang menarik kalau melihat sirah nabawiyah, riwayat perjalanan Nabi Muhammad SAW yang ditulis oleh Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam bukunya Sirah Nabawiyah. Ketika masa-masa bulan madu, Nabi Muhammad SAW melihat memar berwarna biru yang membekas di paras Shafiyah. Kemudian nabi bertanya, Kenapa itu, ada apa denganmu?” Shafiyah lalu menjawab, “Wahai Rasulullah, sebelum engkau mendatangi kami, aku bermimpi melihat bulan seolah-olah terlepas dari tempatnya dan jatuh di bilikku. Tapi, tidak, demi Allah akut tidak pernah menyebut diri engkau sedikit pun. Aku menceritakan mimpiku kepada suamiku, lalu dia menampar wajahku.”

Di sisi lain, sebagaimana penjelasan Gus Baha’ dalam pengajiannya, bahwa pecahnya perang Khaibar ini terkadang menimbulkan problematika yang melahirkan kesan mengapa umat Islam menjadikan harta lawan yang kalah dalam perang dijadikan rampasan dan para perempuannya dijadikan budak yang halal dinikahi. Menurutnya, hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan.

Alasan pertama, harta jarahan perang yang diambil oleh umat Islam hal ini bertujuan agar melemahkan pihak lawan dan menghindari konflik berkepanjangan, sebab harta lawan adalah senjata yang paling penting. Bilamana harta atau senjata tersebut tidak diambil, maka dapat memungkinkan pihak lawan akan melakukan perlawanan atau pemberontakan kembali hingga perang ini akan berkepanjangan dan akan menimbulkan banyak jatuhnya korban. Dan tentu itu semua dapat membahayakan pihak Islam.

Alasan kedua, masih menurut Gus Baha’, bahwa menjadikan perempuan sebagai tawanan hingga halal dinikahi itu dikarenakan perempuan adalah satu-satunya alat reproduksi dan dapat menentukan kondisi si anak pada masa depannya. Oleh sebab itu, dengan cara membiarkan kaum perempuan tetap berada dalam asuhan kaum kafir maka tidak akan menafikan mereka dapat melahirkan seorang anak yang suatu ketika juga akan membenci Islam. Maka dengan cara mengambil alih dan menikahi mereka adalah cara yang baik, sebab hal ini akan menguntungkan umat Islam, dan para perempuan tawanan tersebut akan memperbanyak populasi umat Islam ke depan.

Kondisi yang demikian itu, menjadi konteks Nabi Muhammad SAW menikahi Shafiyah binti Huyay, yang merupakan putri pembesar dan pemimpin kaum Yahudi. Faktor penting yang membuat Shafiyah terjerumus ke dalam tawanan perang adalah memang keinginannya sendiri. Lanjut Gus Baha’, hal ini terjadi ketika pada suatu malam Shafiyah mendengar ayahnya sedang berbicara dengan pamannya, bahwa dalam kitab suci mereka (Taurat) akan lahir seorang nabi yang sekarang tinggal di Yatsrib. Hal tersebut juga bersamaan dengan pengepungan yang dilakukan kaum muslim terhadap Khaibar yang dihuni oleh kaum Yahudi.

Berangkat dari rasa penasaran itu, Shafiyah secara diam-diam juga terjun dalam perang, sehingga kekalahan dari pihak Yahudi membuat Shafiyah dengan mudah ditangkap.

Karena Shafiyah berada dalam bagian sahabat yang bernama Dihyah Al-Kalabi waktu itu, maka para sahabat merasa iri dan tidak rela kalau Shafiyah yang notabene perempuan yang cantik dan berkududukan tinggi dinikahi oleh Dihyah. Lalu menurut para sahabat, orang yang pantas menikahinya adalah Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Usulan para sahabat itu kemudian diterima oleh nabi, sementara Dihyah Al-Kalabi diperbolehkan menikahi perempuan tawanan lainnya manapun selain Shafiyah.

Saat itu, Nabi Muhammad SAW tidak serta merta menikahi Shafiyah dengan cara memaksa, melainkan dengan cara yang sopan dan baik.

Nabi kemudian bertanya kepada Shafiyah, apakah ia ingin kembali kepada orang tua atau kaumnya atau ikut dengan nabi dan menjadi istrinya. Lalu Shafiyah menjawab bahwa ia ingin ikut nabi dan menjadi istrinya. Nabi lalu kembali bertanya mengapa ia lebih memilih ikut dan menjadi istrinya. Akhirnya Shafiyah menceritakan semuanya, ia mendengar ayahnya berbicara dengan pamannya, bahwa dalam Kitab Taurat yang menjadi pedoman mereka telah memberitahukan akan datang seorang nabi yang berasal dari kota Yastrib dan itu tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah hikmah yang dapat dipetik dari terjadinya perang Khaibar. Semua yang dilakukan itu merupakan strategi nabi dalam menyebarkan Islam.

Memang tidak dipungkiri, bahwa ketika nabi menghalalkan harta jarahan perang dan bolehnya menikahi perempuan tawanan, oleh beberapa kalangan terkadang dianggap sebagai kelemahan dan keburukan, padahal jika ditinjau lebih jauh hal tersebut ternyata adalah sebuah strategi yang sangat luar biasa dan mengandung hikmah yang besar. Demikian itu dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan wahyu dari Allah SWT. Karenanya, bukanlah suatu hal yang aneh jika hal itu jauh melampaui logika.

Gus Baha’ menegaskan bahwa memang wahyu yang datang kepada nabi itu tidak jarang susah dijangkau oleh akal. Hanya kecerdasan yang tinggi dan anugerah dari Allah yang mampu mengantarkan akal kita sampai pada taraf tersebut. Allahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al Muntadar

Editor: Hakim