Biografi KH. Nawawie bin Noerhasan, Dewan Penasehat Nahdaltul Ulama Periode Pertama

 
Biografi KH. Nawawie bin Noerhasan, Dewan Penasehat Nahdaltul Ulama Periode Pertama
Sumber Gambar: sidogiri.net

Daftar Isi Biografi KH. Nawawie bin Noerhasan

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru Beliau
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Menjadi Pengasuh Pesantren
3.2  Peran di Nahdlatul  Ulama
4.   Teladan Beliau
4.1  Sosok Dermawan
4.2  Ahli Fiqih
4.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir

KH. Nawawie bin Noerhasan diperkiraan lahir Pertengahan 1800 M. Beliau lahir dari pasangan Kyai Noerhasan bin Noerkhatim dan Nyai Hanifah binti Mahalli. Beliau anak ke tiga dari enam bersaudara, Yakni:

  1. KH. Bahar bin Noerhasan (Sidogiri),
  2. KH. Dahlan (Sukunsari),
  3. KH. Nawawie (Sidogiri),
  4. Nyai Munawwarah (Serambi),
  5. Nyai Fathonah (Sidogiri),
  6. Nyai Anisatun (Sidogiri).

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Nawawie bin Noerhasan menikah dengan Nyai Ru’yanah binti Abdul Hayyi (Kyai Urip). Kyai Nawawie adalah ulama besar yang juga salah satu pendiri jamiyah NU. Pasangan ini masih bersaudara sepupu. Dan keduanya adalah keturunan Sayyid Sulaiman Mojoagung Jombang dan Sunan Gunung Jati.  

Kyai Nawawie menyambut kehadiran anak lelaki pertama beliau dengan bahagia dan suka-cita. Harapan Pengasuh PP. Sidogiri itu untuk mempunyai anak lelaki tercapai sudah, karena kepada beliau nanti akan menyerahkan tongkat estafet perjuangan.

Konon, saat beliau masih berada dalam kandungan, Kyai Nawawie mendapat firasat bahwa putra beliau kelak akan menjadi tokoh yang disegani. Firasat itu timbul dari mimpi beliau, yang menggambarkan bahwa apa yang ada dalam kandungan istri beliau adalah macan putih. Hal itu juga diperkuat perkataan seorang Habib yang datang di kala kandungan Nyai Ru’yanah berusia 9 bulan.   

Saat itu, Nyai Ru’yanah tidak mau makan sama sekali. Akhirnya datanglah seorang Habib yang mengatakan bahwa yang ada dalam kandungan Nyai Ru’yanah adalah macan putih. Hal ini membuat Nyai Ru’yanah makin sedih, khawatir apa yang dikatakan Habib tersebut benar-benar kenyataan. Ternyata saat lahir, bukan auman macan putih yang terdengar, tapi tangisan bayi mungil yang kelak akan menjadi tokoh panutan umat.

Putra-putri Kyai Nawawie berjumlah 9 orang yakni:

  1. Nyai Fatimah, istri KH. Abdul Adzim bin Urip,
  2. KH. Muhammad Noerhasan.
  3. Nyai Hanifah, istri KH. Abdul Djalil bin Fadlil,
  4. KH. Cholil,
  5. Nyai Aisyah, istri KH. Thoyyib bin Abdul Karim, Kramat.
  6. KH. Siradjul Millah-Waddin,
  7. KA Sa’doellah,
  8. KH. Hasani,
  9. Seorang putri yang meninggal pada usia 4 tahun. 

1.3 Wafat
Pagi itu, Jumat, 25 Syawal 1347 H / 6 April 1929. Kyai Nawawie diundang untuk melaksanakan shalat jenazah. Beliau mengatakan kepada pengundang agar menunggu beliau sebentar. Lalu beliau masuk ke mihrab (tempat untuk menyendiri menghadap Tuhan). Lama mereka menunggu, namun Kyai belum juga keluar.

Kata para santri, biasanya Kyai masih melaksanakan shalat Duha. Beliau memang istikamah melaksanakan shalat Duha sebelum membuka pengajian di surau. Tapi, setelah lama ditunggu, Kyai belum juga keluar. Para santri mulai gelisah.

Akhirnya, salah seorang dari mereka memberanikan diri mengintip dari celah-celah lobang kunci. Dilihatnya Kyai sedang sujud. Ditunggu lagi sampai beberapa saat, namun beliau belum juga keluar.

Akhirnya santri itu mengintipnya lagi. Subhanallah, santri itu terkejut setelah melihat ada busa bercampur darah keluar dari mulut Kyai. Spontan tamu dan santri itu menggedor pintu yang sedang terkunci. Ternyata Kyai telah memenuhi panggilan Sang Khalik ketika sedang sujud di hadapan-Nya. Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjî’ûn.

Berita wafatnya Kyai Nawawie tersebar dengan cepat ke berbagai pelosok. Beliau memang sosok ulama karismatik yang memiliki pengaruh kuat yang luar biasa di kalangan masyarakat Jawa Timur saat itu.

Tak selang berapa lama mereka telah berbondong-bondong ingin bertakziah. Lautan manusia membuat sesak Sidogiri. Mereka rela berjejal-jejal di bawah terik matahari untuk memberi penghormatan terakhir kepada ulama sepuh yang amat disegani itu. Para pelayat membentuk antrean memanjang sekitar 7 km dari arah utara, Kraton, dan arah timur, Warungdowo, sampai Sidogiri.

Aktivitas masyarakat Pasuruan macet total. Mereka betul-betul terhanyut dalam suasana berkabung, Kyai yang menjadi panutan utama mereka telah tiada.

Kepergian guru ulama-ulama besar Jawa Timur itu tidak hanya ditangisi oleh masyarakat Muslim, non Muslim pun ikut berduka. Pihak kompeni yang saat itu menduduki Pasuruan turut bersimpati.

Teriring wafatnya Kyai Nawawie bin Noerhasan ini, semua jenis angkutan umum jurusan Surabaya dan Malang digratiskan untuk masyarakat yang ingin bertakziah. Tidak cukup itu, kendaraan mereka pun dikeluarkan untuk mengangkut ribuan umat yang hendak menghadiri prosesi pemakaman beliau.

Ada kejadian unik saat beliau dimandikan. Air yang dibuat memandikan jenazah beliau tidak sampai jatuh ke tanah, karena orang-orang yang hadir saat itu berebutan menadahinya dan dibawa pulang. Mereka yakin air itu penuh barakah.

Perjalanan hidup Kyai Nawawie memang sulit digambarkan secara rinci. Sifat khumul (tidak ingin namanya terkenal dan disebut-sebut orang) yang mewarnai perjalanan hidup beliau membuat aktivitas beliau tidak banyak diketahui khalayak. Hari-hari beliau lebih banyak dihabiskan untuk mulang santri yang mengaji di surau. Sifat khumul ini terus diwarisi oleh generasi-generasi beliau dan menjadi ciri khas ulama-ulama Sidogiri hingga saat ini.

Sepeninggal Kyai Nawawie, Pondok Pesantren Sidogiri kemudian dipangku oleh menantu beliau, KH. Abdul Djalil bin Fadlil, santri Kyai Nawawie yang masih keturunan Sayyid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab Hâsyiah I’ânah ath-Thâlibîn. “

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Kehidupan Kyai Nawawie muda dipenuhi dengan perjalanan mencari ilmu. Karena beliau tumbuh dewasa di lingkungan pesantren, apalagi di bawah pengawasan langsung sang ayah beliau. Setelah memperoleh dasar-dasar pendidikan di lingkungan keluarga sendiri, beliau menuntut ilmu ke pesantren milik Syekh Kholil Bangkalan yang sebenarnya masih tergolong famili beliau sendiri.

Syekh Kholil dan Kyai Nawawie, sama-sama cicit dari Kyai Asror bin Abdullah bin Sulaiman Bangkalan (Bujuk Asror/Bujuk Langgundih), cucu Sayyid Sulaiman yang bertempat tinggal di Bangkalan Madura. Orang Madura biasa menyebut hubungan famili antar cicit ini dengan du popoh (dua pupu), kelanjutan dari sepupu (misan).

Selain Kyai Nawawie, putra Kyai Noerhasan yang mondok di pesantren Syekh Kholil ini adalah kedua kakak beliau, KH. Bahar dan KH. Dahlan. Kyai Bahar mondok di pesantren Syekh Kholil ketika beliau berumur 9 tahun.

Beliau terkenal memiliki ilmu laduni, ilmu intuitif yang didapat langsung dari Yang Maha Kuasa. Dan pada usia yang masih relatif bocah, 12 tahun, Kyai Bahar sudah menjadi pemangku Pesantren Sidogiri. Sehingga beliau mendapat julukan “Kyai Alit” (Kyai yang masih kecil).

Berbeda dengan kakak beliau yang serba ilham itu, Kyai Nawawie mendapatkan ilmu beliau dengan ‘susah payah’. Sehabis belajar pada Syekh Kholil Bangkalan, beliau melanjutkan belajar ke Termas, Jawa Tengah, suatu kawasan yang banyak melahirkan ulama-ulama besar, seperti Syekh Mahfudz at-Termasi, ulama terkenal yang bermukim dan mengajar di Masjidil Haram, Makkah.

Setelah mondok di Termas, Kyai Nawawie menghabiskan masa muda beliau di Makkah Al-Mukarramah. Di negara tempat lahirnya Islam itu, beliau mempelajari segala bidang ilmu pengetahuan Islam dengan tekun.

Konon, Kyai Nawawie nyantri di Makkah selama tiga tahap. Pertama, Kyai Nawawie ke Makkah ditemani oleh KH. R. Syamsul Arifin, Situbondo. Setelah itu beliau kembali ke Sidogiri. Namun, tak lama kemudian Kyai Nawawie kembali lagi ke Makkah karena merasa ilmu beliau belum cukup, dan disamping, karena saat itu masih ada kakak beliau, Kyai Bahar yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Terakhir beliau kembali ke Makkah setelah diberi sebuah pertanyaan oleh sang kakak dan ternyata Kyai Nawawie tidak bisa menjawab. Kyai Nawawie kembali mondok ke Makkah seraya bersumpah tidak akan pulang selagi belum bisa ‘mengalahkan’ kakak beliau.

2.1 Guru-Guru Beliau

  1. KH. Noerhasan bin Noerkhotim (ayah),
  2. Syekh Kholil di Bangkalan Madura,
  3. Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Menjadi Pengasuh Pesantren
Kyai Nawawie pulang dari Makkah setelah menerima kabar bahwa kakak beliau, Kyai Bahar, pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri saat itu telah berpulang ke rahmatullah, dan beliau diminta meneruskan tongkat estafet perjuangan beliau, mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.

Kyai Nawawie menjadi pengasuh setelah banyak mengenyam pendidikan agama yang diperoleh dari petualangan beliau mencari ilmu. Beliau dikenal sebagai ulama yang zuhud dan wara’ (baca: berhati-hati), di samping dikenal karena keluasan ilmu beliau, khususnya di bidang ilmu Fiqh. Tak jarang Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri dan Rais Akbar NU, datang ke Sidogiri hanya sekadar bertukar pikiran masalah fiqhiyah bersama beliau.

Kehati-hatian Kyai Nawawie ini tercermin dari sikap beliau yang selama mengajar tidak pernah menulis di papan tulis. Hal ini karena beliau khawatir debu sisa-sisa tulisan ayat al-Qur’an terinjak oleh santri-santri beliau.

 

3.2 Peran di Nahdlatul Ulama (NU)
Bermula dari beberapa organisasi kecil seperti Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang didirikan oleh KH. A. Wahab Hasbullah, tak lama kemudian melebur menjadi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia: Nahdlatul Ulama (NU). Kyai Nawawie adalah salah satu ulama yang ikut membidani lahirnya organisasi kebanggaan warga Ahlusunah wal Jamaah ini.

Alkisah, saat KH. A. Wahab Hasbullah menghadap KH. Hasyim Asy’ari untuk mengutarakan niat beliau mendirikan sebuah organisasi keagamaan, beliau menyarankan agar mengkonsultasikan terlebih dahulu kepada KH. Nawawie Sidogiri. Maka atas saran guru beliau tersebut, Kyai Wahab Hasbullah datang ke Sidogiri untuk menemui Kyai Nawawie.

Setelah Kyai Wahab menyampaikan maksud kedatangan beliau, Kyai Nawawie menyarankan agar dimusyawarahkan dulu dengan para ulama Pasuruan. Kemudian kedua ulama tersebut sepakat untuk membicarakannya di Masjid Jami’ Pasuruan.

Dari pembicaraan pertama di Masjid Jami’ Pasuruan inilah kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ulama di rumah Kyai Wahab Hasbullah pada tanggal 31 Januari 1926 M yang kemudian sepakat mendirikan sebuah organisasi keagamaan yang diberi nama Nahdlatul Ulama yang disingkat NU.

Latar belakang berdirinya NU tidak lepas dari keprihatinan para ulama terhadap situasi negara dan kondisi keagamaan masyarakat dunia Islam. Perkembangan dunia internasional pada masa itu, khususnya dunia Islam, bisa dibaca lewat dihapusnya sistem khilafah oleh pemerintahan Kemalis Republik Turki. Bagaimanapun juga penghapusan sistem khilafah menyebabkan banyak masyarakat Muslim, terutama di daerah jajahan Inggris dan Belanda, merasa terpukul dan kehilangan orientasi.

Syarif Husain, penguasa kota-kota suci Islam setelah runtuhnya Daulah Ustmaniyah pada 1916 M, berusaha menegakkan kembali dinasti khilafah. Beliau membentuk sebuah dewan penasehat khalifah (presiden) dan mengadakan Muktamar aI-Hajj (Kongres Haji) di Makkah pada bulan Juli 1924 M.

Tapi sayang sekali, muktamar ini gagal mencapai kata sepakat sebagaimana yang diharapkan oleh Syarif Husain. Sehingga beberapa bulan kemudian (tepatnya Oktober 1924), Abdul Aziz ibn Sa’ud menyerbu Makkah dan membuyarkan cita-cita kembalinya dinasti khilafah. Abdul Aziz ibn Sa’ud terkenal dengan ide dan aqidah Wahabinya yang bagi ulama Indonesia bisa menimbulkan problem lain, karena masalahnya yang bersinggungan dengan Ahlusunah wal Jamaah.

Pada tahun 1925 M, di Kairo, atas inisiatif ulama Al-Azhar yang didukung raja Mesir, Raja Fuad, beberapa ulama mengadakan persiapan untuk menyelenggarakan kongres khilafah sebagai kelanjutan dari cita-cita Syarif Husain. Walaupun akhirnya kongres ini tertunda sampai bulan Mei 1926. Pada tahun yang sama antara Juni-Juli, Raja Abdul Al-Aziz ibn Sa’ud juga mengadakan kongres tandingan di Makkah.

Penentuan pilihan antara kongres di Kairo atau Makkah inilah yang menimbulkan perdebatan panjang sampai meruncing menjadi perselisihan antara berbagai aliran Islam di Indonesia; Aliran modernis yang diwakili oleh Syarikat Islam dan Muhammadiyah dengan aliran tradisionalis yang belum mempunyai wadah resmi organisasi, kecuali perkumpulan-perkumpulan kecil bikinan KH. Wahab Hasbullah berupa Tashwirul AfkarNahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan.

Bagi Muslim tradisionalis Indonesia, yang sangat terikat pada praktek-praktek keagamaan yang dikutuk kaum Wahabi itu, penaklukan atas Makkah merupakan peristiwa mencemaskan. Kaum tradisionalis menghendaki agar utusan Indonesia yang akan datang ke kongres Makkah meminta jaminan kepada Ibn Sa’ud agar dia mau menghormati mazhab-mazhab Fiqh dan memperbolehkan berbagai praktek keagamaan tradisional.

Dengan latar belakang situasi nasional bahkan internasional itulah, kemudian eksponen dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, dan Syubbanul Wathan yang pada hakekatnya satu aliran -baik dalam akidah maupun ibadah- meleburkan diri dalam satu ikatan Komite Hijaz dibawah pimpinan KH. Wahab Hasbullah.

Tokoh-tokoh ulama seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Bisyri Syansuri (keduanya dari Jombang), KH. Ridwan (Semarang), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. Nawawie (Pasuruan), KH. Nahrawi (Malang), KH. Alwi bin Abdul Aziz (Surabaya) dan masih ada beberapa ulama lainnya, semuanya berkumpul di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M. Dalam pertemuan tersebut diambil keputusan sebagai berikut:

  1. Mengirim delegasi ke Kongres Dunia Islam di Makkah untuk memperjuangkan kepada Raja Ibn Sa’ud agar hukum-hukum menurut madzahib al-Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya
  2. Membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan pada salah satu dari empat madzhab Jam’iyah ini disusun dengan struktur kepengurusan model syuriyah dan tanfidziyah.

Dalam catatan Aboe Bakar Atjeh, KH. Nawawie bin Noerhasan termasuk salah satu pengurus pertama organisasi Islam yang berdiri pada bulan Januari 1926 M ini, bersama KH. Ridwan Mujahid (Kudus), KH. Doro Munthaha (Bangkalan), Syekh Ahmad Ghana’im (Surabaya asal Mesir), dan KH. R. Hambali.

Kyai Nawawie duduk di dewan mustasyar (penasehat) Nahdlatul Ulama periode pertama. Beliau menjadi mustasyar NU sampai akhir hayat beliau.

4. Teladan Beliau

4.1 Sosok Dermawan
Kyai Nawawie hidup pada masa mencuatnya revolusi fisik di Nusantara. Saat itu Indonesia berjuang sekuat tenaga merebut kemerdekaan, dan pesantren berada di garda terdepan dalam perjuangan melawan penjajah Belanda.

Kyai Nawawie pun tidak tinggal diam. Sebagaimana umumnya pesantren-pesantren lain waktu itu, Kyai Nawawie menjadikan Sidogiri sebagai markas perjuangan melawan penjajah. Kyai yang masih cucu ke-4 Sayyid Sulaiman ini membekali santr beliau dengan berbagai ijazah ilmu kanuragan untuk melawan Belanda, seperti ijazah ayat Lima, ayat Tujuh, dan ayat Lima Belas.

Banyak hal yang patut ditiru dan diteladani dari beliau. Keistikamahan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama, ketekunan, dan kesabaran beliau dalam mendidik dan membimbing santri-santrinya, serta kedalaman ilmu yang dimiliki beliau menjadikan beliau sangat disegani dan dihormati di kalangan para ulama.

Di antara sifat-sifat beliau yang paling menonjol adalah sifat sakhâ’ (dermawan)-nya. Banyak cerita-cerita menarik yang menggambarkan kedermawanan beliau. Pernah suatu hari beliau kedatangan tiga orang tamu.

Selesai menyampaikan keperluannya, ketiga tamu itupun pamit. Tak lupa ketiga tamu ini menyisihkan uang masing-masing sebanyak 25 ringgit untuk dibuat salaman kepada beliau. Baru beberapa menit ketiga tamu itu pergi, datanglah tiga tamu lain yang bermaksud minta sedekah.

Maka tanpa berpikir panjang, uang pemberian ketiga tamu pertama tadi langsung diberikan kepada mereka. Masing-masing mendapat 25 ringgit. Padahal saat itu beliau sangat membutuhkannya untuk keperluan beliau sendiri.

Kyai Tholhah, Warungdowo, salah seorang teman beliau, yang kebetulan menyaksikan hal itu, merasa heran, “Kyai, mengapa dikasihkan semua, dikasih 5 ringgit kan sudah cukup. Apalagi Kyai juga sangat membutuhkan uang?” tanya Kyai Tholhah penasaran. “Untuk apa saya menahan uang itu, wong saya ini hanya talang yang berfungsi mengalirkan air,” jawab beliau mengibaratkan. (Sekadar diketahui, harga seekor sapi saat itu hanya 5 ringgit!).

Ada satu hal unik dan menarik yang mungkin sulit sekali untuk dicari bandingan beliau pada orang lain, yaitu kebiasaan beliau memberikan apa saja yang diinginkan orang lain, kendatipun baju atau sarung yang sedang beliau pakai.

Saat menghadiri undangan, bila ada yang melihat atau melirik baju atau sarung yang sedang beliau pakai, maka beliau akan bertanya, “Kamu kok melihat baju saya?”. Bila dijawab, “Baju Kyai bagus,” kontan saja baju itu diberikannya. Sehingga tak jarang beliau pulang dari satu acara hanya berkaos oblong dan bercelana pendek di bawah lutut saja, sebab pakaian beliau telah diberikan kepada mereka yang suka sama pakaian beliau.

Ketika ada orang yang mau berhutang dan kebetulan beliau tidak punya, maka beliau tidak akan membiarkan orang itu pulang dengan tangan hampa. Beliau akan mencari pinjaman kesana-kemari untuk diberikan kepada mereka.

Celakanya, banyak di antara mereka yang tidak mampu melunasi hutang itu. Sehingga ketika wafat, Kyai banyak menanggung hutang. Padahal Kyai Nawawie tidak punya cukup harta untuk melunasi hutang tersebut. Hingga kitab-kitab peninggalan beliau dilelang untuk melunasi hutang.

Sifat dermawan ini bukanlah sifat yang muncul sesudah beliau menjadi seorangKyai, melainkan merupakan sifat pembawaan beliau sejak kecil. Suatu hari, sewaktu mondok di Makkah, salah seorang guru beliau membutuhkan uang sebanyak 200 dirham.

Kyai Nawawie ingin sekali membantu guru beliau tersebut. Seketika Kyai Nawawie ingat di kamar beliau itu ada kantong yang penuh berisikan uang. Maka tanpa dihitung berapa jumlahnya, sekantong uang itu diberikan kepada guru beliau.

Tentang sifat kedermawanan Kyai Nawawie, cukuplah kita mengutip perkataan beliau pada seorang putri beliau, Nyai Hj. Hanifah (ibunda KH. Abdul Alim bin Abdul Djalil), “Aku seneng due duwe’ iku waktu dibagi-bagi (Saya merasa senang kepada uang itu saat saya membagi-bagikannya)”.

Kyai Nawawie juga dikenal seorang zahid dan tidak pernah memanjakan nafsu beliau. Saat makan tidak pernah sampai merasa kenyang. Sebab, begitu merasa nikmatnya makan langsung berhenti, kendati hanya tiga pulu’an (suapan). Demikian juga bila merokok, tidak pernah sampai habis, asal sudah merasa nikmatnya merokok, beliau langsung berhenti.

Sederhana dan menjauhi kemewahan adalah gaya kehidupan Kyai Nawawie sehari-hari. Rumah serta alat-alat rumah tangga jauh dari kesan mewah. Padahal beliau bisa untuk memiliki barang yang sangat mewah sekalipun. Ketika musim hujan, dalem yang beliau tempati seringkali basah, karena banyak genteng yang bocor. Dalam pandangan Kyai Nawawie, hidup mewah di dunia akan mengurangi kenikmatan hidup di Surga.
 

4.2 Ahli Fiqih
Di kalangan ulama, Kyai Nawawie terkenal kedalamannya dalam ilmu Fiqih. Malah, KH. Hasyim Asy’ari, jika mempunyai permasalahan fiqhiyah, beliau datang ke Sidogiri untuk bertanya kepada Kyai Nawawie.

Syaikhuna KH. Hasani bin Nawawie sewaktu masih muda pernah sowan kepada Al-Arif Billah KH. Ma’ruf, Kedunglo Kediri, salah seorang teman Kyai Nawawie ketika mondok di Makkah. Setelah mengetahui Kyai Hasani adalah putra Kyai Nawawie, Kyai Ma’ruf bertanya, “Kamu hafal nazham kitab Alfiyah?” Kyai Hasani menjawab, “Tidak, Kyai.”

Mendengar jawaban Kyai Hasani, dengan agak kecewa Kyai Ma’ruf berkata, “Semenjak Kyai Nawawie wafat, dari Pasuruan sampai ke timur tak ada lagi orang alim. Kamu sebagai putra beliau, kitab Alfiyah saja tidak hafal!” Perkataan Kyai Ma’ruf itu merupakan lecutan semangat agar Kyai Hasani muda meneruskan tradisi keilmuan ayah beliau.

Ada cerita menarik berkenaan dengan kealiman Kyai Nawawie. Alkisah, ada seorang pemuda dari Kudus Jawa Tengah, bernama Kyai Subadar (ayah KH. Muhammad Subadar, Besuk Pasuruan) punya hobi mengembara menuntut ilmu dari satu tempat ke tempat lain.

Sudah bertahun-tahun Kyai Subadar ini berpetualang mencari ilmu di berbagai pelosok Jawa Tengah. Pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Sampai beberapa lama mengembara, Kyai Subadar masih belum menemukan guru yang dianggap betul-betul alim dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan beliau.

Kemudian pergilah beliau ke arah timur menyisir pesantren-pesantren di Jawa Timur. Lama beliau mencari, sampai akhirnya Kyai Subadar tiba di pesantren Kyai Yasin, Pasuruan. Mengetahui maksud Kyai Subadar, Kyai Yasin menyarankan agar beliau belajar kepada Kyai Nawawie Sidogiri.

Kyai Subadar tertarik dan langsung nyantri di Sidogiri. Pertama ikut ngaji, beliau langsung merasa cocok, sebab Kyai Nawawie jika mulang kitab, jarang sekali memberi makna, apalagi menerangkan. Waktu itu memang yang mengaji kepada Hadratussyekh adalah santri-santri senior. Bahkan tak jarang yang sudah jadi Kyai.

Diam-diam Kyai Nawawie mengetahui perihal sikap Kyai Subadar yang sudah merasa alim. Suatu ketika, pada saat memberikan pelajaran ilmu Falak, sengaja beliau tidak menerangkan dan langsung menunjuk Kyai Subadar untuk menjelaskan.Kyai Subadar pun gelagapan, karena dalam ilmu Falak dia sama sekali tidak mengerti.

Sejak saat itulah perasaan merasa alim dibuangnya jauh-jauh. Dan beliau pun menjadi salah satu santri kesayangan Hadratussyekh, hingga kemudian Kiai Subadar dinikahkan oleh Hadratussyekh dan disuruh menetap di Besuk Pasuruan.

Bisa digambarkan bahwa perjalanan hidup beliau merupakan perjalanan hidup penuh pengabdian kepada agama dan bangsa. Bolehlah jasa dan perjuangan beliau tidak banyak diketahui masyarakat, sebab beliau memang tidak pernah menginginkan orang lain menghitung berapa jasa yang telah diabdikan beliau, namun peninggalan sebuah pesantren besar yang telah mencetak tokoh-tokoh besar sudah menjadi saksi pengabdian beliau.

5. Referensi

  1. Redaksi Majalah Ijtihad, Jejak Langkah 9 Masayikh Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.
  2. Sidogiri.net https://sidogiri.net/category/masyayikhsidogiri/
 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya