Secercah Simpati untuk Keikhlasan Ustadz Kampung

 
Secercah Simpati untuk Keikhlasan Ustadz Kampung
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Kehormatan seorang ustadz atau guru adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan kita. Mereka adalah arsitek yang membangun pondasi terbaik untuk generasi mendatang, membimbing, mendidik dan mengajarkan ilmu, juga membuka pengetahuan dalam rangka menunjukkan kebenaran kepada masyarakat umum. Namun, sering kali “kehormatan” yang mereka terima -meski tidak mengharapkannya- tidak sebanding dengan peran penting yang mereka mainkan dalam kehidupan kita.

Saya cukup risau terkait hal itu. Dalam suatu kasus yang ada di masyarakat, misalnya adalah ketika kita akan mengadakan suatu acara, entah itu Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Isra’ Mi’raj, atau peringatan Islam lainnya. Sering kali masyarakat kita secara tidak sadar melakukan “kesalahan” yang menurut saya cukup fatal. Dalam sejumlah kasus, tidak sedikit panitia membuat acara peringatan besar Islam itu dengan susah payah mengumpulkan uang, bahkan dengan membuat proposal yang seakan “mengatasnamakan” Nabi Muhammad SAW. Dan hal ini menurutku secara tidak langsung adalah “menjual” nama Nabi Muhammad SAW.

Lalu dengan uang itu, panitia acara mengundang tokoh, habaib atau kyai dari tempat yang jauh, dijamu dengan sangat spesial. Diberikan amplop yang berisi uang sebesar cukup besar, tapi di sisi lain, justru guru ngaji di lingkungan kampung yang secara istiqomah membersamai masyarakat dan mendidiknya terkadang hanya mendapatkan bisyarah 300 ribu, itu pun selama sebulan. Parahnya lagi, terkadang kita membuat suatu peringatan besar Islam hanya untuk ajang pamer pada lingkungan lain.

Ada gengsi yang muncul, “Masjid di kampung gue ngundang kyai viral loh.” Begitu kira-kira, yang pada akhirnya peringatan tersebut hanya untuk menghabiskan dana saja, atau sekedar mengadakan rutinan peringatan tahunan, sementara justru kesakralan dalam acara tersebut sering kali dianggap biasa saja.

Dari sini muncullah satu pertanyaan; Apakah layak hal tersebut menjadi kebiasaan di kehidupan bermasyarakat? Menurut saya, sebaiknya jangan begitu. Guru yang ada di kampung harus kita hormati sebaik-baiknya. Walaupun bukan kyai terkenal, walaupun banyak orang bilang kalau dia itu ustadz kecil, atau hal-hal lain yang terkesan memandang dengan sebelah mata. Justru kita harus sangat menghomati beliau-beliau itu yang dengan ikhlas telah mendidik dan membimbing kita. Tidak perlu silau dengan popularitas orang lain, sementara orang yang justru sangat pantas mendapatkan penghormatan yang sebaik-baiknya itu tidak dianggap. Penghormatan tulus kepada beliau-beliau itulah yang akan menjadikan ilmu kita semakin berkah dan manfaat di dunia dan akhirat.

Sebab kalau ada seorang guru yang sudah tidak ridho dengan kita, maka sebanyak apapun ilmu yang kita dapat, dikhawatirkan bahkan dapat dipastikan tidak akan ada manfaatnya sama sekali, apalagi berkah.

Kembali kepada keresahan saya dalam cerita di atas. Coba kita merenung sejenak. Kyai yang tadi sudah dikasih uang bisyaroh cukup besar, setelah acara peringatan hari-hari besar Islam kemudian pulang begitu saja. Ceramah selesai, ya sudah semuanya selesai, kembali seperti kehidupan biasa kembali. Sementara itu, kita akan mendapati banyak fenomena, apabila ada orang yang meninggal di lingkungan kampung, yang mengurusi mayit tersebut tidak lain adalah ustadz kampung, dan berbagai masalah lain seputar kehidupan, banyak orang yang mendapatkan solusi hidup yang dihadapinya dengan petuah-petuah ustadz atau guru kampung itu.

Ketika ada pelaksanaan shalat Jenazah, ustadz kampung itu juga yang menjadi imamnya, lalu menuntut talqin mayit di kuburan. Masih belum selesai, ustadz-ustadz kampung itu juga yang akan memimpin tahlilan di malam harinya. Bayangkan, mereka tekadang tetap menyempatkan diri ke rumah mayit selama 7 hari 7 malam, meski ada kepentingan keluarganya. Bukankah ini justru yang perlu dan sangat patut mendapatkan penghormatan yang setinggi-tingginya dari kita?

Masyarakat terkadang selalu memuliakan kyai yang mereka undang dari jauh, mengawal, menyuguhi berbagai hidangan spesial, tapi lupa siapa yang mengajarkan ajaran agama yang ada di lingkungan kampungnya. Mereka terkadang lupa siapa yang menyambungkan ilmu selama ini dengan ilmu Nabi Muhammad SAW. Mereka lupa dengan orang yang selalu menyambungkan doa-doa mereka selama ini kepada doa Nabi Muhammad SAW.

Karena itu, bolehlah kita memuliakan tokoh dari luar kampung, tapi jangan pernah melupakan jasa ustadz-ustadz di lingkungan kampung kita. Diakui atau tidak, secara tidak langsung mereka itu adalah pilar-pilar Islam yang ada di dalam lingkungan. Bahkan, bisa saja ustadz-ustadz di kampung kita itu justru yang kelak membuat kita mendapatkan husnul khotimah di akhir hayat. Maka, dengan segala kerendahan hati saya, mari kita muliakan beliau-beliau setulusnya sebagaimana beliau juga dengan ikhlas mendidik dan mengajarkan banyak hal tentang Islam kepada kita. []


Penulis: Iqbal Rabbani

Editor: Hakim