Makna Tersirat Tanggal Lahir Sejumlah Ulama NU yang Tampak sebagai “Penanda” Hari-Hari Penting Nasional

 
Makna Tersirat Tanggal Lahir Sejumlah Ulama NU yang Tampak sebagai “Penanda” Hari-Hari Penting Nasional
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sejarah Bangsa Indonesia tidak lahir dari ruang hampa. Banyak peristiwa yang mewarnai kelahirannya. Perjuangan demi perjuangan telah dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, yang kelak berkomitmen menjadi satu bangsa, yakni Bangsa Indonesia.

Terdapat perbedaan pandangan tentang lahirnya Bangsa Indonesia. Dalam sebuah Lagu Nasional yang sering dinyanyikan bersama setiap kali peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Bangsa Indonesia dinyatakan lahir pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal tersebut, selain merupakan Hari Kemerdekaan Indonesia, juga dianggap sebagai hari lahirnya Bangsa Indonesia. Dalam satu sisi memang tidak salah. Tetapi jika direnungkan lebih kritis lagi, Bangsa Indonesia telah lahir jauh sebelum hari itu.

Kita tahu tentang peristiwa Sumpah Pemuda yang diprakarsai oleh para pemuda waktu itu. Peristiwa itu tidak bisa dipandang sepele, sebab peristiwa Sumpah Pemuda, justru merupakan hari di mana para pemuda dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda, suku, ras, daerah, agama, dll, telah bersepakat untuk bersumpah, bahwa kita adalah bangsa yang bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia; menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Hari Sumpah Pemuda ini dipandang lebih tepat oleh sejumlah pengamat sebagai hari lahirnya Bangsa Indonesia, meskipun saat itu masih belum merdeka.

Terlepas dari itu semua, Bangsa Indonesia telah ada dan kini bertumbuh kembang dan maju dengan seiring perkembangan zaman. Sejarah bukanlah sesuatu yang perlu untuk dijadikan batu sandungan, atau menjadi alasan untuk menerima bagaimanapun keadaan yang dihadapi. Tetapi sejarah justru menjadi satu inspirasi, bahwa perjuangan yang dilalui dengan banyak pengorbanan itu tidaklah gratis, tetapi dibayar dengan mahal oleh para generasi pendahulu kita.

Karenanya, untuk generasi penerus, sebagaimana kita yang hidup di zaman ini, tidak boleh memupuskan harapan para generasi pendahulu dalam memperjuangkan bangsa dan negara. Sebab kita lahir, hidup dan mati kelak juga tidak bisa terlepas dari kecintaan kita pada tanah air ini, Tanah Air Indonesia.

Untuk mengenang perjuangan dan perjalanan bangsa dan negara ini dalam meraih kemerdekaan dan menjaganya sampai saat ini, telah ditetapkanlah suatu kebijakan peringatan-peringatan hari-hari besar nasional setiap tahun. Hal ini dilakukan dengan semangat untuk kembali menyalakan asa dalam mewujudkan mimpi Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, sejahtera dan berdaulat dengan tanpa melupakan jasa para pendahulu.

Hal ini bukanlah hanya soal kehidupan di dunia saja, melainkan juga menyangkut kebaikan-kebaikan kelak di kehidupan selanjutnya. Dengan adanya keamanan dan kebijakan negara yang menjamin hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia dalam melaksanakan praktik keyakinannya, tentu ini sangat berdampak pada kehidupan kelak di Akhirat.

Karenanya, para ulama juga sangat mendukung bahkan ikut serta dalam berperan aktif urusan bangsa dan negara. Tidak sedikit ulama yang terjun dalam dunia politik untuk mewujudkan kemaslahatan yang lebih luas menyangkut hajat hidup bangsa dan juga marwah negara.

Khususnya para tokoh Nahdlatul Ulama, yang telah mempersiapkan diri sejak sebelum diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Komitmen dan konsisten untuk bangsa dan negara Indonesia tidak bisa diragukan dan dipungkiri oleh sejarah.

Peristiswa demi peristiwa penting telah dilalui dengan penuh perjuangan. Bahkan ada yang mengatakan, bahwa pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sebagai sebuah organisasi, tidak lain adalah sebagai wadah mempersiapkan diri untuk mencapai kemerdekaan. Bukankah NU telah lebih dulu berdiri dibanding dengan Hari Sumpah Pemuda, yang terjadi pada 28 Oktober 1928 di Batavia. Dari sinilah semakin kentara peran para tokoh NU, khususnya para ulama dan santri.

Bukan bermaksud untuk menegasikan peran yang lainnya dalam mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang merdeka, bedaulat dan sejahtera, tetapi fakta sejarah di atas adalah sebagai pengingat bahwa peran para ulama NU tidak bisa dinafikan dari sejarah Indonesia!

Belum lagi tentang peristiwa Resolusi Jihad yang dinyatakan secara resmi oleh NU pada tanggal 22 Oktober 1945. Pernyataan inilah yang kelak juga menginspirasi suatu gerakan massif dari segenap rakyat Surabaya yang menolak kependudukan kaum kolonial kembali di Indonesia.

Dengan semangat yang membara dan senjata seadanya, mereka semua melakukan perlawanan tanpa gentar sedikitpun meski harus mempertaruhkan nyawanya. Bagaimanapun keadaanya saat itu, banyak rakyat yang terbunuh, bahkan puluhan ribu nyawa melayang, tetapi komitmen untuk terus melawan demi menjaga kemerdekaan yang diinisiasi oleh para ulama sebagai sebuah gerakan jihad di jalan Allah itu adalah wujud nyata dari kesetiaan dalam menjaga Indonesia. Sekali lagi, NU berperan besar dalam hal ini.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Resolusi Jihad yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 1945 itu menjadi sumber energi dan legitamasi melakukan perlawanan dahsyat di Surabaya pada tanggal 10 November 1945, yang kelak akhirnya diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

Lalu terkait dengan Pancasila yang semula merupakan gagasan dari Bung Karno dengan sejumlah rumusan yang masih diperdebatkan. Ketika semua telah sepakat dengan konsep Pancasila sebagaimana sekarang, saat itu dalam sila pertama masih ada kata-kata tambahan yang membuat keberatan sejumlah tokoh nonmuslim.

Dengan kebesaran hati para tokoh Islam, seperti KH. Abdul Wahid, akhirnya dihapuskanlah 7 kata yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Akhirnya sila pertama berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Konsep ini secara tegas juga diamini oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya telah melakukan tirakat untuk mendapatkan jawaban yang terbaik terkait konsep tersebut. Belakangan, setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, sebab pada tanggal tersebut 1 Juni 1945 konsep awal Pancasila yang disampaikan oleh Bung Karno telah disepakati sebagai dasar negara Indonesia yang menyiapkan diri untuk merdeka.

Pada dekade 60-an, muncullah sebuah gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok komunis yang bernaung di bawah Partai Komunis Indonesia, untuk menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pada tanggal 30 September 1965, terjadilah huru hara pemberontakan itu. Sebanyak 6 Jenderal dibunuh dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur lubang buaya. Peristiwa ini tentu membuat shock bangsa Indonesia, dan membuat negara dalam keadaan genting dan berstatus bahaya. Tapi peristiwa ini tidak bisa membuat lemah negara. Meski pemberontakan demi pemberontakan terjadi tetapi pemerintah bersama rakyat yang telah berkomitmen dalam menjaga Indonesia, akhirnya berhasil dalam menanganinya dengan waktu yang tidak lama.

Pada 1 Oktober 1965, negara kembali pulih dan berhasil menangkap para pemberontak dan dalang di balik semua itu. Terlepas dari pro dan kontra tentang skenario pemberontakan itu, tetapi sejarah mencatat bahwa peristiwa itu memang terjadi dan Indonesia berhasil pulih kembali. Dan akhirnya, demi mengingat peristiwa yang bersejarah itu ditetapkanlah tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Ketika peristiwa pemberontakan itu terjadi, sebelumnya telah ada pemberontakan demi pemberontakan, bahkan ancaman yang secara khusus ditujukan kepada para ulama, yang saat itu dianggap oleh sebagian kelompok PKI sebagai kalangan yang borjuis dan memanfaatkan rakyat kecil sebagai sekadar seorang buruh. Pandangan ini sejatinya tidak dibenarkan sama sekali, sebab tuduhan tersebut dengan kenyataan yang ada tidak tepat. Justru para ulama itulah yang mendidik dan mengkader para santri agar kelak menjadi para generasi unggul, yang bermanfaat bagi agama, bangsa dan negara.

Tuduhan tersebut terus digencarkan dan menjadi teror di berbagai pesantren. Tapi meski dalam situasi yang penuh fitnah itu, akhirnya para tokoh muda NU menjadi garda terdepan menjaga stabilitas negara dengan membantu pemerintah dalam menumpas pemberontakan PKI.

Entah apa motifnya, ketika belakangan Gus Dur meminta maaf kepada para keturunan eks-PKI, justru Gus Dur dimusuhi dan dituduh dengan segala bentuk kebencian. Padahal, justru langkah yang diambil Gus Dur tersebut adalah sebuah sikap berjiwa besar dalam rangka rekonsiliasi bangsa yang tempo hari pernah mengalami masa yang penuh fitnah yang menimbulkan dendam tak berkesudahan. Sekali lagi, komitmen dan Konsistensi NU dalam berperan aktif untuk Indonesia tidak bisa dinafikan sejarah.

Negara telah menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional, yang mana tanggal tersebut merupakan hari kelahiran Ki Hajar Dewantoro, 2 Mei 1889. Lalu siapakah beliau hingga kelahirannya ditetapkan sebagai penanda salah satu hari penting nasional?

Ki Hajar Dewantoro merupakan salah satu tokoh nasional yang dengan tegas dan berani menentang kebijakan Pemerintahan Kolonial Belanda dalam bidang pendidikan, yang saat itu hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya saja yang bisa mengenyam pendidikan. Kritikan tersebut membuatnya diasingkan oleh Belanda, dan tidak bisa secara langsung berinteraksi dengan masyarakat umum. Tetapi setelah ia dibebaskan, ia berhasil mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Pendidikan yang dibuka untuk umum.

Salah satu pelajaran dan semboyan yang terus digaungkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah prinsip, “Tut wuri handayani, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso”. Ing Ngarso Sung Tulodo, artinya adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan. Ing Madyo Mbangun Karso, artinya adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat. Dan Tut Wuri Handayani, berarti seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.

Ajaran yang sangat terkenal itu adalah bentuk tindak laku yang tidak jauh dari ajaran pesantren. Bahkan bisa dibilang demikianlah sejatinya yang juga diajarkan di pesantren. Jika diusut lebih jauh, ternyata kita akan menemukan fakta sejarah bahwa Ki Hajar Dewantoro adalah seorang santri tulen.

Nama kecilnya adalah Suwardi Suryaningrat. Ia merupakan salah satu santri dari Kyai Sulaiman Zainuddin Abdurrahman, pengasuh pesantren di Kalasan Prambanan. Bahkan ada yang menyebut bahwa Ki Hajar Dewantoro telah belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an sampai khatam. Beliaupun memahami isi kandungannya. Dari sini, meski pendidikan nasional yang menjadi fokus utamanya, tetapi inspirasi-inspirasi dari “guru ngaji” itu tetap melekat dalam jiwanya, sehingga semboyan yang terkenal tersebut menjadi prinsip utama dalam pendidikan.

Kelahiran Ulama “Penanda” Hari-Hari Penting Nasional

Masih banyak peristiwa lain yang tidak sempat tercatat di sini. Ini hanyalah refleksi dari seorang santri yang selalu mengagumi jiwa besar para kyai dalam berperan aktif untuk Indonesia. Ternyata, jika dicermati ada sejumlah kyai NU atau ulama Nusantara yang entah secara kebetulan atau memang itu adalah ketetepan Allah SWT yang menyiratkan sebuat isyarat tertentu, menjadi penanda hari besar nasional yang bertepatan dengan kelahiran sejumlah tokoh NU.

Saya mencatat sejumlah nama besar tokoh NU yang kelahirnya berkenaan dengan hari besar nasional. Tapi hal ini saya lakukan dengan tanpa menafikan tokoh-tokoh besar lainnya. Ini hanyalah sekedar perenungan untuk mendapatkan energi positif dan inspirasi di tengah-tengah kegersangan keteladanan.

Jika pemerintah menetapkan Hari Sumpah Pemuda sebagai salah satu hari penting nasional, maka entah isyarat apa, ternyata KH. Maimoen Zubair juga lahir bertepatan dengan terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda, yakni pada 28 Oktober 1928.

Sepertinya ini adalah isyarat Tuhan, yang menunjukkan bahwa jiwa nasionalis Mbah Moen tak bisa diragukan oleh siapapun. Beliau merekatkan berbagai kalangan agar tidak saling bermusuhan, tetapi tetap saling bersama meski dalam perbedaan.

Jika tanggal 17 Agustus ditetapkan sebagai Hari Kemerdekaan Nasional, maka tercatat dalam sejarah, ternyata KH. Hamim Tohari Djzuli, yang akrab dengan panggilan Gus Miek juga lahir pada tanggal 17 Agustus. Tetapi 17 Agustus yang kemudian diperingatai sebagai Hari Kemerdekaan Nasional itu terjadi pada tahun 1945. Sedangkan, Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940.

Jadi Gus Miek lahir lima tahun sebelum Indonesia Merdeka. Tapi, bagaimanapun itu, tanggal lahir yang sama dengan Hari Kemerdekaan Nasional merupakan sesuatu yang unik yang secara tidak langsung mungkin juga menyiratkan sebuah makna.

Jika pemerintah menetapkan setiap tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional, maka hal itu adalah penanda adanya peristiwa dahsyat yang terjadi pada 10 November 1945 di Surabaya.

Peristiwa tersebut adalah penegasan komitmen seluruh rakyat Indonesia, khususnya para ulama yang sebelumnya juga telah menyatakan Fatwa Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945, dalam menjaga kemerdekaan Indonesia.

Siapa sangka, ternyata Habib Luthfi yang sangat masyhur sebagai tokoh sufi, seorang yang religius dan nasionalis itu dilahirkan pada tanggal 10 November 1947. Jadi setiap peringatan Hari Pahlawan Nasional, tepat di hari itu pula beliau merayakan kelahirannya yang penuh makna.

Setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai salah satu hari penting nasional karena untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantoro yang lahir pada tanggal 2 Mei 1889.

Penetapan itu tidak bisa terlepas dari peran besar Ki Hajar Dewantoro dalam pendidikan nasional sebagaimana disebut di atas. Karena itu, sebagai wujud penghargaan yang tinggi, pemerintah Indonesia menetapkan hari kelahirannya, juga sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Memang Ki Hajar Dewantoro adalah seorang santri, tapi perannya dalam bidang pendidikan umum lebih kentara dan lebih dominan, pun demikian nilai-nilai yang dipelajarinya dari guru ngajinya tetap menginspirasi.

Terkait tanggal 2 Mei, jika kita membaca sejumlah tokoh NU yang lahir pada tanggal tersebut, maka kita akan menemukan bahwa KH. Abdullah Faqih, Langitan terlahir pada 2 Mei 1932. Entah apa hubungan hari lahir beliau dengan adanya peringatan Hari Pendidikan Nasional yang juga dilatarbelakangi oleh kelahiran Ki Hajar Dewantoro, tetapi jika kita mengingat kembali zaman Gus Dur akan maju menjadi presiden, ternyata salah satu sepuh yang menjadi rujukannya adalah KH. Abdullah Faqih, Langitan. Dan memang beliau terkenal dengan jiwa pendidik yang sangat telaten. Banyak sekali kader-kader santri yang telah berperan aktif menjadi tokoh di tengah-tengah masyarakat berkat sentuhan dingin didikan KH. Abdullah Faqih.

Hari Lahir Pancasila diperingati setiap tahun oleh bangsa Indonesia pada tanggal 1 Juni. Sebelum merdeka, sejumlah pendiri bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menyetujui konsep dasar negara yang disampaikan oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945. Dasar negara itu dikenal dengan sebutan Pancasila, yakni dasar-dasar negera yang terdiri dari 5 butir penting hasil kesepakatan bersama. Salah satu tokoh yang turut hadir dan menyetujui konsep tersebut adalah KH. Abdul Wahid Hasyim, putra Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan ayahanda dari Gus Dur.

Saat itu, meski konsep tersebut sudah disepakati, tetapi masih menyisakan perdebatan mengenai sila pertama. Tapi akhirnya bisa diselesaikan dengan adanya kesepakatan yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta, yang konon saat itu Kyai Wahid juga telah mendapatkan restu dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengenai konsep Pancasila dengan adanya kesepekatan Piagam Jakarta tersebut.

Tentu peran besar KH. Wahid Hasyim itu tidak bisa dinafikan. Beliau adalah salah satu wakil terbaik ulama NU yang integritas keilmuannya tak diragukan sama sekali, baik tentang keislaman maupun tentang kebangsaan dan kenegaraan. Ternyata, Kyai Wahid juga dilahirkan pada tanggal 1 Juni yang belakangan tepat pada tanggal yang sama pada tahun 1945 terjadilah kesepakatan para pendiri bangsa, termasuk dirinya sendiri, tentang dasar negara yang berupa Pancasila itu. Sejarah mencatat KH. Abdul Wahid Hasyim lahir pada tanggal 1 Juni 1914.

Setelah Hari Lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, kemudian pemerintah juga menetapkan belakangan, setiap tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ketetapan ini untuk memperingati peristiwa bersejarah tentang keberhasilan pemerintah dalam menumpas pemberontakan PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, dan kemudian pemerintahan kembali pulih pada tanggal 1 Oktober 1965.

Karena itu, ditetapkanlah tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Terlepas dari kontroversi perdebatan penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Kesaktian Nasional, tetapi ada yang unik, bahwa salah satu tokoh Nasional yang merupakan kader ulama terbaik, KH. Saifuddin Zuhri juga terlahir pada tanggal yang sama, yakni tanggal 1 Oktober. Tetapi beliau terlahir 46 tahun sebelum terjadinya peristiwa yang dianggap sebagai Hari Kesaktian Pancasila tersebut, yakni pada tahun 1919.

Catatan ini merupakan sebuah refleksi seorang santri yang sangat mencintai para ulama dan sekaligus mencintai bangsa dan negara Indonesia. Setiap yang lahir dan hidup di Tanah Air Indonesia tidak alasan yang tepat sama sekali, untuk mengkhianati tanah kelahirannya sendiri. Karena itu, entah apapun dan bagaimanapun itu, segala hal yang menjadi faktor penunjang untuk tetap mencintai Indonesia harus terus digaungkan. Termasuk refleksi sederhana seperti tulisan ini. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Kholaf Al-Muntadar