Ketika Poligami Menjadi "Bencana" di Era Modern

 
Ketika Poligami Menjadi
Sumber Gambar: gettyimages.co.uk, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam buku Nida’ li Al-Jins Al-Lathif, M. Rasyid Ridha menjelaskan, saat Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul dan penutup para nabi, salah satu misi dalam syariatnya adalah untuk mengharamkan zina dan segala bentuk hubungan seksual dan semacamnya tanpa ada ikatan pernikahan, juga termasuk menghilangkan anggapan yang menyatakan bahwa kaum perempuan itu tak ada bedanya dengan benda atau binatang peliharaan. 

Di sisi lain, dalam syariat Islam, nabi tidak secara mutlak mengharamkan poligami dan tidak pula membiarkan kaum laki-laki melakukannya tanpa batas, juga melarangnya bertindak zalim kepada kaum wanita. Islam membatasinya dalam jumlah yang dapat tetap menjaga kemaslahatan keturunan dan stabilitas sosial.

Islam tetap membenarkan praktik poligami sepanjang tidak lebih dari empat orang istri, ditambah dengan beberapa syarat lain berupa memberikan nafkah dan bersikap adil di antara istri-istrinya itu. Hal itu bertujuan untuk mencegah adanya sikap zalim terhadap kaum wanita, yang mana hal demikian dilakukan sebatas kemampuan. 

Pada akhirnya, poligami tetap dipraktikkan oleh para pemeluk Islam yang tidak membatasinya hanya pada beristri satu orang. Praktik tersebut berlandaskan keterangan yang tercatat dalam ayat berikut ini:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ 

"jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim." (QS. An-Nisa': 3)

Tapi perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh bahwa firman di atas juga memaparkan keterangan kalau dikhawatirkan tidak mampu berbuat adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim dengan mengawini satu, dua, tiga, atau empat orang misalnya, maka hendaknya mengawini seorang saja, agar terhindar dari perbuatan yang condong terhadap aniaya.

Menurut Rasyid Ridha di sini maksud dari aniaya adalah berbuat tidak jujur. Jadi memiliki istri satu atau memiliki budak perempuan seorang saja, dikhususkan kepada mereka yang potensi tidak melakukan aniaya sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut. 

Adapun bagi mereka yang khawatir berpotensi melakukan tindakan aniaya, maka poligami sangat dilarang dan diharamkan.  Hal ini disebabkan lantaran tidak objektif terhadap salah satunya, dan lebih parahnya jika yang dilakukannya itu bertujuan untuk menyakiti hati seseorang. Dalam surah yang sama Allah berfirman: 

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا 

“Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(-mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Jika kamu mengadakan islah (perbaikan) dan memelihara diri (dari kecurangan), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa': 129)

Sekalipun demikian, jika ayat ini dilanjutkan dengan ayat lain seperti: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu saja.” Maka dapat ditarik kesimpulan membatasi dengan hanya saja memiliki istri satu. Meskipun seperti itu, ini berlanjut pada ayat, “… karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada salah seorang di antara istri-istrimu), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Kemudian lewat inilah Allah memberitahukan bahwa yang tidak mungkin itu adalah berbuat adil dalam membagi perasaan cinta dan pengaruhnya yang berbentuk kecenderungan jiwa. Maka berangkat dari hal tersebut, kaum laki-laki wajib memiliki keteguhan jiwa yang bisa menahan pengaruh rasa cinta dan dampaknya dalam pergaulan suami-istri yang melibatkan persoalan pemberian nafkah, waktu tidur bersama, dan beberapa persoalan lain yang merupakan faktor-faktor utama di mana suami harus berlaku adil.

Dalam hal ini, Rasyid Ridha membagi pada tiga pokok hal yang sangat urgen: 

Pertama, Islam tidak mewajibkan atau menganjurkan poligami, akan tetapi lebih menunjukkan bahwa sedikit sekali para pelaku poligami yang dapat membebaskan diri dari kezaliman yang diharamkan. 

Adapun hikmah yang terkandung dalam persoalan ini, bahwa kaum laki-laki yang hendak melakukan praktik ini harus berpikir dengan matang dan sungguh-sungguh, kemudian mempertimbangkan tujuan dan kemauannya, serta melihat ke masa depan yang berhubungan dengan keadilan yang wajib ia laksanakan.

Kedua, secara mutlak tidak mengharamkan poligami, namun tidak terlalu longgar, melihat watak dan kebiasaan kaum pria yang lazimnya terkadang tidak puas dengan satu istri atau membutuhkan keturunan di kala istrinya telah berusia lanjut dan juga menjadi sebab istrinya tidak bisa hamil. Juga penyebab lain yaitu dikarenakan besarnya populasi kamu wanita di sementara bagian dunia, terutama setelah usainya peperangan yang menyebabkan ribuan wanita menjadi janda dan tidak memiliki suami yang dapat melindungi dan memberi nafkah, sedangkan di suatu sisi ada sejumlah pria yang kaya dan mampu menghidupi dua istri atau lebih.

Ketiga, persoalan ini didudukkan oleh Islam dengan hukum mubah (boleh) dengan beberapa syarat dan sebab yang telah dikemukakan di muka yang harus dipertimbangkan betul konsekuensinya, dan akan membawa manfaat bagi mereka yang mempraktikkannya ketika semua hukum Islam yang berkaitan dengan hal tersebut dapat dipenuhi. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri, kadangkala terdapat beberapa penganut Islam yang sholeh tidak dikarunia keturunan, kemudian istrinya menganjurkan agar ia dapat beristri lagi, bahkan kadang istrinya yang dengan sendiri memilihkan istri yang kedua, dan kedua istri tersebut ternyata dapat hidup berdampingan sebagai dua orang saudara dalam satu rumah.

Menurut Rasyid Ridha, kondisi seperti inilah yang dialami oleh umat Islam pada masa-masa awal Islam. Namun sangat disayangkan sekali hal yang seperti ini nyaris tidak ditemukan pada masa sekarang ini, disebabkan banyaknya umat Islam yang kurang memahami ajaran-ajaran Islam yang berhubungan dengan hukum dan tata-kesopanan dalam pernikahan. Sehingga poligami di seluruh penjuru dunia berubah menjadi sebuah bencana kehidupan rumah-tangga dan keterlantaran anak-anak.

Dengan demikian, berubahlah fungsi pilar-pilar perkawinan yang seharusnya menciptakan kasih dan sayang serta rahmat seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, kini malah sebaliknya. 

Sejalan dengan penafsiran terhadap ayat di atas, Muhammad Abduh dengan lantang menyerang dan menolak poligami yang dituduh sebagai sumber kerusakan di Mesir, dan dengan tegas menyatakan, bahwa tidak mungkin mendidik bangsa Mesir dengan pendidikan yang baik selama poligami yang bobrok ini mesih dilestarikan secara luas, yang berpegang pada kaidah “jangan mempersulit dan dipersulit” seperti yang dinyatakan oleh Hadis nabi, praktik ini harus dicegah.

Tidak hanya sampai di situ, larangan tersebut didasarkan pula terhadap kaidah ushul yang berbunyi “mencegah mudharat harus didahulukan ketimbang mengambil manfaat”. 

Pandangan Muhammad Abduh ini dinilai cuku dipertimbangkan dan berhasil, hingga akhirnya dapat mengeluarkan fatwa tidak resmi yang menyarankan agar pemerintah melarang poligami di luar kondisi darurat yang membenarkannya dan tidak membuat kerusakan. 

Oleh sebab itu, sekalipun Al-Quran tidak menghapus hukum ini, namun seakan-akan hal ini telah menjadi bencana jika dipraktikkan di zaman sekarang yang mayoritas tidak memahami secara benar konsep dalam pernikahan. Allahu A'lam. []


Penulis: Kholaf Al-Muntadar

Editor: Hakim