Nabi Tidak Pernah Mewariskan Poligami

 
Nabi Tidak Pernah Mewariskan Poligami
Sumber Gambar: photophoto.cn, Ilustrasi: ladun.ID

Laduni.ID, Jakarta - Jika kita meneropong lebih jauh perihal poligami, maka kita dapati bahwa praktik ini telah lahir sebelum agama Islam dilahirkan. Sebelum Nabi Muhammad, nabi-nabi terdahulu telah mempraktikkan hal ini (poligami), misal nabi Daud AS yang memiliki puluhan istri, dan tidak berhenti di situ, hal ini banyak dilakukan oleh generasi setelahnya sampai era nabi Muhammad.

Era sebelum datang Islam, perempuan hanyalah makhluk yang dijadikan pemuas dan pelengkap kebutuhan laki-laki. Hal ini pernah disampaikan oleh Umar bin Khattab ra yang terdapat dalam buku Poligami karya KH. Husein Muhammad:

“Dalam dunia kelam (jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang perlu diperhitungkan. Tetapi, begitu perempuan disebutkan oleh Tuhan, kami baru mengetahui bahwa mereka mempunyai hak-haknya secara otonom.”

Asumsi di atas cukup jelas menggambarkan betapa wanita waktu itu tidaklah diperhitungkan. Budaya partriakhi dan otoriter dalam masyarakat Arab menilai perempuan tidak ada bedanya dengan benda. Mereka (perempuan) dapat diperlakukan bagaimana saja, bahkan tidak luput dari benda yang juga diperjual-belikan. Gambaran-gambaran sensitif zaman itu juga diperlihatkan oleh Al-Qur’an, seperti yang terdapat dalam Surat An-Nahl ayat 58-59:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

“(Padahal) apabila salah seorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam) dan dia sangat marah (sedih dan malu). Dia bersembunyi dari orang banyak karena kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruk (putusan) yang mereka tetapkan itu!”

Tidak hanya dalam ayat di atas, namun juga terdapat dalam ayat-ayat lain yang terkadang disinggung dengan gamblang dan terkadang samar. Jadi, kejahatan terhadap perempuan telah mengakar dalam masyarakat Arab, termasuk juga kejahatan yang diselundupkan lewat praktik poligami. Kebiasaan masyarakat Arab, mereka dapat menikahi wanita manapun yang mereka suka dan dengan jumlah tanpa batasan. Tidak terbatas pada empat, seperti yang tertera dalam Al-Qur’an, namun lebih dari itu. Praktik ini didasarkan pada hawa nafsu dan tanpa syarat, sesuai ekspektasi laki-laki waktu itu.

Jadi, dari diskusi di atas poligami sudah ada sebelum Nabi Muhammad diutus atau sebelum Islam datang. Setelah datangnya Islam, sekalipun masih “terkesan” melegalkan namun secara gradual hendak meminimalisir dan memberikan batasan-batasan. Seperti membatasi dengan kriteria dan ketentuan yang harus dipenuhi yang hal ini ditegaskan langsung oleh Surat An-Nisa’ ayat 3:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”

Lewat ayat di atas kemudian Islam hendak “menghukum” pelaku poligami yang mulanya dilakukan sekehandak nafsunya menjadi terbatas. Sekalipun sebenarnya ayat di atas bermaksud hendak menyikapi anak-anak yatim agar mendapat perlindungan dan keadilan, yang oleh orang jahiliyah dijadikan kesempatan untuk dinikahi dan diambil hartanya. Di luar itu, ayat di atas juga hendak memprotes ketidakadilan dan partriarkhi yang melanda masyarakat Arab waktu itu.

Nabi Muhammad yang diutus dengan mengusung slogan “tranformsi moral” melihat praktik tersebut sebagai suatu bagian penting dalam misinya. Metode “gradualisasi” yang diterapkan Nabi Muhammad dengan ditopang ayat-ayat Al-Qur’an yang penuh mukjizat menjadi semakin kuat. Menolak poligami adalah hal aneh yang tidak mungkin dilakukan secara langsung ketika itu. Apalagi Islam masih belum kuat dan tentu melalui pendekatan yang tidak langsung menolak praktik tersebut.

Hal ini berbeda ketika Islam sudah kuat dan diterima oleh masyarakat Arab. Secara samar juga terkadang gamblang Nabi mulai memperlihatkan penolakannya terhadap poligami. Bukti konkret ini, seperti yang diungkap oleh KH. Husein Muhammad terdapat pada kisah Ali bin Abi Thalib yang akan memadu putrinya, Fatimah. Mendengar hal tersebut nabi kemudian menaiki mimbar dan berpidato di hadapan para sahabat:

إنَّ بني هِشامِ بنِ المُغيرةِ استأذَنوني أنْ يُنكِحوا ابنتَهم عليًّا على ابنتي فلا آذَنُ ثمَّ لا آذَنُ إلَّا أنْ يُحِبَّ عليٌّ أنْ يُطلِّقَ ابنتي وينكِحَ ابنتَهم فإنَّما ابنتي بَضْعةٌ منِّي يَريبُني ما رابها ويُؤذيني ما آذاها

 “Bahwa Bani Hisyam telah meminta izin kepadaku untuk berkenan mengabulkan keinginan mereka untuk mengawinkan anak perempuan mereka dengan Ali bin Abi Thalib, dan aku tidak mengizinkannya, kecuali Ali terlebih dahulu menceraikan Fatimah. Kalian pasti tahu, bahwa anakku adalah bagian dariku. Sebab itu perasaan sedihnya juga perasaan sedihku.” (HR. Bukhari)

Jika melihat hadis di atas, maka sangat terlihat nabi begitu tegas menolak poligami. Sebab nabi tahu betul apa yang dirasakan anaknya. KH. Husein Muhammad kemudian menegaskan jika tindakan nabi adalah pertanda sunah, maka tentu saja dengan mengikuti nabi adalah sebuah legitimasi dan termasuk kategori tindakan yang baik. Lebih jauh, jika dua hal ini dibedah dengan kaidah ushul fiqih milik Fakhruddin Razi (Al-Mahshul fi Ilmi Ushulil Fiqh) maka akan sangat menarik. Kitab tersebut menyatakan:

“Bahwa ucapan (pernyataan) lebih kuat daripada tindakan. Pertama, karena ucapan dapat dipahami tanpa melalui tindakan, sementara tindakan tidaklah cukup, kecuali diperjelas dengan kata-kata. Adapun hal yang tidak perlu dijelaskan, maka akan lebih unggul daripada yang perlu penjelasan. Kedua, pernyataan hukum dapat banyak melibatkan banyak orang, sedangkan tindakan belum tentu.”

Oleh demikian, jika kemudian lahir pertanyaan perihal mana yang mesti didahulukan antara tindakan dan ucapan Nabi Muhammad, maka sudah kita ketahui klaim penolakan poligami dilakukan sesudah Nabi Muhammad melakukan poligami. Lebih dari itu, sudah jelas bahwa pernyataan Nabi harus lebih dipertimbangkan daripada tindakannya. Allahu A’lam. []


Penulis: Kholaf Al Muntadar

Editor: Hakim