Jejak Agama Hanif di Tengah Masyarakat Jahiliyah

 
Jejak Agama Hanif di Tengah Masyarakat Jahiliyah
Sumber Gambar: thehumblei.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tema dalam bagian ini termasuk pendahuluan penting yang harus dikaji sebelum membahas lebih jauh Sirah Nabi SAW, beserta segala ketetapan, fenomena, dan hikmah yang dikandungnya. Sebab, bagian ini memuat fakta yang kerap dipalsukan oleh “musuh-musuh” Islam yang sering kali membiaskan faktanya.

Mereka mengatakan bahwa Islam bukanlah bagian dan bukan pula kelanjutan dari ajaran Al-Hanifiyah As-Samhah yang diwahyukan Allah SWT kepada Bapak Para Nabi, Ibrahim AS.

Jika kita kaji lebih jauh, maka kita akan menemukan di dalam banyak ayat Al-Qur’an tentang keterangan yang telah menegaskan hal ini, di antaranya adalah ayat berikut:

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ࣖ ۔

“Berjuanglah kamu pada (jalan) Allah dengan sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu, yaitu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu dan (begitu pula) dalam (kitab) ini (Al-Qur’an) agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka, tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan berpegang teguhlah pada (ajaran) Allah. Dia adalah pelindungmu. Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. Al-Hajj: 78)

Selain itu, juga terdapat penegasan yang sama di dalam ayat berikut ini:

قُلْ صَدَقَ اللّٰهُ ۗ فَاتَّبِعُوْا مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Maha Benar Allah (dalam firman-Nya).” Maka, ikutilah agama Ibrahim yang hanif dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 95)

Sebagaimana diketahui, berdasarkan fakta sejarah, tidak bisa dipungkiri bahwa Bangsa Arab adalah anak-anak keturunan Nabi Ismail AS. Mereka juga mewarisi agama dan cara hidup yang diwasiatkan ayah mereka, berupa peng-Esa-an Allah, penyembahan-Nya, pelaksanaan aturan-Nya, penyucian-Nya, dan pemuliaan-Nya. Dan salah satu ajaran yang paling menonjol adalah pengagungan dan penyucian Baitul Haram (Kakbah) serta penghormatan terhadap simbol-simbolnya, termasuk pembekalan, pelayanan dan pemeliharaannya.

Tetapi, tidak pula bisa dipungkiri, bahwa setelah abad-abad berlalu, mulailah mereka mencampuradukkan kebenaran yang mereka warisi turun-temurun itu dengan kebatilan. Seperti itulah keadaan semua umat dan bangsa setelah didominasi kebodohan dalam waktu yang lama dan disusupi bisikan para tukang sihir dan para pengkhayal. Akibatnya, keyakinan mereka disusupi perbuatan syirik, dan mereka pun menjadikan patung sebagai sesembahan. Lebih jauh, berkembang di tengah-tengah mereka berbagai taklid yang tidak berdasar dan terjadi kerusakan moral yang parah. Berbagai hal itu menjadikan mereka semakin jauh dari cahaya tauhid serta cara hidup Al-Hanifiyah. Semakin dalam mereka tenggelam di tengah samudra kebodohan yang menutupi kecerdasan dan potensi ketuhanan selama beradab-abad. Kelak, kemudian Nabi Muhammad SAW datang untuk mengenalkan kembali mereka pada potensi ilahiah yang sejatinya telah mereka kenal dan mereka miliki.

Dalam catatan sejarah, diketahui bahwa orang pertama yang mengenalkan paganisme kepada Bangsa Arab dan mengajak mereka menyembah patung adalah Amr bin Luhaiy bin Qam'ah, leluhur Suku Khuza'ah.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits At-Taimi, dari Abu Sholih As-Saman bahwa dia mendengar Abu Hurairah bertutur:

“Aku mendengar Rasulullah SAW berkata kepada Aktsam bin Jun Al-Khuza'i, "Wahai Aktsam, aku melihat Amr bin Luhaiy bin Qamʻah bin Khandaf menyeret-nyeret ususnya di neraka. Aku tidak pernah melihat orang yang lebih mirip dengannya daripada engkau, dan tidak pernah melihat orang yang lebih mirip denganmu daripada dia." Aktsam bertanya, "Apakah kemiripanku dengannya berbahaya. bagiku, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak. Engkau adalah Mukmin, sedangkan dia orang kafir. Dahulu dia adalah orang pertama yang mengubah agama Ismail, lalu memasang berhala, memotong telinga binatang untuk dipersembahkan kepada berhala, menyembelih binatang untuk berhala, mempersembahkan unta kepada berhala, dan meyakini unta tertentu tidak boleh dinaiki.” (Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Humairi, Sirah Ibn Hisyam, juz 1, hlm. 76)

Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Aku melihat Amr bin Luhaiy bin Qam'ah bin Khandaf menyeret-nyeret ususnya di neraka." Hadis ini memiliki redaksi-redaksi yang mirip. Unta tertentu yang diyakini tidak boleh dinaiki adalah unta pejantan yang mengawini cucunya sendiri.

Ibnu Hisyam juga meriwayatkan bagaimana Amr bin Luhayy mengenalkan paganisme kepada Bangsa Arab:

“Amr bin Luhaiy pergi dari Makkah menuju Syam untuk menjalankan urusannya. Setibanya di Ma'ab, daerah Al-Balqa', yang ketika itu dihuni kaum Amaleq -keturunan Amlaq atau Amliq bin Lawidz bin Sam bin Nuh- dia melihat mereka menyembah patung. Dia pun bertanya, “Apa patung-patung yang kalian sembah itu?" Mereka menjawab, “Patung-patung itu kami sembah guna meminta hujan sehingga kami diberi hujan; kami meminta kemenangan sehingga kami diberi kemenangan." Dia bertanya lagi, "Maukah kalian memberiku satu di antaranya yang bisa kubawa ke negeri Arab untuk mereka sembah?" Maka, mereka memberinya sebuah patung yang dinamai Hubal. Dia pun membawanya ke Makkah dan memasangnya, lalu menyuruh orang-orang menyembah dan mengagungkannya.” (Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al-Humairi, Sirah Ibn Hisyam, juz 1, hlm. 77)

Demikianlah awal kemunculan dan penyebaran paganisme di Jazirah Arab, sehingga politeisme menjadi anutan mereka yang sangat populer. Mereka telah meninggalkan akidah tauhid yang sebelumnya mereka peluk serta mengganti agama Ibrahim dan Ismail dengan kemusyrikan. Mereka pun menjadi seperti umat-umat lain, berakhir pada aneka keyakinan dan perbuatan yang sesat. Faktor utama yang mendorong mereka melakukan semua itu adalah kebodohan, ketunaaksaraan, dan keengganan mereka untuk berpikir sehingga mudah dipengaruhi ajaran berbagai suku dan umat yang hidup di sekitarnya.

Kendati demikian, di tengah-tengah mereka masih ada beberapa orang yang tetap berpegang teguh pada akidah tauhid dan mengikuti cara hidup Al-Hanifiyah. Mereka tetap percaya adanya Hari Kebangkitan dan penghimpunan, meyakini bahwa Allah memberikan pahala kepada orang yang taat dan menghukum orang yang durhaka, dan tidak menyukai penyembahan patung serta segala kesesatan paham dan pemikiran yang dibuat-buat oleh bangsa Arab. Segelintir orang yang dikenal tetap memelihara ajaran Al-Hanifiyah ini di antaranya adalah Qass bin Sa'idah Al-Iyyadi, Ri'ab Asy-Syinni, dan Buhaira, sang Rahib.

Adat istiadat Bangsa Arab juga masih memperlihatkan jejak-jejak ajaran Nabi Ibrahim AS dan prinsip agama yang hanif serta simbol-simbolnya, meskipun makin terkikis habis seiring perkembangan zaman.

Dalam kadar tertentu, keJahiliyahan mereka masih diwarnai pengaruh aneka simbol dan prinsip hanifiyah. Hanya saja, berbagai simbol dan prinsip ini muncul di kehidupan mereka dalam keadaan sudah tercemar. Contohnya, pengagungan Kakbah serta tawaf mengelilinginya, haji, umrah, wukuf di Arafah, dan kurban (Al-Hadyu).

Pada dasarnya, semua tradisi itu dilegalkan dan diwarisi secara turun-temurun dari era Nabi Ibrahim AS. Tetapi praktik yang mereka terapkan tidak benar dan bercampur dengan banyak kesesatan. Misalnya, dalam tahalul untuk haji dan umrah, orang Kinanah dan Quraisy mengucapkan, "Labbayka Allahumma labbayk. Labbayka la syarika illa syarikun huwa lak, tamlikuhu wa ma malak.” (Aku menyambut seruan-Mu, ya Allah. Aku menyambut seruan-Mu, tiada sekutu kecuali sekutu yang Kau miliki, yang Kau miliki dan dia miliki pula).

Jadi, sebagaimana dikatakan Ibnu Hisyam, mereka mengesakan Allah SWT dalam talbiyah, tetapi seraya menyisipkan berhala mereka bersama-Nya dan menempatkan kepemilikannya pada tangan-Nya.

Kesimpulannya, keadaan Bangsa Arab pada masa kedatangan Islam dinaungi jejak-jejak ajaran Al-Hanifiyah As-Samhah yang dibawa Nabi Ibrahim AS.

Di masa lalu, kehidupan mereka dipenuhi akidah tauhid serta cahaya petunjuk dan iman. Lalu, mulailah mereka menjauhi kebenaran itu sedikit demi sedikit lantaran faktor waktu yang sangat lama, berabad-abad yang panjang, dan jarak masa yang jauh dari era Nabi Ibrahim AS.

Kehidupan mereka pun mulai diisi kemusyrikan, sesat pemikiran, dan kebodohan. Semua itu berkembang seraya tetap membawa aneka simbol kebenaran kuno serta prinsipnya yang masih tersisa, yang terus bergerak mengiringi sejarah mereka. Hanya saja, semua prinsip, tradisi, dan simbol-simbol agama hanifiyah itu semakin lemah seiring perjalanan waktu, dan semakin sedikit pemeluknya dari tahun ke tahun.

Tatkala cahaya agama yang hanif ini bersinar lagi dengan diutusnya Sang Penutup Para Nabi, Muhammad SAW, wahyu Allah pun menyentuh setiap hal yang telah ditutupi kesesatan dan kegelapan selama berabad-abad yang sangat panjang itu. Cahaya Ilahi yang datang bersama Muhammad SAW menyingkirkan kesesatan itu dan menyingkapkan kembali tradisi hanifiyah yang sejati. Muhammad SAW datang mengganti kebodohan dengan cahaya iman, tauhid, serta prinsip keadilan dan kebenaran. Beliau mengenalkan kembali Bangsa Arab kepada keyakinan dan ajaran Ibrahim AS. Kemudian memulihkannya seperti sedia kala serta menetapkannya sebagai syariat Allah.

***

Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa apa yang disampaikan di atas merupakan perkara yang diketahui dengan pasti oleh siapa pun yang mau mencermati sejarah. Semua itu merupakan sesuatu yang dapat dibuktikan dengan jelas oleh siapa pun yang mau mengkaji sedikit saja tentang Islam. Hanya saja, di zaman sekarang kita terpaksa membuang banyak waktu untuk menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah pasti dan menjelaskan sesuatu yang telah nyata. Bahkan, kita melihat begitu banyak orang yang menafikan keyakinannya sendiri hanya demi mengikuti hasrat dan kecenderungan nafsu. Ibaratnya, mereka itu hidup tanpa menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya membelenggu akal dengan belenggu penghambaan dan perbudakan kepentingan pribadi.

Betapa jauhnya perbedaan antara kehendak yang ada di belakang keyakinan dan keyakinan yang ada di belakang kehendak. Betapa besar perbedaan antara keduanya dari sisi keluhuran dan kehinaan serta dari segi keperkasaan dan kelemahan!

Tetapi tidak bisa dihindari, bahwa memang ada saja orang yang berpendapat -meskipun uraian di atas sudah jelas sekali terbukti ilmiah- bahwa era Jahiliyah mulai berakhir menjelang pengutusan Nabi SAW dan mulai mengembangkan perilaku yang patut ditiru; bahwa Bangsa Arab telah mulai melakukan revolusi terhadap berbagai fenomena syirik dan paganisme serta segala takhayul Jahiliyahnya. Kemudian, kesadaran dan revolusi itu menjelma dalam wujud kenabian Muhammad SAW dengan gerakan dakwahnya.

Menurut mereka, dakwah Nabi SAW dimulai ketika kaum Jahiliyah makin terbuka terhadap berbagai hakikat tauhid dan cahaya petunjuk seiring dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, semakin jauh mereka dari era Ibrahim AS, semakin dekatlah mereka pada prinsip-prinsip dan dakwahnya, sehingga akhirnya mereka semakin mendekati puncaknya melalui kenabian Muhammad SAW!? Gambaran pendapat inilah yang sering mereka kemukakan.

Tapi benarkah itu yang ditetapkan sejarah, ataukah sejarah justru menetapkan kebalikannya dengan penuturan yang paling sederhana dan dapat dipahami dengan jelas?

Pada dasarnya, setiap penulis yang cermat dan jujur pasti mengetahui bahwa masa ketika Nabi Muhammad SAW diutus adalah masa Jahiliyah yang paling jauh dari petunjuk Ibrahim AS dibanding masa-masa sebelumnya. Lagi pula, peninggalan simbol dan prinsip agama hanifiyah yang ada di tengah Bangsa Arab ketika Nabi SAW diutus sangat sedikit dan nyaris punah seluruhnya. Sisa-sisa tradisi dan keyakinan hanifiyah itu misalnya, tecermin dalam ketidaksukaan sebagian orang Arab terhadap berhala dan keengganan untuk menyembahnya, juga dalam kecenderungan mereka pada beberapa perilaku utama seperti yang diajarkan Islam.

Namun, sisa-sisa tradisi hanifiyah itu teramat sedikit, tidak sampai sepersepuluh dari keadaannya pada beberapa abad sebelumnya. Jadi, jika pendapat mereka benar, seharusnya Muhammad SAW telah diutus sebagai nabi dan rasul sejak beberapa abad sebelumnya ketika Bangsa Arab masih kental dan didominasi tradisi hanifiyah?!

***

Sebagian kalangan lain menetapkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW belum dapat menghancurkan kebiasaan, tradisi, ritual, dan keyakinan gaib yang populer di tengah Bangsa Arab, beliau sengaja memakaikan baju agama pada semua itu, lalu menyebutnya sebagai hukum Tuhan. Dengan kata lain, Nabi Muhammad SAW hanya hadir untuk mengendalikan berbagai keyakinan Bangsa Arab terhadap yang gaib, lalu membungkusnya dengan sosok Tuhan Yang Maha Kuasa. Buktinya, mereka berdalih, setelah Bangsa Arab memeluk Islam mereka tetap memercayai sihir, jin, dan berbagai hal gaib lainnya. Mereka juga tetap bertawaf mengelilingi Kakbah, menyucikannya, dan mempraktikkan sejumlah ritual lain seperti di masa-masa sebelumnya.

Pendapat mereka itu berangkat dari dua hipotesis yang dianggap jauh dari kemungkinan salah. Hipotesis pertama adalah bahwa Muhammad SAW bukanlah seorang nabi. Sedangkan hipotesis kedua adalah bahwa sisa-sisa ajaran Ibrahim AS yang masih ada di tengah Bangsa Arab hanyalah kreasi dan tradisi buatan mereka sendiri. Jadi, pemuliaan dan penyucian Kakbah bukanlah ajaran Ibrahim AS, sebagaimana diperintahkan Tuhannya, melainkan kreasi dan hasil kebudayaan Bangsa Arab. Jadi, ritual itu murni produk budaya.

Lalu demi mempertahankan kedua hipotesis itu dan menjaganya dari keraguan, mereka menutup mata dari berbagai bukti dan fakta sejarah yang sangat terang; fakta-fakta sejarah yang pasti akan menolak kedua hipotesis itu dan menyingkapkan kepalsuan serta kekeliruannya.

Hanya saja, kita tahu bahwa pencarian fakta dan hakikat itu tidak mungkin dicapai seorang peneliti selama dia tidak berusaha mendekatinya. Tanpa kesungguhan dan kejujuran, dia hanya akan bergerak sampai batas yang sesuai dengan hipotesisnya. Dia tidak bisa bebas bergerak dan meneliti karena telah menanamkan hipotesis itu kuat-kuat dalam benaknya sebelum melakukan penelitan. Tentu saja penelitian semacam itu tak ubahnya sandiwara yang menggelikan.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain selain berusaha mencermati semua bukti akal atau fakta sejarah untuk menyingkapkan berbagai kebenaran yang hakiki. Upaya itu harus dilakukan seraya tetap menjaga tujuan utama, yaitu mencapai hakikat itu sendiri, tanpa membohongi diri sendiri dan orang lain dengan berpura-pura meneliti secara mandiri padahal didorong kepentingan paham tertentu atau dilandasi fanatisme yang buta.

Dalam mengkaji persoalan ini, tidak mungkin menutup pikiran dari berbagai bukti kenabian Muhammad SAW, seperti fenomena wahyu dan mukjizat Al-Quran, serta fenomena keselarasan antara dakwahnya dan dakwah para nabi sebelumnya. Dari sini pula kita tidak akan mengabaikan keutamaan serta kesempurnaan sifat dan akhlak Nabi Muhammad SAW, hanya untuk menerima hipotesis bahwa Muhammad SAW bukanlah seorang nabi.

Selain itu, kita juga tidak mungkin menutup pikiran dari sejarah yang bercerita tentang pembangunan Kakbah yang mulia oleh Nabi Ibrahim AS atas perintah dan wahyu dari Allah SWT, tentang kesamaan tugas para nabi untuk menyampaikan ajaran tauhid kepada umat manusia; untuk menyeru mereka agar mengimani hal-hal gaib, seperti Hari Kebangkitan, Hari Perhitungan, serta balasan berupa surga dan neraka.

Semua itu didakwahkan para nabi secara sambung-menyambung dan semuanya terdapat dalam kitab-kitab suci samawi, dibenarkan sejarah, dan disadari generasi demi generasi manusia. Dengan fakta yang sedemikian rupa itu, kita tidak mungkin menutup pikiran dari semua fakta sejarah hanya untuk menerima hipotesis bahwa apa yang kita sebut "sisa-sisa ajaran Ibrahim" di zaman Jahiliyah itu hanyalah tradisi hasil pemikiran dan budaya Bangsa Arab, dan bahwa Muhammad SAW hanya hadir membungkusnya dengan baju agama.

Satu hal yang layak diingat adalah bahwa mereka yang berpegang pada dua hipotesis itu sesungguhnya tidak memiliki bukti atau dalil apa pun yang mendukung klaim mereka. Itu hanyalah wacana yang dikampanyekan dari waktu ke waktu. Pandangan kelompok ini, bisa dilihat dalam Buku Buniyyah Al-Fikr Ad-Dini (Bangunan Pemikiran Agama) karya orientalis Inggris terkenal, yang bernama H.A.R. Gibb. Buku ini menunjukkan betapa besar pengaruh fanatisme buta terhadap pemikiran para pembela dua hipotesis itu. Fanatisme ganjil itulah yang kerap memaksa pemiliknya menanggalkan harga dirinya dan mempertaruhkannya di hadapan segudang dalil dan fakta yang nyata. Mereka mementingkan fanatisme dan tidak mau tunduk pada dalil-dalil yang jelas dan tegas.

Dasar dan kerangka pemikiran agama dalam Islam, menurut Gibb adalah aneka keyakinan dan paham Bangsa Arab terhadap hal-hal gaib (animisme). Jadi menurutnya, Muhammad SAW melihat dan mencermati semua itu, lalu mengganti apa yang bisa digantinya, membiarkan sisanya yang tidak bisa dihindari, kemudian membungkusnya dengan baju Islam. Setelah itu, dianggapnya Muhammad itu menguatkannya dengan berbagai paham dan sikap keagamaan yang dianggap sesuai. Lalu, beliau menghadapi masalah besar karena ingin mengembangkan agama ini bukan hanya untuk Bangsa Arab, melainkan untuk semua manusia. Maka, untuk menjawab masalah itu, Muhammad membangun kehidupan agamanya dengan panduan Al-Quran?

Seperti itulah pemikiran Gibb yang diungkapkan dalam bukunya tersebut. Aneh sejali! Jika kita mencermati bukunya itu, dari awal hingga akhir, tidak akan kita temukan satu pun dalil yang membuktikan kebenaran pendapatnya. Dari sini, siapapun mestinya dapat menyimpulkan bahwa si penulis telah menyimpan dulu akalnya sebelum dia menuliskan buku itu. Gantinya, dia menggunakan daya imajinasi dan khayalan ketika menyusun semua pernyataan dan penilaiannya itu. Sehingga menghasilkan pernyataan yang tak berdasar sama sekali dan terkesan ngawur.

Tampaknya, ketika penulis buku itu sedang duduk dan menulis pendahuluan bagi terjemahan Arabnya, dia sudah membayangkan bahwa para pembacanya akan mengejek segala pemikirannya tentang Islam. Maka, dia pun mulai berdalih! Dia mengatakan, “Berbagai pemikiran yang melandasi bab-bab ini bukanlah buah pikiran penulis, melainkan disodorkan dan ditunjukkan kepada saya oleh sekelompok pemikir serta beberapa tokoh besar Muslim yang terlalu banyak untuk disebutkan. Maka, cukuplah saya menyebut salah satunya sebagai contoh, yaitu guru besar Syah Waliyullah Ad-Dahlawi.”

Benarkah demikian?

Selanjutnya, Gibb menukil satu kutipan dari buku karya Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, yaitu Hujjatullah Al-Balighah, jilid I, hlm. 122, dan tampaknya dia merasa aman bahwa tidak seorang pun pembaca yang sudi bersusah payah merujuk buku tersebut guna memastikan keberadaannya. Maka, atas nama sang syaikh, Gibb mengubah teks itu seenaknya serta memalsukannya sedemikian rupa sehingga menurutnya cukup untuk mengaburkan artinya dan menyimpangkan maksudnya. Dengan cara itu, dia bisa melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.

Dengan semena-mena, H.A.R. Gibb mengambil dan memotong satu bagian dari buku Syah Waliyullah itu:

“Nabi SAW diutus dengan risalah yang mengandung risalah lain. Maka, pertama kali sesungguhnya beliau hanya diutus kepada Bani Ismail. Pengutusan ini meniscayakan penyampaian syariat yang di antaranya termasuk simbol-simbol dan bentuk-bentuk ibadah serta berbagai ketetapan umum yang telah berlaku di tengah mereka sejak lama. Sebab, syariat hanya memperbaiki apa yang sudah ada pada mereka, bukan membebani mereka dengan sesuatu yang belum mereka ketahui sama sekali.” (H.A.R. Gibb, Buniyyah Al-Fikr Ad-Dini, hlm. 58)

Padahal, teks lengkap yang tercantum dalam Buku Hujjatullah Al-Balighah yang dikutip oleh Gibb seutuhnya adalah sebagaimana berikut ini:

“Ketahui pula bahwa Nabi SAW diutus membawa Al-Hanifiyah As-Samhah guna meluruskan kebengkokannya, menghilangkan distorsinya, dan menyalakan cahayanya. Inilah makna firman Allah SWT, “(ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim." Dengan demikian, mestilah akar agama itu diterima dan sunnahnya ditetapkan. Sebab, ketika Nabi SAW diutus kepada suatu kaum yang masih memiliki peninggalan sunnah yang memberi petunjuk, beliau tidak perlu mengubah atau menggantinya. Justru, yang wajib adalah menetapkannya, karena itu lebih selaras dengan jiwa mereka dan lebih kuat untuk dijadikan hujjah atas mereka.”

“Keturunan Ismail mewarisi secara turun-temurun cara hidup leluhur mereka, Nabi Ismail AS. Mereka pun tetap hidup sesuai dengan syariat itu hingga datang Amr bin Luhaiy. Dengan jalan pikirannya yang sesat, dia memasukkan ke dalamnya berbagai hal sehingga dia sesat dan menyesatkan. Dia mengenalkan penyembahan patung, persembahan binatang untuk berhala, dan pemotongan kuping binatang untuk berhala. Ketika itulah agama menjadi tidak sah, karena yang benar sudah tercampur dengan yang rusak. Mereka juga didominasi kebodohan, kemusyrikan, dan kekafiran.”

“Lantas, Allah SWT mengutus Muhammad SAW untuk meluruskan kebengkokan mereka dan memperbaiki kerusakan mereka. Beliau mengamati syariat mereka, lalu melestarikan apa-apa yang sesuai dengan cara hidup Ismail AS atau yang tergolong simbol-simbol Allah. Sementara, apa-apa yang sudah dibengkokkan atau dirusak, atau yang tergolong simbol-simbol syirik atau kekafiran, beliau batalkan, dan menegaskannya sebagai kebatilan.”

Sebenarnya tidak perlu juga bersusah payah membahas pemalsuan dan rekayasa yang dilakukan Gibb terhadap teks tulisan Syah Waliyullah. Sebab, sia-sia saja mendiskusikan omong kosong seperti itu.

Tetapi perlu digarisbawahi bahwa para pembaca harus mengetahui betapa besar pengaruh fanatisme buta terhadap penganutnya. Kita juga harus mengenali kekeliruan metodologi penelitian Sarjana Barat (Orientalis) dan “objektivitas” yang digembar-gemborkan para cendekiawan Barat, serta betapa besar kekeliruan itu memengaruhi pola pikir sebagian Muslim yang bertaklid kepada mereka!

***

Dengan demikian, dari pemaparan di atas kita melihat hakikat hubungan antara Islam dan paham Jahiliyah yang sempat mendominasi Bangsa Arab sebelum Islam. Kita juga telah melihat keterkaitan antara zaman Jahiliyah dan tradisi hanifiyah yang diajarkan Nabi Ibrahim AS.

Dengan mencermati semua itu, kita bisa memahami alasan mengapa Rasulullah SAW mengakui sejumlah adat istiadat dan prinsip yang dipegang dan dipraktikkan Bangsa Arab. Di saat yang sama, beliau juga menghapuskan, memerangi, dan menghabisi semua adat istiadat dan prinsip mereka yang menyimpang dari kebenaran. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim