Perdebatan Imam Abu Hanifah dan Kaum Ateis tentang Dalil Eksistensi Allah (2)

 
Perdebatan Imam Abu Hanifah dan Kaum Ateis tentang Dalil Eksistensi Allah (2)
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tulisan ini adalah lanjutan dari postingan sebelumnya dengan judul yang sama, yakni mengenai kisah hikmah perdebatan Imam Abu Hanifah dan Kaum Ateis tentang dalil eksistensi Allah. Pada penghujung bagian sebelumnya diceritakan bahwa Syekh Hammad menceritakan mimpinya kepada Imam Abu Hanifah yang kemudian ditafsiri oleh Imam Abu Hanifah. Selamat membaca…

***

Mendengar kata-kata Abu Hanifah membuat Syekh Hammad seolah menemukan oase di tengah gurun pasir yang gersang, dengan mantap ia mempersilahkan Abu Hanifah yang memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit itu untuk mentafsiri mimpinya, “Wahai Nu’man, silahkan tafsiiri mimpiku itu!.”

“Baiklah Syekh, saya akan mencoba mentafsiri mimpi anda itu, jadi rumah luas yang indah yang anda lihat dalam mimpi anda itu adalah negara Islam “daar al-Islam”, dan pohon besar yang berbuah lebat itu adalah simbolisasi dari para ulama, sementara seekor babi yang mencul dari pojok rumah itu adalah kaum Dahriyyah yang mengalahkan argumentasi banyak ulama yang disimbolkan dengan si babi yang berhasil memakan pohon itu sampai hanya menyisakan akarnya saja, dan akar itu adalah anda syekh yang belum berhasil dikalahkan oleh mereka, dan sedangkan seekor macan yang dengan mudah memakan babi itu adalah aku syekh. Maka anda tak perlu lagi risau ataupun ragu, mari kita pergi ke tempat itu, dengan barokahmu dan dengan izin Allah aku akan berhasil mengalahkan mereka.” Jelas Abu Hanifah panjang lebar dengan nada mantap dan tegasnya seolah sedang mengirimkan rasa optimisme pada sang guru.

Syekh Hammad yang terbius dengan penjelasan yang berisi tafsir mimpi dari Abu Hanifah berhasil mengusir keraguan dari dirinya tanpa sisa, setelah itu dengan mantap Syekh Hammad dan Abu Hanifah pergi menuju tempat yang telah ditentukan untuk debat terbuka yang diadakan oleh kaum Dahriyyah.

Sesampainya di masjid jami’, tempat yang telah ditentukan untuk pertemuan antara Syekh Hammad dan kaum Dahriyyah, di sana telah nampak hadir khalifah, para ulama dan orang-orang telah memenuhi masjid itu. Syekh Hammad pun masuk ke dalam masjid diikuti oleh Abu Hanifah di belakangnya sambil menenteng sandalnya dan sandal gurunya, melihat riuh ramai orang-orang itu tak sedikitpun membuat Abu Hanifah gentar ataupun takut.

Acarapun di mulai, salah seorang pentolan Kaum Dahriyyah naik ke atas mimbar dan tanpa basa basi ia langsung bertanya dengan nada sombongnya seolah yakin bahwa pada perdebatan kali ini ia akan mendapatkan kemenangan kembali, “Siapa yang akan menjawab argumentasiku?”.

Mendengar pertanyaan itu Abu Hanifah langsung angkat bicara dengan tanpa rasa takut, ia bertanya dengan nada menyindir cara perwakilan kaum Dahriyyah dalam bertanya, “Ucapan macam apa ini, harusnya sebagai penanya anda bertanya seperti ini, barang siapa yang tahu maka ia boleh menjawab pertanyaanku, bukan seperti tadi,”

“Hei anak kecil, siapa kamu berani-beraninya berkata demikian, tidak tahukah kamu banyak ulama-ulama besar yang telah sepuh, mereka menggunakan imamah yang besar, mengenakan pakaian kebesarannya telah aku kalahkan, maka bagaimana mungkin dirimu yang masih kecil dan hanya menggunakan pakaian yang lusuh seperti itu berkata demikian!” Berang perwakilan kaum Dahriyyah itu.

“Allah tidak meletakkan kemulian seseorang pada pakaian yang ia kenakan dan tidak pula pada umur yang ia punya, melainkan Allah memberikannya pada para ulama” Jawab Abu Hanifah telak.

Merasa geram dengan jawaban Abu Hanifah, perwakilan Kaum Dahriyyah itu langsung memutus perdebatan dengan pertanyaan menjurus, “Lalu apakah kamu anak kecil yang akan menjawab pertanyaanku?”.

“Iya, dengan izin Allah, saya akan menjawab pertanyaan anda!” Jawab Abu Hanifah dengan mantap, sorot matanya tak menampilkan kegentaran sedikitpun.

“Baiklah, Saya akan langsung bertanya, kita lihat bagaimana jawabanmu” dengan nada meremehkan Kaum Dahriyyah itu berkata, “Apakah Allah ada?” Lanjutnya.

“Tentu, Allah ada (maujud)!”

“Lalu dimana Dia?”

“Dia tidak bertempat pada sebuah tempat tertentu.”

“Coba jelaskan dengan realistis bagaimana ada dzat yang maujud namun tidak memiliki tempat, itu mustahil?”

“Buktinya ada pada tubuhmu!”

“Apa itu?”

“Apakah ditubuhmu ada ruh?”

“Iya!”

“Lalu dimana ruh itu berada? Apakah di kepalamu ataukah di perutmu atau di kakimu?”

Mendengar itu kaum Dahriyyah merasa bingung untuk menjawabnya dan secara tidak langsung mereka membenarkan argumentasi Abu Hanifah, belum juga kaum Dahriyyah menemukan jawabannya, Abu Hanifah lantas meminta dibawakan segelas susu sebagai contoh yang lebih kongkrit, lalu Abu Hanifah bertanya kembali pada kaum Dahriyyah, “Bukankah kalian meyakini bahwa di dalam susu ini terdapat lemak?”

“Iya!”

“Lalu dimana lemak itu berada? Di bagian atasnya atau di bagian bawahnya?”

Kaum Dahriyyah pun lagi-lagi dibuat bingun karena tidak mampu menyangkal argumentasi Abu Hanifah, lalu Abu Hanifah pun kembali menjelaskan, “ Sebagaimana tidak ditemukannya tempat bagi ruh di tubuh kalian, begitu pula tidak ditemukannya tempat bagi lemak dalam susu ini, begitu pula tidak ditemukan tempat bagi Allah SWT di alam ini.” Tutup Abu Hanifah.

Bersambung, lanjut ke bagian selanjutnya!


Penulis: Ahmad Syahroni

Editor: Hakim