Biografi Habib Salim bin Thoha Al-Haddad, Ulama Kharismatik dari Kalibata, Jakarta

 
Biografi Habib Salim bin Thoha Al-Haddad, Ulama Kharismatik dari Kalibata, Jakarta
Sumber Gambar: kicaunews, ilustrasi laduni.ID

Daftar isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Dekat dengan Ulama Sepuh
3.2  Membuka Majelis
3.3  Melayani Masyarakat
3.4  Ulama yang Tawadhu

4.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga
Keseharian amal ibadah Habib Salim, yang selalu diliputi oleh perasaan penuh ketenangan dan ketawadhu’an, membekas kuat dalam kepribadian beliau yang sangat tenang, rendah hati, dan senang membantu memenuhi hajat orang lain.

1.1 Lahir
Habib Salim diperkirakan lahir sekitar tahun 1898 M. Di Kalibata, Jakarta Selatan, beliau merupakan putra dari pasangan Habib Thoha bin Ja’far AI-Haddad dan Ibu Tihamah, seorang wanita Betawi yang dikenal shalehah.

Orangtuanya, Habib Thoha bin Ja’far, juga kelahiran Kalibata. Yang pertama kali masuk ke Indonesia dan mendiami Kampung Kalibata adalah kakeknya, yaitu Habib Ja’far Al-Haddad. Sayang sekali, tidak ditemukan data yang menyebutkan tanggal kelahiran Habib Salim, kecuali sekedar perkiraan.

1.2 Wafat
Habib Salim bin Thoha wafat pada Hari Jum’at malam tanggal 20 Oktober 1978 M. Ribuan pelayat mengantar jenazahnya menuju tempat peristirahatannya yang terakhir, kompleks pemakaman keluarga Al-Haddad Kalibata.

Usai pemakaman, Habib Abdullah bin Husain Syami Al-Atthas membacakan talqin. Kompleks pemakaman tempat jasad Habib Salim dimakamkan, saat ini dikenal dengan nama Qubah Habib Salim bin Thaha AI-Haddad.

Empat puluh hari setelah wafatnya, Habib Abdullah bin Salim Al-Atthas, sahabat terdekatnya, mengunjungi majelis tahlil di rumahnya. Di sana, tiba-tiba beliau meminta agar para jamaah yang hadir memainkan hadrah. Para jamaah yang biasa bertugas untuk membawakan hadrah, terlihat ragu. “Bukankah ini acara tahlil, kenapa harus dimeriahkan dengan pemukulan rebana?” demikian mungkin yang terlintas dalam pikiran sebagian orang di sana pada saat itu.

Melihat keraguan di wajah mereka, Habib Abdullah bin Salim Al-Atthas mengatakan, “Anda semua tidak tahu, saat ini Habib Salim sangat senang dengan kedatangan saya. Bahkan beliau sedang menyambut saya. Maka sekarang ambil dan pukullah rebana. Siapa bilang Habib Salim sudah tak ada? Sekarang ini Habib Salim ada di tengah-tengah kita. Tapi kalian tidak melihatnya.”

Kemudian Habib Abdullah bin Salim Al-Atthas membacakan sebuah ayat Al-Qur’an yang berisikan keterangan bahwa sesungguhnya kekasih-kekasih Allah SWT itu tidaklah mati. Mereka tetap hidup dalam naungan rahmat Allah SWT.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Sejak kecil, telah tampak perbedaan dalam sikap hidup Habib Salim dibandingkan kawan-kawan sepermainannya. beliau sudah senang mengenakan pakaian sunnah Nabi SAW, berupa baju gamis. beliau juga dikenal sebagai anak yang sangat berbakti kepada orangtuanya.

Dalam usia yang masih belia, beliau dibawa ke Hadhramaut oleh ayahandanya. Di sana, beliau belajar dengan banyak ulama. Di antara gurunya yakni Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri. Pada masa mudanya, beberapa kali beliau pulang pergi Jakarta-Hadhramaut. Di negeri leluhumya itu, banyak sanak familinya yang tinggal di Desa Al-Hawi.

Sepulangnya dari Hadhramaut, beliau tetap berguru kepada para habaib di Jakarta. Di antara guru-gurunya di Jakarta yakni Habib Ali bin Abdurrahman AI-Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan Habib Ali bin Husain AI-Atthas (Habib Ali Bungur). beliau selalu melazimi majelis-majelis kedua gurunya itu, hingga akhir hayat kedua gurunya tersebut.

Selama beliau tinggal di Jakarta, majelis ta’lim hari Ahad pagi di Kwitang, yang diasuh oleh Habib Ali bin Abdurrahman AI-Habsyi, adalah majelis yang tidak pernah dilewatkannya. Sekalipun dirinya seorang ulama yang sudah dikenal banyak orang, beliau selalu ingin menempatkan dirinya sebagai murid bagi para habaib besar saat itu, terutama kepada Habib Ali bin Abdurrahman AI-Habsyi.

2.2 Guru-Guru

  1. Habib Thoha bin Ja’far AI-Haddad (ayah),
  2. Habib Abdullah bin Umar Asy-Syathiri,
  3. Habib Ali bin Abdurrahman AI-Habsyi, (Habib Ali Kwitang)
  4. Habib Ali bin Husain AI-Atthas, ( Habib Ali Bungur).

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Dekat dengan Ulama Sepuh
Begitu pun, beliau tak pernah menyia-nyiakan setiap kesempatan yang didapatinya saat bertemu para habaib sepuh lainnya. Sehingga, mereka pun mengenal dekat dirinya. Di antara mereka adalah Habib Shalih bin Muhsin Al-Hamid, yang hampir setiap kali ke Jakarta selalu menyempatkan diri mendatangi kediaman Habib Salim bin Thoha Al-Haddad. Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas Bogor dan Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, bila datang ke Jakarta, juga sangat senang bila ditemani oleh Habib Salim.

Kedekatannya dengan hampir seluruh tokoh habaib sepuh pada saat itu, membuatnya dikenai sebagai seorang wali yang menjadi kesayangannya para wali di zamannya.

Beliau senantiasa akan menyambut kedatangan para habib itu dengan penuh kerendahan hati, karena dirinya memang dikenal sebagai sosok ulama yang sangat tawadhu’. beliau mempunyai banyak sahabat, yang terdekat di antaranya adalah Habib Abdullah bin Salim Al-Aththas, Kebon Nanas, Jakarta Timur. Hampir di setiap majelis, beliau selalu duduk bersebelahan dengan sahabatnya ini.

Suatu malam beliau pemah bermimpi bertemu Syekh Abu Bakar bin Salim. Saat itu Syekh Abu Bakar mengatakan kepadanya, “Besok ada salah seorang putraku datang ke kotamu. Namanya sama dengan namamu. Maka sambutlah dia.” Sontak beliau terbangun, saat itu sekitar pukul 2 malam. Langsung saja beliau memanggil tukang dokar, lalu mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut orang yang dipesankan oleh Syekh Abu Bakar.

Ba’da subuh, beliau berangkat ke Stasiun Kota. Tak lama setelah itu, ada kereta dari Surabaya yang datang. Maka diperhatikannyalah satu per satu orang yang turun dari kereta tersebut. Sewaktu beliau melihat ada seorang berumur separuh baya, berpakaian necis lengkap dengan dasi dengan garis wajah berketurunan Arab, beliau pun mendekat.

Kemudian beliau bertanya kepada orang tersebut, “Engkau Salim?”
“Ya, saya Salim bin Ahmad Bin Jindan”. Habib Salim pun memperkenal dirinya, “Saya Salim bin Thoha Al-Haddad. Saya diperintahkan oleh datukmu, Syekh Abu Bakar bin Salim, untuk menyambutmu, ini dokar telah saya siapkan. Ke mana saja engkau akan berpergian, biar saya yang antar.”
Itu adalah kisah perjumpaan pertama kali Habib Salim bin Thoha Al-Haddad dengan Habib Salim bin Ahmad Bin Jindan. Dalam kisah itu juga dapat dilihat betapa khidmat dirinya terhadap para ulama habaib.

3.2 Membuka Majelis
Di rumahnya, Habib Salim membuka majelis pada malam Kamis dan malam Sabtu. Kitab yang paling sering diajarkannya adalah An-Nashaih Ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad.

Di antara berbagai disiplin ilmu agama yang dikuasainya sebagai seorang ulama, selain ilmu fiqih dan tasawuf, beliau memiliki penguasaan yang mendalam dalam ilmu tarikh. Beliau dapat menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dengan sangat mendetail.

Selain sisi keilmuan, sisi amaliyahnya juga menunjukkan kepribadian seorang yang shalih. Shalatnya sangat thuma’ninah. Sekalipun dalam Shalat Tarawih, beliau tetap membaca secara tartil, seperti dalam shalat lima waktu, hingga Shalat Tarawihnya itu biasanya baru selesai dalam waktu satu setengah jam. Tapi mereka yang menjadi makmum di belakangnya merasakan kenikmatan shalat di belakangnya, hingga tak satu pun di antara mereka yang ada keinginan untuk beranjak meninggalkannya.

3.3 Melayani Masyarakat
Sebagai seorang ulama, beliau adalah pelayan umat yang patut diteladani. Kalau diundang atau dipanggil orang untuk keperluan tertentu, siapa pun orangnya tanpa pandang bulu, beliau tidak akan menolak.

Saat itu, banyak orang yang selalu meminta doa kepadanya untuk berbagai hajat. Bila ada orang kampung ke rumahnya, terutama bila ada anggota keluarganya yang sakit, sekalipun di tengah malam buta, segera beliau mengambil obor dan menyambangi rumah orang yang membutuhkan pertolongannya.

Pernah sekali waktu saat Habib Salim pulang dari Kwitang, belum sampai di rumah, di tengah jalan beliau dipanggil oleh salah seorang menantu-cucunya yang memintanya untuk mampir ke rumahnya. Habib Salim pun memenuhi permintaan itu. Maka di rumah itu Habib Salim berbincang-bincang dengan segenap isi keluarga. Tidak seberapa lama hujan pun turun. Melihat hujan turun, sedemikian rupa wajah Habib Salim terlihat seperti orang kebingungan.

Rupanya beliau teringat bahwa di rumahnya biasanya banyak orang yang datang memerlukan dirinya. Memang hampir setiap hari rumah Habib Salim tak pemah sepi dari tamu. Dengan penuh keyakinan, Habib Salim pun melangkah ke luar rumah.

Di bawah atap teras rumah tersebut, sesaat Habib Salim sedikit mengangkat kepalanya seraya mengatakan, “Eh hujan, berhenti, saya mau pulang”. Subhanallah, hanya dalam hitungan detik hujan pun berhenti. Seakan hujan itu tertahan oleh himmah Habib Salim yang begitu besar dalam melayani umat yang membutuhkannya.

3.4 Ulama yang Tawadhu
Bila ‘Idul Fitri tiba, hari keempat dan kelima bulan Syawal adalah jadwal khususnya setiap tahun untuk mendatangi warga di kampung tempat tinggalnya. Hari keempat beliau datang ke bludik, sementara pada hari kelima beliau datang ke bletan.

Bludik dan bletan adalah sebutan orang-orang tua Betawi Kalibata tempo dulu yang menunjukkan arah yang bermakna selatan dan utara. Satu per satu rumah di perkampungan sebelah selatan dan sebelah utara dari rumah Habib Salim beliau kunjungi, dalam rangka bersilaturahim ‘Idul Fitri dengan seluruh warga. Sementara itu, pada hari-hari pertama ‘Idul Fitri, hampir seluruh warga di wilayah itu mendatanginya.

Perhatiannya yang sangat mendalam dalam melayani umat juga terlihat dari kepekaan sosialnya yang tinggi. beliau adalah orang yang banyak membagi-bagikan shadaqah, hasil dari usaha pabrik pembuatan batu bata miliknya. Kepekaan sosialnya yang tinggi itu juga terlihat dari cara pandangnya saat memperhatikan salah seorang di antara tetangganya yang setiap tahun berangkat haji.

Kala itu Habib Salim pernah mengatakan kepada salah seorang kemenakannya, “Ada amal yang lebih baik bagi orang tersebut dibanding harus pergi haji setiap tahun. Seandainya beliau mau menghabiskan hartanya untuk bersedekah dan membantu orang-orang yang sedang membutuhkan bantuan, hal itu akan lebih bermanfaat dan lebih besar nilainya di sisi Allah SWT.”

Sepertinya, keseharian amal ibadah Habib Salim, yang selalu terliputi oleh perasaan penuh ketenangan dan ke-tawadhu’an, membekas kuat dalam ke-pribadiannya yang sangat tenang, rendah hati, dan senang membantu memenuhi hajat orang lain.

beliau mempunyai hati yang lembut dan nyaris tidak pernah menampakkan kemarahan. Suaranya pelan tapi terdengar jelas. Sifat tawadhu’nya juga sangat dikenal. Karena sifat ketawadhu’annya itu, beliau selalu terlihat menunduk. beliau selalu menundukkan kepala di mana pun berada dan dalam kondisi apa pun, baik sedang berdiri maupun sedang duduk.

Kalau berada di suatu majelis, orang akan dengan mudah menandai kehadirannya, yang selalu terlihat menunduk. Dalam majelis itu, sesekali tampak beliau mengangkat kepala dan melihat orang-orang di sekitarnya. Bila pada saat itu ada orang yang melihat dirinya, beliau pun tersenyum. Sesaat kemudian, beliau menundukkan lagi kepalanya.

Bahkan sekalipun sedang dalam posisi tidur, beliau tetap berusaha untuk tidak menengadahkan kepalanya ke arah langit. Seperti yang dikisahkan ketika beliaua pernah dibawa ke rumah sakit karena sakit prostat yang dideritanya di akhir-akhir usianya. Saat itu, dokter akan memeriksanya dan kemudian memintanya untuk tidur terlentang.

Dalam kondisi terlentang itu, Habib Salim tetap menekuk kepalanya, hingga kepalanya itu tidak dalam posisi tertengadah penuh ke atas. Pada setiap kali difoto pun, beliau selalu menunduk. Terkadang, orang yang memfotonya harus meminta dulu kepadanya untuk sedikit menaikkan kepalanya, agar wajahnya dapat terlihat lebih jelas.

Namun demikian, di balik sifat kerendahan hatinya itu, ternyata Habib Salim juga dikenal sebagai seorang yang memiliki keahlian ilmu bela diri. Sinding, begitulah nama aliran silat Betawi yang dikuasainya. Di samping keahlian bela dirinya itu, beliau juga memiliki keistimewaan yang dalam keadaan tertentu, bila beliau terpaksa menegur dengan mengeluarkan suara keras, orang yang ditegurnya bisa gemetar dan jatuh lemas.

Pernah sekali waktu ada orang yang marah-marah dan mendatangi Habib Salim sambil berteriak-teriak keras di muka rumahnya, “Mana itu yang disebut habib?”

Saat itu Habib Salim sedang makan. Dengan penuh ketenangan beliau meneruskan makannya hingga selesai, seraya menyuruh anggota keluarganya untuk mempersilakan orang tersebut menunggu di ruang tamu. Setelah selesai makan, beliau menghampiri orang itu. Rupanya orang itu ingin menggertak Habib Salim. Sambil mengeluarkan pistol dari bagian dalam bajunya, dia mengatakan, “Heh! Lihat, ini apa!”

Dengan sikap tenang, Habib Salim tiba-tiba mengeluarkan suara cukup keras, “Tembak! Tembak!”

Tiba-tiba sekujur tubuh orang itu bergetar dan langsung jatuh lunglai. Orang itu pun dikabarkan hampir selama seminggu tidak dapat bangun. Bahkan kalau tidak dikasih makan, ia tidak dapat makan.

Entah apa yang dilihat orang itu. Selama seminggu itu, melihat siapa pun ia ketakutan. Akhirya keluarganya sendiri yang datang ke Habib Salim untuk meminta maaf dan meminta kesediaan Habib Salim mengunjunginya.

Dengan penuh keluasan hati, beliau mendatangi rumah orang tersebut dan memberikannya air yang telah dibacainya sebagai obat untuk orang tersebut. Tak lama setelah itu, orang tersebut pun dikabarkan sembuh seperti sedia kala. Beberapa kali pula terjadi kejadian yang mirip dengan kejadian tersebut.

7. Referensi
kicaunews.com

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya