Tahun 638 M: Mendalami Proses Pembuatan Kalender Islam yang Mewarnai Tradisi Umat Muslim

 
Tahun 638 M: Mendalami Proses Pembuatan Kalender Islam yang Mewarnai Tradisi Umat Muslim
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada sekitar tahun 638 M, masa kekhalifahan Umar bin Khattab mencatatkan puncak sejarah yang menginspirasi kesadaran bersama umat Islam: inisiasi pembuatan kalender Islam. Sebelumnya, kalender lunar yang digunakan menghadapi tantangan besar dalam akurasi perhitungannya, menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian dalam menentukan momen-momen kunci seperti bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Dalam konteks ini, Khalifah Umar, sebagai pemimpin yang visioner dan responsif terhadap kebutuhan umat Islam, mengusulkan perubahan substansial dalam sistem pengukuran waktu.

Latar belakang terciptanya kalender Islam yang diusulkan oleh Khalifah Umar yaitu dimulai dari serangkaian surat tak bertanggal yang diterima oleh Abu Musa Al-Asy‘ari, yang saat itu menjabat sebagai gubernur Basrah di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Abu Musa mengeluhkan isinya dalam sebuah surat yang dia tujukan kepada Sang Khalifah.

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Anda, tanpa tanggal.”

Dalam riwayat lain disebutkan:

“Telah sampai kepada kami surat-surat dari Amirul Mukminin, namun kami tidak tau apa yang harus kami perbuat terhadap surat-surat itu. Kami telah membaca salah satu surat yang dikirim di bulan Sya’ban. Kami tidak tahu apakah Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”

Karena kejadian inilah kemudian Khalifah Umar bin Khattab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah; menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Kita sama-sama mengetahui ada dua sistem penanggalan yang umum dipakai oleh manusia. Yang pertama sistem Syamsyiah dengan menggunakan perhitungan menurut bumi mengelilingi matahari. Lalu Qamariyyah atau, tanggalan lunar, menggunakan perhitungan bulan mengelilingi bumi.

Terkait dengan kedua sistem perhitungan tersebut, keduanya telah digunakan oleh manusia sejak zaman yang sangat lama, bahkan sebelum Rasulullah SAW diutus. Di kalangan masyarakat Arab, cenderung lebih umum menggunakan kalender Qamariyyah yang terdiri dari 12 bulan, seperti Muharram, Safar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijah.

Walaupun di kalender Arab sudah ada nama bulan-bulannya, tetapi tetap saja yang belum ada justru angka tahunnya. Hal inilah yang membuat Abu Musa Al-Asy’ari kebingungan dengan surat yang dikirimkan Khalifah Umar.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan Khalifah Umar membuat Kalender Islam adalah,  pertama-tama, mari kita tinjau latar belakang historis dan sosial yang menegaskan pentingnya pembuatan Kalender Islam. Islam sangat sukses dalam menaklukkan wilayah-wilayah baru dan ekspansi Islam menciptakan kebutuhan mendesak akan sistem kalender yang lebih akurat dan sesuai dengan prinsip-prinsip agama.

Sistem kalender sebelumnya, yang tidak selalu sejalan dengan siklus bulan, membuat sulit penetapan momen-momen krusial dalam agama Islam. Oleh karena itu, Khalifah Umar, sebagai pemimpin yang memahami keterkaitan erat antara keberhasilan sosial-politik dan kesejahteraan rohaniah umatnya, menyadari perlunya reformasi kalender sebagai suatu keharusan.

Kedua, motivasi di balik perubahan ini menuntut pemahaman mendalam terhadap pemikiran dan visi Khalifah Umar. Keputusan untuk menciptakan Kalender Islam tidak semata-mata merupakan tindakan administratif, melainkan mencerminkan keinginan mendalam untuk menyatukan umat Islam di bawah satu sistem waktu yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Keputusan ini juga diperkuat oleh pemahaman Umar bin Khattab akan pentingnya menciptakan identitas yang kuat dan kohesif di antara komunitas Muslim yang terus berkembang.

Karena kejadian inilah kemudian Umar bin Khattab mengajak para sahabat untuk bermusyawarah menentukan kalender yang nantinya menjadi acuan penanggalan bagi kaum muslimin.

Proses perancangan kalender Islam yang melibatkan konsultasi dan keterlibatan masyarakat menjadi langkah selanjutnya yang patut disoroti. Khalifah Umar, dengan bijaksana, mengajak para ulama, ahli matematika, dan tokoh masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menyusun sistem perhitungan waktu yang baru. Hal ini tidak hanya menciptakan rasa kepemilikan di antara masyarakat, tetapi juga memastikan bahwa kalender yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai umat Islam secara menyeluruh.

Peristiwa Hijrah Nabi: Penanda Awal Kalander Islam

Pembuatan pun disetujui, masalah selanjutnya tinggal mulai dari mana awal tahun dari Kalender Islam, peristiwa apa yang pantas untuk mengawali Kalender Islam? Apakah peristiwa lahirnya Nabi Muhammad SAW? Seperti halnya kaum Nasrani yang mengawali awal tahun Kalender Masehi. Apakah mengambil ketika awal mula nabi diangkat menjadi Rasul? atau dimulai dari waktu wafatnya beliau.

Setelah melalui diskusi yang panjang, disepakatilah dalam majelis diskusi tersebut bahwa awal tahun penanggalan Kalender Islam dimulai dari ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke kota Madinah. Begitulah asal usul saat ini Kalender Islam dikenal dengan sebutan Kalender Hijriah.

Pentingnya kalender Hijriah tidak hanya terbatas pada aspek perhitungan waktu semata. Kalender ini menjadi satu-satunya sistem kalender dalam dunia Islam dan membawa dampak yang mendalam pada kehidupan sehari-hari umat Islam.

Perubahan ini, meskipun awalnya mungkin dianggap sebagai inovasi administratif, menjadi suatu simbol kohesi dan identitas dalam masyarakat Islam. Dengan adopsi kalender Hijriah, umat Islam mengukuhkan kembali kedekatan mereka dengan ajaran agama, dan kalender ini terus menjadi pijakan spiritual dan kultural hingga saat ini.

Dengan menelusuri perjalanan pembuatan kalender Hijriah pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, kita dapat menghargai betapa pengambilan keputusan ini tidak hanya mengatasi tantangan praktis dalam pengukuran waktu, tetapi juga menciptakan landasan penting untuk keberlanjutan nilai-nilai Islam dalam konteks sejarah. []


Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al Muntadar