Austronesia: Leluhur Bangsa Indonesia

 
Austronesia: Leluhur Bangsa Indonesia
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

 

Laduni.ID, Jakarta - Berikut artikel sekilas seputar bangsa Austronesia. Mulai dari pesebarannya hingga peninggalannya.

Bagian I: Pengertian dan Pesebaran Austronesia

Bahasa Melayu memiliki asal dari Austronesia. Austonesia merupakan sebutan untuk penutur bahasa bagi 400 juta manusia, dan penyebaran bahasa ini terbentang dari Madagaskar hingga pulau Paskah di ujung timur, juga pulau Formosa dari selatan hingga pulau Aotearoa di Selandia Baru.

Istilah Austronesia pertama kali diperkenalkan pada tahun 1899 oleh Wilhelm Schmidt (ahli linguistic) dari Jerman. Istilah ini muncul ketika Schmidt melakukan penelitian untuk memahami perbandingan bahasa sebagai usaha untuk mengungkap budaya di Asia Timur. Ia menemukan bahwa penyebutan induk bahasa yang ia teliti kala itu yaitu ‘Malayo-Polinesia’ yang merujuk pada satu etnis. Oleh sebab itu, Schmidt kemudian merubah istilah itu ke Austronesia. Austronesia sendiri bermakna pulau selatan di mana Schmidt meneliti. Menurutnya istilah Austronesia juga tidak menyisihkan bahasa-bahasa yang lain dalam rumpun-rumpun bahasa tersebut.

Dalam buku James J.Fox, The Poetic Power of Place, menyatakan bahwa ada lima rumpun besar yang menuturkan bahasa Austronesia:

  1. West Malaya-Polinesia,
  2. Centra Malayo-Polinesia,
  3. Eastern Malayo-Polinesia,
  4. South West Halmahera West Guine,
  5. Sub Grub Ocenia.

Penyebaran bahasa Austronesia ini memiliki dua teori, pertama yaitu ‘out of Taiwan’, teori ini dipaparkan oleh dua ahli yakni Renfrew dan Peter Bellwood yang telah melakukan penelitian di daratan China serta melakukan kajian linguistic di sana. Teori ini meyakini bahwa pada 6000-5500 BP, masyarakat Austronesia di Taiwan melakukan migrasi ke Asia Tenggara, melalui Filipina kemudian ke Sulawesi, Kalimantan, serta pulau-pulau lain di kepulauan Nusantara, serta semenanjung Malaya. Mereka membawa berbagai teknologi seperti pelayaran, tembikar slip merah, dan pertanian.

Setelah mendiami Nusantara beberapa waktu, penutur Austronesia melanjutkan migrasi mereka hingga tiba di wilayah pasifik, dan memunculkan gerabah lapita di Ocenia.

Sedangkan teori kedua adalah ‘Out of Sundaland’, teori ini didukung oleh William Sollheim, Stephen Oppenheimer, dan W. Meacham. Mereka mengajukan teori bahwa, penutur Austronesia berasal dari kepulauan Asia Tenggara. Budaya Austronesia muncuk dari evolusi budaya setempat yang dipengaruhi oleh interaksi regional.

Bagian II: Warisan/Tinggalan Austronesia

Warisan pertama dari Austronesia adalah bahasa. Bahasa dapat dikatakan berasal dari induk yang sama ketika ada kesamaan kata, makna, atau bunyi di bahasa turunannya. Dengan jumlah penutur lebih dari 400 juta orang, boleh jadi bahasa Austronesia merupakan rumpun bahasa dengan karekteristik terbanyak, yaitu terbagi ke dalam 1200 bahasa turunan. Adapun bahasa terbesar dalam rumpun ini di antaranya adalah bahasa Melayu-Indonesia, Jawa, Sunda, Tagalog di Filipina, Maori di Selandia Baru, Hawai, Fiji, dan Samoa di Samudera Pasifik.

Perbedaan antarbahasa turunan dapat terjadi dikarenakan setelah terpisah dan tersebar masing-masing penutur Austronesia mengembangkan bahasanya dan mulai meninggalkan kebiasaan lama. Seiring penyesuaian mereka dengan lingkungan dan budaya yang berbeda, setiap kelompok akhirnya menemukan nama dan penyebutan baru bagi kelompoknya masing-masing.

Selain bahasa, penutur Austronesia juga berhasil mengembangkan teknologi pelayaran. Mereka mengembangkan moda transportasi air yang terbuat dari batang kayu yang diserut pada bagian tengahnya. Kita bisa dapat mengenalinya dengan sebutan kano. Penutur Austronesia juga menambahkan cadik pada kano yang mereka miliki untuk menjaga keseimbangan.

Salah satu ciri khas dari rumpun Austronesia adalah keberhasilannya dalam bercocok tanam. Mereka berhasil mendomestifikasi tanaman pangan seperti padi, umbi-umbian, dan kacang-kacangan. Sedangkan alat-alat pertanian serta pendukung kehidupan lainnya juga dikembangkan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar mereka.

Penutur Austronesia juga meyakini adanya kekuatan yang lebih kuat dari diri mereka. Oleh karena itu, mereka membuat berbagai monument untuk menghormati roh nenek moyang. Monument-monumen yang terbuat dari batu besar merupakan ciri umum lainnya dari masyarakat Austronesia. Tradisi pendirian batu ini dapat terlihat dari banyaknya monument batu yang ditemukan di kepulauan Indonesia dan Ocenia. Jika melihat dari tradisi pendirian batu besar yang dilakukan oleh masyarakat pulau Nias, tradisi ini memberikan pandangan bahwa pendirian batu besar dikaitkan dengan kegiatan persemayaman mayat, pemujaan leluhur, dan penandaan kedudukan sosial, serta penghargaan atas jasad.

Dalam membangun tempat tinggal, para penutur Austronesia memiliki karakter hunian yang hampir serupa, yaitu berupa umpak, lantai yang ditinggikan, atap berpucak dengan bubungan atap dipanjangkan, dan ujung dinding muka keluar. Hampir seluruh hunian mereka terbuat dari kayu dan bahan organic lainnya. Arsitektur semacam itu kemungkinan ditengarai oleh penyesuaian terhadap iklim tropis yang panas dan lembab serta hujan musiman.

Bagi orang Austronesia, rumah lebih dari sekedar tempat tinggal, melainkan merupakan banguanan yang memiliki sejumlah ide penting dan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan, seperti perwujudan keramat para leluhur, sehingga pembuatan rumah umumnya mempertimbangkan orientasi tertentu yang melambangkan suatu komos.

Selain kepercayaan, mereka juga mengembangkan kesenian. Hal ini dapat diperhatikan pada gambar-gambar yang memiliki kesamaan dalam tata cara berpakaian, yaitu tradisi memakai ikat kepala (udeng). Pemakaian ikat kepala merupakan salah satu tradisi tak benda yang dimiliki oleh masyarakat Austronesia. Tradisi memakai ikat kepala hampir ditemukan hampir di setiap suku di Indonesia dan tempat lainnya di pasifik. Perbedaannya hanya terletak dari bentuk ikat kepala dan warna yang digunakan, hal ini tergantung dari kreativitas dan adaptasi yang terjadi di masing-masing wilayah.

Peninggalan lain dari Austronesia ialah system organisasi masyarakat. Penutur Austronesia dikenal sebagai masyarakat yang mengelompok. Ini menyebabkan mereka membutuhkan system masyarakat untuk saling menjaga. Jadi bilamana kita mendengar istilah ketua adat atau kepala suku, hal tersebut merupakan warisan dari penutur Austronesia. Di sisi lain, mereka juga memperkenalkan system kekerabatan seperti matrineal dan patrineal di Indonesia.

Bagian III: Konteks Austronesia sebagai leluhur bangsa Indonesia di masa kini

Jika dilihat dalam peta yang lumrah, penutur Austronesia seolah-olah melompati pulau Papua dan Australia. Kemudian apakah dua pulau tersebut bukanlah bagian dari orang Austronesia? Menurut ahli lingustik mengklarifikasi bahasa Papua sebagai rumpun bahasa tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan bangsa Austronesia. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Pada saat masyarakat penutur bahasa Austronesia datang ke kepulauan Indonesia, kawasan ini bukanlah suatu daerah yang kosong dan tidak berpenghuni.

Beberapa pulau di Indonesia telah dihuni oleh komunitas non-Austronesia yang telah eksis sejak masa sebelumnya. Bukti masyarakat non-Austronesia ini dapat dibuktikan dan dilihat sekarang sebagai masyarakat Papua dan sekitarnya. Namun yang pasti, kepulauan Indonesia sudah dihuni oleh manusia modern sejak akhir Pleistosen.

Bukti ini salah satunya dapat diperoleh dari temuan sisa tengkorak manusia modern di Song Terus, Pacitan yang diperkirakan telah berumur 60.000 BP dengan jejak penggunaan api dan aktivitas perbengkelan alat batu. Bukti terbaru bahkan menyatakan pertanggalan yang lebih tua lagi yaitu sekitar 73.000-63.000 BP pada temuan gigi manusia modern di Gua Lida Ajer Sumatera Barat (by Tanya Smith dan Rokus Awe Due).

Dalam konteks ke-Indonesia-an di masa kini, mungkinkah Austronesia dapat dijadikan dasar terbentuknya bangsa Indonesia atau nenek moyang bangsa Indonesia? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita memaknai “kesatuan Indonesia” itu sendiri. Jika Indonesia dimaknai sebagai suatu kepulauan yang berada di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta antara Benua Asia dan Australia, dan apabila “kesatuan” dimaknai sebagai kesatuan budaya yang berkembang dari banyak kebudayaan lainnya.

Maka jawabannya cukup jelas, bahwa Austronesia merupakan salah satu dari banyak budaya lainnya yang membentuk dasar serta leluhur bangsa Indonesia, baik dari perspektif bahasa, bangsa, dan budaya maupun kedekatan darah (genetika). Menjadi bagian dari Indonesia berarti menjadi bagian dari keberagamannya, budaya India, Cina, Islam, dan Eropa datang memulai keberagaman di tengah kebudayaan yang dibawa oleh para penutur bahasa Austronesia dan Papua.

Maka, kita semua perlu sepenuhnya sadar dengan identitas bangsa kita yang bhinneka dan memperlakukan siapa saja dengan setara.
 


Penulis: Kholaf Al Muntadar
Editor: Lisantono