Biografi KH. Badruzzaman, Pengasuh Pesantren Al-Falah Biru, Garut

 
Biografi KH. Badruzzaman, Pengasuh Pesantren Al-Falah Biru, Garut

Daftar Isi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Wafat
1.3  Riwayat Keluarga

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Mengembara Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Anak-anak
3.2  Murid-murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Mengasuh Pesantren
4.2  Karier Beliau
4.2  Karya Beliau

5.   Muqaddam Tarekat Tijamiyah
6.   Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Badruzzaman lahir di Biru pada tahun 1900. Beliau adalah putra kelima dari sembilan bersaudara. Bapaknya bernama KH. Raden Muhammad Faqih bin Kyai Raden Bagus Muhammad Ro’i yang lebih populer dengan panggilan "Ama Biru (Sesepuh Biru)". KH. Raden Muhammad Faqih adalah seorang ulama, yang terkenal 'alim dan wara' selalu berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah saw.

Ibunya bernama Hj. Kulsum, seorang perempuan shalihah yang tekun melaksanakan ibadah, rajin melaksanakan dzikir, membaca shalawat, dan banyak membaca al-Quran; pada usia 110 tahun ia masih bisa melihat dan membaca ayat al-Quran dengan fasih tanpa harus menggunakan alat bantu (kacamata), sampai wafatnya pada usia 115 th.

1.2 Wafat
KH. Badruzzaman wafat tahun 1971 M. dan dimakamkan di samping kanan masjid Jami Pesantren al-Falah Biru, Garut.

1.3 Riwayat Keluarga
KH. Badruzzaman menikahi wanita sholeh dan dikaruniai beberapa anak, di antaranya adalah: KH. Ismail, KH. Dadang Ridwan, KH. Dr. Eng. Muchlis, DEA, KH. Endeh Hidayat, KH. Engking, KH. Jamhur, KH. Dr. Ikyan Syibaweh, M.A., Drs Adnan, M.A.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu

KH. Badruzzaman berguru kepada banyak ulama dari berbagai pesantren. Beliau mengaji dasar-dasar ilmu agama yang berkait dengan ubudiyyah dan akhlaq dari ayahnya.

Semasa kecil KH. Badruzzaman diajari mengaji dasar-dasar ilmu agama oleh ayahnya dalam rumah tangga yang bersyi'arkan agama Islam baik yang terkait dengan ubudiyah maupun akhlaq al-karimah. Ketika memasuki usia sembilan tahun ia berguru Ilmu Tata Bahasa Arab dan Fikih kepada pamannya KH. Rd. Qurtubi (Paman dari pihak Ibu) di Pesantren Pangkalan Tarogong.

Ketika ia menjadi santri di pesantren ini terdapat dua hal menarik: pertama; apabila sedang mengaji bersama-sama kawannya ia sering kelihatan oleh mereka tertidur, mereka mengira ia sedang tertidur pulas. Namun apabila disuruh membaca atau ditanya oleh gurunya, maka beliau langsung membaca atau menjawabnya.

Kedua pada suatu malam, ketika itu di Pesantren Pangkalan para santri sedang mengaji, tiba-tiba lampu yang ada di ruangan pengajian (madrasah) padam, ketika itu semua santri yang hadir dikagetkan oleh munculnya cahaya (sinar) dari tubuh seorang santri.

Kemudian seluruh santri yang ada mengerumuninya dan temyata tubuh santri yang memancarkan cahaya tersebut adalah KH. Badruzzaman muda.
Dari pesantren ini, KH. Badruzzaman muda pindah ke pondok yang diasuh oleh kakaknya, KH. Bunyamin (dikenal dengan sebutan Syaikhuna Iming) di Ciparay Bandung. Lepas dari situ, kemudian beliau mendalami ilmu di Pondok Pesantren Cilenga Sukamanah, Singaparna, Pesantren Darul Falah Jambudipa Cianjur, dan di Pondok Pesantren Nurul Hidayah Balerante, Cirebon.

Pada tahun 1922, KH. Badruzzaman bersama kakaknya KH. Bunyamin berangkat ke Makkah, beliau mendalami Fikih dan Ushul Fikih kepada Syekh Said al-Yamani, seorang Mufti Makkah dari Madzhab Syafi'iyah. Selain itu, KH. Syaikhuna Badruzzaman berguru juga kepada sejumlah ulama di Makkah al-Mukarromah. Guru-guru beliau di sana antara lain adalah:
1. al-Salim al-Allamah Mufti Syafi’iyyah al-Syekh Muhammad Said al-Jamud al-Syafi’i.
2. al-Syekh Umar Bajunaed al-Hadromi as-Syafi’i
3. al-Syekh Ali Mufti Malikiyyah Maliki
4. al-Syekh Muhammad Jamaluddin Mufti Malikiyyah Maliki
5. al-Syekh Umar Hamdan al-Faqih Muhaddits Maliki
6. al-Syekh Muhammad Mukhtar bin Muhammad al-Thorid al-Syafi’i.

Pada tahun 1926, KH. Badruzzaman berangkat ke Mekkah untuk kedua kalinya bersama keluarga. Selanjutnya Syekh Ali Maliki mengungkapkan
keinginannya untuk memperistri salah seorang dari keluarga KH. Badruzzarnan. Beliau dinikahkan dengan Hj. Titi, bibi KH. Badruzzarnan dari pihak ayah, seorang ahli Qiraat dan hafadz al-Qur'an, ketika itu bersama-sama KH. Badruzzaman sedang bermukim di Mekkah.

Apabila pada kesempatan mukim di Makkah yang pertarna beliau mendalarni fikih dan ushul fikih Madzhab Syafi’iyah, maka pada kesempatan kedua, beliau mendalarni fikih dan ushul Fikih Madzhab Malikiyah. Ini berarti beliau mendalami fikih dan ushul fikih dua madzhab yakni Malikiyah dan Syafi’iyah.

Sedangkan pendalaman Hadis dan ‘Ulum al-Hadits demikian juga Taftir dan Ilmu Tafsir diperoleh dari Syekh Umar Hamdan, seorang Muhadditsin dari Madzhab Malikiyyah di Madinah. Beliau bermukim di Mekkah selam tujuh tahun dan beliau terkenal dengan kepiawaiannya dalam makharijul huruf, seorang murid yang belajar surat al-Fatihah kepadanya bisa memakan waktu tiga bulan.

2.2 Guru-Guru:

1. Kyai Abdul Hamid di Cileungsi
2. Kyai Emid di Sukaraja Selatan
3. Kyai Ibrohim di Sukaraja Utara
4. KH. Anhar di Nagrak Garut
5. Kyai Muhammad Ramli di Haurkuning, Leles, Garut
6. Kyai Abdul Muti di Cimangsi
7. KH. Hasyim Asy'ari di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur
8. al-Salim al-Allamah Mufti Syafi’iyyah
9. al-Syekh Muhammad Said al-Jamud al-Syafi’i
10. al-Syekh Umar Bajunaed al-Hadromi as-Syafi’i
11. al-Syekh Ali Mufti Malikiyyah Maliki
12. al-Syekh Muhammad Jamaluddin Mufti Malikiyyah Maliki
13. al-Syekh Umar Hamdan al-Faqih Muhaddits Maliki
14. al-Syekh Muhammad Mukhtar bin Muhammad al-Thorid al-Syafi’i

3. Penerus Perjuangan

3.1  Anak-anak

  1. KH. Ismail
  2. KH. Dadang Ridwan
  3. KH. Dr. Eng. Muchlis, DEA
  4. KH. Endeh Hidayat
  5. KH. Engking
  6. KH. Jamhur
  7. KH. Dr. Ikyan Syibaweh, M.A.
  8. Drs Adnan, M.A.

3.2 Murid-murid

1. Ajengan Ajun (adik KH. Syaikhuna Badruzzaman)
2. Ajengan Kholil Jauhari (berasal dari Cibolerang)
3. Ajengan Atam (berasal dari Cilemah Samarang)
4. Ajengan Emud Mahmud (berasal dari Pangkalan Tarogong)
5. Ajengan Maksum (berasal dari Bayongbong)
6. Ajengan Suja’i (berasal dari Babakan Pajagalan)
7. Ajengan Mahbub Sofwan (berasal dari Babakan Pajagalan)
8. Ajengan Uju (keponakan KH. Syaikhuna Badruzzaman, anak Ibu Amah)
9. Aceng Iming (keponakan KH. Syaikhuna Badruzzaman, menantu Ibu Amah)
10. Ajengan Abuy (berasal dari Panawuan)
11. Ajengan Mahpud (berasal dari Babakan Manggung)
12. Ajengan Harmaen (berasal dari Empang)
13. Ajengan Pariki (berasal dari Tegal, Jawa Tengah)
14. Aceng Satibi (berasal dari Biru Wetan)
15. Ajengan Makhsus (berasal dari Sambong, Samarang).

4. Perjalanan Hidup dan Dakwah

4.1 Mengasuh Pesantren
Pada tahun 1928 KH. Badruzzarnan kembali ke Indonesia, ia langsung memimpin pengembangan Pesantren al-Falah Biru bersama-sama dengan kakaknya KH. Bunyamin dan adiknya KH. Bahruddin. Sepulangnya dari Makkah yang kedua kalinya dapat diduga KH. Badruzzaman telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman yang mendalam tentang ilmu agama. Ia telah menguasai Ilmu Fikih dan Ushl Fikih dari dua madzhab yakni Madzhab Syafi’iyah dan Madzhab Malikiyah beliau juga telah mendalami hadis dan 'Ulum al-Hadis juga tafsir dan ilmu tafsir.

Melihat latar belakang intelektual KH. Badruzzarnan, tidak heran apabila dalam mengembangkan tugas keulamaannya beliau berusaha
mempersatukan segenap ummat Islam yang berbeda faham, baik dari kalangan NU, Muhammadiyah maupun Persis. Beliau sering menjadi Hakim dalam melakukan Tarjih pemecahan berbagai masalah agarna. Pada masa kepemimpinan KH. Badruzzarnan, Pondok Pesantren al-Falah Biru terkenal di seluruh Jawa Barat. Hal ini dikarenakan selain peran keulamaan yang ditampilkannya, ia juga tampil dalam bidang pendidikan sosial dan politik.

4.2 Karier Beliau
Pengasuh pesantren Al-Fatah Biru

4.3 Karya-karya Beliau
1) Bidang Tauhid:

1. Risalah Tauhid
2. Allohu Robbuna
2) Bidang Fikih:
1. Kaifiyat Shalat
2. Kaifiyat Wudhu
3. Nadhom Taqrib
4. Syarah Safinah al-Najah
3) Bidang Nahu-Shorof:
1. Risalah Ilmu Nahwu
2. Risalah Ilmu Shorof
3. Nadho Jurumiyyah
4) Bidang Tasawwuf:
1. Nadhom Ilmu Bayan
2. Siklus Sunni

5. Muqaddam Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah masuk ke Garut dikembangkan oleh KH. Badruzzaman pada tahun 1935 M. Setelah beliau diangkat menjadi muqaddam oleh Syekh Ali at-Thayyib dan Syekh Usman Dhamiri.

Beberapa sumber lisan maupun tulisan mengungkapkan bahwa pembawa dan penyebar tarekat Tijaniyah ke Garut adalah KH. Badruzzaman. Masuknya Tarekat Tijaniyah ke Garut melalui proses perjalanan panjang, tidak secara spontan. Proses perjalanan panjang itu tidak terlepas dari sikap dan tanggapan KH. Badruzzaman terhadap Tarekat Tijaniyah: dari sikap menentang, kemudian meneliti, berdebat, sampai akhirnya menerima dan mengamalkan Tarekat Tijaniyah untuk kemudian mengembangkannya.

Pada sekitar tahun 1928 M., KH. Badruzzaman mendengar bahwa telah muncul aliran thariqat baru di Indonesia, terutama di Jawa Barat yaitu Tarekat Tijaniyah. Berita yang diperolehnya menjelaskan bahwa amalan wirid tarekat ini diperoleh langsung dari Rasulullah saw. dalam keadaan jaga (yaqdzah), kedudukan pembawa thariqat ini yaitu Syekh Ahmad at-Tijani mengaku memperoleh maqam wali Khatm (maqam tertinggi kewalian Ummat Nabi Muhammad saw.), dan keistimewaan thariqat dan penganutnya.

Setelah mendengar hal itu, KH. Barduzzaman mencari sumber-sumber penyebar dan tempat penyebarannya. Kemudian KH. Badruzzaman mendatangi dan berdebat dengan para muqaddam pembawa ajaran ini, di Tasikmalaya dengan Syekh 'Ali bin 'Abdullah at-Thayyib, di Bandung dengan KH. Usman Dhamiri, dan di Cirebon dengan KH. Abbas.

Dari hasil pencarian sumber-sumber ini KH. Badruzzaman mengambil sikap menentang Tarekat Tijaniyah. Sikap penentangan KH. Badruzzaman
berlangsung beberapa lama, kemudian berubah dengan tanpa diketahui sebab-sebabnya, dari menentang jadi ragu-ragu, ragu antara menerima dan menolak. Pada masa keraguan ini KH. Badruzzaman mendapat saran dari KH. Fauzan untuk istikharah. Hasil istikharah selama tiga malam, beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, berturut-turut selama tiga kali dan menunjukkan bahwa Tarekat Tijaniyah adalah ajaran yang benar.

Namun, hasil istikharah belurn meruntuhkan keraguan KH. Badruzzaman untuk menerima Tarekat Tijaniyah. Pada tahun 1932 KH. Badruzzaman pergi ke Tanah Suci dan ia baru bisa menerima TarekaTijaniyah pada saat berziarah ke makam Rasulullah saw. di Madinah bersama Syekh 'Ali bin 'Abdullah at-Thayyib. Ziarah ke makam Rasulullah SAW menandai keluluhan hati. Setelah berziarah ke makarn Rasulullah SAW, KH. Badruzzaman menghadap dan meminta talqin dan ijazah Tarekat Tijaniyah kepada Syekh 'Ali bin 'Abdullah at-Thayyib.

Pada saat pengijazahan ini, KH. Badruzzaman diberi amanat oleh Syekh 'Ali bin 'Abdullah at-Thayyib. "Karena Anda dahulu menentang
Tarekat Tijaniyah, sekarang kewajiban Anda untuk menyebarkan Tarekat Tijaniyah ini." Amanat Syekh Ali bin Abdullah at-Thayyib ini menandai bai’at-nya terhadap KH. Badruzzaman dan pengangkatannya sebagai muqaddam. Sedangkan di Indonesia beliau menerima ijazah dari KH. Usman Dhamiri.

6. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs:

  1. https://pustaka.unpad.ac.id
  2. Infogarut

 

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya