Desakralisasi Kitab Suci; Wacana dan Problem Intelektual

 
Desakralisasi Kitab Suci; Wacana dan Problem Intelektual

LADUNI.ID - Semakin hari pesona bangsa ini makin eksotik. Eksotisme itu tidak hanya dari alam dan manusianya saja, tapi juga dari dinamika nalar masyarakatnya. Dua minggu yang lalu, ada konde, adzan dan kidung. Minggu ini ada fiksi, fiktif dan kitab suci. Sejumlah wacana tersebut telah membuat masyarakat tidak sekedar “ribut” dengan kontradiksi antara pro dan kontra. Namun di sisi yang lain terdapat kalangan yang berhusnudzan bahwa tanggapan “keributan” tersebut adalah bagian dari proses belajar dan pendewasaan.

Argumentasi rasional antar kelompok yang terbelah menjadi pro dan kontra diakui sebagai bagian dari indikator meningkatnya rasionalitas. Sesekali pertunjukan rasionalitas itu dicontohkan oleh para akademisi guna memantik masyarakat agar dapat meniru membangun argumentasi rasional. Rocky Gerung berhasil tampil dengan mempesona bersama argumen logisnya mengenai geneologi literal dalam term fiksi dan fiktif. Pesona argumentasi Rocky Gerung tidak hanya terlihat pada kemampuan menyampaikan makna distingsi antara fiksi dan fiktif saja, namun makin mempesona begitu sampai pada peletakan dan penggunaan kata fiksi yang dihubungkan dengan kitab suci.

Sayang sekali penulis tidak tertarik untuk masuk pada pertikaian pro dan kotra mengenai lontaran Rocky Gerung yang menunjuk kitab suci adalah fiksi. Bahkan untuk sekedar menengahi antar dua belah pihak (pro-kontra) yang sedang “bertikai” adu argumen juga tidak ada ketertarikan. Lontaran tersebut bukan hal yang fundamental, apalagi Rocky Gerung sendiri masih menyimpan keraguan yang sangat mendasar ketika diminta untuk menyampaikan secara vulgar mengenai unsur fiksi pada seluruh kitab suci umat beragama, atau pada bagian-bagiannya saja. Permintaan itu ditolaknya, sekaligus menandakan adanya unsur kerapuhan pada argumennya.

Jadi yang menarik dan eksotik menurut hemat penulis tidak terdapat pada penampilan Rocky Gerung, tapi ada pada transmisi nalar publik dari wacana yang satu pada wacana yang lain dalam waktu yang cukup singkat. Disitulah pagelaran pembelaan dan penolakan terus membanjiri arus informasi publik, baik virtual maupun faktual. Kenyataan tersebut terus menggiring nalar dialektis publik yang kurang sehat pada situasi yang bebal. Mereka yang pro terjebak pada kultus, berupa pembenaran sepihak (truth claim)tanpa mau mengambil sedikitpun dari mereka yang kontra. Sebaliknya, mereka yang kontra juga membabi buta menyalahkan tanpa membuka diri adanya kemungkinan kebenaran di dalamnya.

Kedua kelompok tersebut, baik pro mupun kontra telah melakukan lompatan yang terlalu jauh atau semacam adanya kerenggangan intellectual space yang cukup berjarak antara wacana dan penikmat wacana. Mereka hanya terdesak oleh pesona panggung wacana, bukan karena mereka mampu menelaah wacana itu sendiri. Inilah yang penulis maksud dengan kerenggangan intelektual (intellectual gap space).

Jika mau merujuk pada Islam, wacana desakralisasi kitab suci bukanlah hal yang baru, namun telah muncul di awal-awal Islam tumbuh. Surat –Al-Furqan ayat 4-6 terdapat tuduhan bahwa al-Quran adalah perkataan dusta, kemudian pada surat al-Anfal menyebutkan adanya tuduhan bahwa al-Quran hanyalah berisi dongeng-dongeng di masa lalu. Upaya desakraliasasi tersebut disampaikan cukup vulgar dengan posisi dan status yang jelas dari si penyampai. Dalam hal ini, desakralisasi tersebut merupakan tanggapan penolakan keimanan terhadap al-Quran langsung di masa Rasulullah.

Pasca Rasulullah wafat, wacana desakralisasi juga muncul dengan perdebatan yang sangat mendalam antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah mengenai status al-Qur’an apakah bagian dari makhluk atau tidak. Wacana ini juga vulgar, dengan menunjuk langsung Al-Quran sebagai obyek perdebatan. Perdebatan tersebut tidak diorientasikan pada penerimaan ataupun penolakan keimanan terhadap Al-Quran, justru perdebatan sengit tersebut sebagai upaya dialektis perbincangan ketuhanan umat Islam yang bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai Tauhid.

Wacana desakralisasi juga muncul dari kalangan akademisi. Nasr Hamid Abu Zayd dalam Mafhum al-Nas menyatakan bahwa al-Quran adalah produk budaya. Pernyataan ini juga disampaikan secara vulgar dengan menunjuk al-Quran sebagai obyek perbincangan. Keberanian Nasr Hamid Abu Zayd adalah sikap akademis dan dalam ruang yang dapat dipertenggungjawabkan. Apa yang disampaikan olehnya hanyalah pernyataan metodis agar kemudian umat Islam tidak canggung untuk mengungkap nilai terdalam dari Al-Quran sebagai hudan lil al-nas.

Tiga tinjauan histors mengenai desakralisasi di atas telah menunjukkan dua pola desakralisasi. Pertama pola desakralisasi totalistik, yang artinya tidak memungkinkan terjadi dialog lebih lanjut, namun cukup dengan menginsafi pada pilihan, apakah mengimani atau mengingkari. Kemudian yang kedua adalah pola desakralisasi dialektis-dinamis. Pola ini merupakan pembuka perbincangan yang positif bagi mereka yang mampu, karena orientasinya adalah penguatan keimanan (teologis) dan penguraian nilai-nilai kandungan al-Quran untuk kehidupan (maslahah).

Jadi perdebatan seputar desakralisasi Al-Quran hanya mungkin terjadi jika titik tolak, obyek dan tujuannya jelas, apakah keimanan ataukah maslahah. Kreteria tersebut setidaknya menjadi acuan untuk merapatkan intellectual space relasi wacana desakralisasi kitab suci dan penikmat wacana.

Untuk itu, term fiksi, fiktif dan relasinya dengan kitab suci serta dalam konteks tema “Jokowi Prabowo Berbalas Pantun” dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) (10/4/2018) sama sekali tidak memenuhi kreteria perbincangan desakralisasi kitab suci. Ocehan tersebut tidak lebih dari sekedar tontonan yang hanya memperlihatkan ratio as instrumental bukan sebagai rational society.   

Singkatnya, penjelasan Rocky Gerung hanya menpertontonkan pesona akal (ratio as instrumental) namun sama sekali tidak mencerdaskan dan memberi manfaat apapun kepada publik (rational society)Ratio as instrumental akan menjebak masyarakat pada argumentasi raional tanpa ujung, sementara rational society adalah ciri dari masyarakat yang terbuka pada kemunusiaan, keadilan dan perdamaian.

Semestinya pada pilihan kedua itulah yang harus menjadi arah perbincangan akademisi, bukan sekedar pamer logika dan narasi. Namun demikian, ratio as instrumental memang lebih memliki magnet dan sensasi, mungkin disinilah kita juga harus belajar  menghargai kedunguan (intellectual gap space) tanpa terjebak pada kedunguan yang serupa.

 

Oleh: Ach Tijani

Anggota Lakpesdam PCNU Kota Pontianak