Cinta Baginda Nabi Muhammad SAW pada Negerinya dalam Perspektif Islam Nusantara

 
Cinta Baginda Nabi Muhammad SAW pada Negerinya dalam Perspektif Islam Nusantara
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Cinta terhadap negeri adalah hal natural yang terpatrikan dalam tiap makhluk hidup. Tidak saja ada dalam diri manusia, akan tetapi juga dalam hewan-hewan lainnya. Berbagai makhluk hidup melakukan perjalanan jauh karena tuntutan hidupnya, namun pada ujungnya mereka akan kembali jua ke tempatnya semula. Sejumlah makhluk hidup bahkan akan segera sirna jika dijauhkan dari habitatnya.

Manusia tanpa negeri seperti kehilangan sejarah. Negeri adalah tempat dia lahir, dan tempat dia tertatih-tahih belajar kehidupan, mengenal alam raya, mengisi perut, norma, spiritual dan intelektual. Ia "menggerayangi" itu semua dalam sebuh tanah negeri. Tanah air adalah sejarahnya dan media kehidupannya.

Nabi kita, Sayyidina Muhammad SAW memberi contoh betapa mulianya mencintai negeri. Di pintu Makkah, saat dipaksa keluar darinya, beliau menyampaikan salam pamitan kepadanya,

“Sungguh, engkau adalah negeri teramat indah. Betapa engkau adalah negeri tercinta! Jika tak dipakasa keluar oleh kaumku, sungguh aku tak akan menempati bumi lain darimu.”

Nabi Muhammad SAW adalah guru kemanusiaan. Dalam soal mencintai negeri, beliau tak ragu mengajarkan betapa cinta terhadap negeri adalah fitrah manusia. Beliau tak menyampaikan pamitan yang menyayat ini jika tak benar-benar mengetahui bahwa mencintai negeri adalah bagian dari garis kehidupan yang diridhoi oleh Allah SWT. Atas hal itu, diceritakan bahwa Allah SWT merespons baik soal tautan hatinya, bahwa suatu saat dipastikan akan bisa kembali jua. Di Juhfah, tempat yang tak jauh dari Makkah, Allah berfirman kepadanya,

إِنَّ ٱلَّذِى فَرَضَ عَلَيْكَ ٱلْقُرْءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٍ 

"Sesungguhnya (Allah) yang mewajibkan engkau (Muhammad) untuk (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur'an (di antaranya hijrah ke Madinah) benar-benar akan mengembalikanmu ke tempat kembali (Makkah)."

Sampailah Nabi Muhammad SAW di Madinah. Beliau mulai merasa bahwa Madinah adalah negerinya juga. Beliau melihat sekelilingnya. Sahabat-sahabatnya sesama pehijrah mulia juga bergeliat menganggap Madinah sebagai tanah air. Madinah tak boleh dipandang nomor dua. Tak benar, jika kenyataannya tinggal di Madinah akan tetapi hati dan jiwa masih menganggapnya negeri kedua. Beliau pun berdoa:

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ

"Duh Gusti Allah, cintakanlah Madinah kepada kami sebagaimana cinta kami kepada Makkah, atau bahkan melebihinya." (HR. Bukhari)

اللَّهُمَّ اجْعَلْ بالمَدِينَةِ ضِعْفَيْ ما جَعَلْتَ بمَكَّةَ مِنَ البَرَكَةِ

"Duh Gusti Allah, ciptakanlah di Madinah dua kali lipat berkah yang ada di Makkah." (HR. Bukhari)

Nabi kita benar-benar memberi contoh, bahwa mencintai negeri bagian dari risalah kemanusiaan. Oleh sebab itu, ulama-ulama kita mengatakan “hubbul wathan minal iman,” cinta negeri adalah bagian dari iman. Cinta terhadap negeri tak bolah dipertentangkan dengan keimanan, karena ia adalah bagian darinya. Petaka akan segera muncul saat keduanya mulai diberi garis jarak.

Inilah salah satu latar belakang kenapa muncul istilah Islam Nusantara. Islam dan Nusantara sudah seharusnya harmonis dan selalu diharmoniskan.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Abdul Ghofur Maimoen 

Editor: Hakim