Setiap Hari Terdapat Enam Konten Hoaks Sepanjang Bulan Januari

 
Setiap Hari Terdapat Enam Konten Hoaks Sepanjang Bulan Januari

LADUNI.id, Jakarta - Kementerian Informasi dan Informatika RI kembali merilis rekapitulasi bulanan berita hoaks bulan Januari 2019. Dalam laporannya, terdapat 175 konten hoaks dan informasi tidak benar sepanjang awal tahun, atau jika dirata-rata, setara dengan enam konten hoaks setiap hari. 

Jumlah konten berbeda setiap hari, mulai dari dua hingga 11 konten yang ditemukan. Platformnya bermacam-macam, mulai aplikasi chatting, media sosial dan media online. Jika dilihat dari jenisnya, terdapat berbagai jenis konten hoaks yang diproduksi dan disebarkan, antara lain, jenis politik, kesehatan, bencana dan konten lain. 

Angka ini lebih banyak dari tahun sebelumnya. Dalam laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), tahun 2018 terdapat rata-rata tiga hingga empat konten hoaks setiap hari. 

Literasi digital diperlukan
 
Pengamat Medsos Rulli Nasrullah mengatakan dalam kondisi demikian, masyarakat perlu dibekali dengan literasi digital. Ini merupakan titik terpenting yang harus diberikan para generasi milenial untuk menjaga kondisi lingkungan medsos. Literasi digital tidak sekadar menunjukkan bahwa setiap orang bisa menggunakan medsos, namun juga bertujuan agar cakap dalam memanfaatkan teknologi dan perangkatnya  juga.
 
“Literasi digital juga mensyaratkan setiap pengguna untuk bertanggung jawab terhadap konten di medsos itu sendiri. Karena pada kenyataannya, misalkan walau medsos itu akunnya bersifat pribadi dalam pengertian dibangun dan dimiliki oleh pengguna itu sendiri, namun konten yang diunggah pada dasarnya bersifat mass-self communication,” ujarnya di Jakarta.
 
Hal itu menurutnya, setiap orang yang terhubung dengan akun tersebut dan dalam jaringannya pada dasarnya bisa mengakses konten tersebut. Karena itu, konten dan perilaku dalam dunia digital tidak bisa serta-merta diklaim sebagai aktivitas pribadi dan berada di ruang privasi semata.
 
“Apalagi secara nama juga disebut sebagai ‘media sosial’, sehingga media yang digunakan seperti twitter atau facebook merupakan media untuk berkehidupan sosial dalam ranah online. Ini menunjukkan ada nilai-nilai dalam masyarakat offline yang juga harus dibawa dalam kehidupan masyarakat online; walau dalam beberapa kasus banyak bermunculan nilai-nilai dan etika yang baru terkait budaya digital itu sendiri,” ujarnya menjelaskan.
 
Kendati begitu, ia mengakui ada upaya yang sudah dilakukan oleh pemerintah melalui Kemendikbud dan Kemenkominfo dalam mensosialisasikan pentingnya literasi digital. Hal ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong para generasi milenial ini untuk mau melakukan siskamling medsos atau menjadi hansip online dan melaporkan akun dan konten negatif.
 
Secara garis besar, ranah keluarga dan sekolah menjadi modal dasar dalam penerapan dan munculnya rasa tanggung jawab untuk memahami literasi digital untuk mewujudkan iklim medsos yang ramah dan bertanggung jawab. Dengan demikian, penyebaran literasi digital bisa semakin diterapkan di tengah masyarakat.
 
“Tanggung jawab bersama inilah, yang dimulai dari keluarga dan sekolah, Dan tentunya menjadi tanggung jawab setiap warga negara Indonesia untuk menciptakan kedamaian di medsos,” kata pria yang juga Dosen Program Studi Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam di fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini

Buntut intoleransi

Sementara itu, Yenny Wahid CO-Founder Wahid Foundation menyatakan adanya hubungan antara konten hoaks, ujaran kebencian dan intoleransi dalam masyarakat. Menurutnya, penyebaran informasi palsu dan fitnah berbasis agama keyakinan, ujaran kebencian adalah dampak buruk dari sifat intoleran. Keduanya berdiri sejajar dengan kasus serupa seperti  penolakan rumah ibadah dan simbol-simbol agama, termasuk kasus-kasus radikalisme dengan kekerasan.

Hal semacam ini, lanjutnya, tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terdapat di tempat lain. “Intoleransi seringkali lahir dari keberhasilan praktik-praktik pelintiran kebencian (hate spin) dan disinformasi. Ini bukan hanya gejala khas Indonesia, sebagian negara-negara lain mengalami hal serupa,” kata Yenny dalam keterangan persnya. (Rozali/NU Online)