Jangan Anti Leluhur, Belajar Ilmu Nusantara dalam Mengatur Negara

 
Jangan Anti Leluhur, Belajar Ilmu Nusantara dalam Mengatur Negara

LADUNI.id, Jakarta - Indonesia saat ini terlalu berkiblat ke Barat. Perdebatan amandemen UUD 45  yang boleh berbicara itu adalah sarjana-sarjana hukum yang alumni Eropa. Mereka merujuk revolusi Perancis atau revolusi Amerika.

"Indonesia itu punya sejarah ratusan kesultanan yang usianya sudah ratusan tahun," kata Budayawan Kiai Jadul Maula saat mengisi Tadarus Islam Nusantara, Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 5, Pegangsaan, Jakarta, Jumat (8/2).

Kiai Jadul merasa aneh. Pasalnya, kesultanan yang berusia ratusan tahun itu seakan tak dianggap, seolah tanpa ilmu dalam mengatur tatanan sosial dan kenegaraannya.

"Loh apakah selama ratusan tahun kesultanan kerajaan yang ada di Nusantara itu gak pake ilmu ngaturnya? gak pake tatanan? gak punya sistem? sehingga kita tidak punya pengalaman sekali mengatur negara?" katanya.

Jika demikian adanya, bangsa Indonesia, menurutnya, bangsa paling aneh karena paling anti kepada leluhurnya sendiri. Sementara bangsa lain mendukung kesinambungan dari leluhurnya.

"Kita membuang dan berkiblat ke Barat," kata Pengasuh Pesantren Kaliopak, Yogyakarta itu.

Kiai Jadul menjelaskan bahwa Sultan La Elangi memperbarui tatanan sosial Kesultanan Buton dengan menetapkan konstitusi Martabat Tujuh. "Tahun 1613 merumuskan Undang-Undang Murtabath Tujuh konstitusi," katanya.

Hal ini menurutnya menarik mengingat konsideran pertama Kesultanan Buton adalah adagium man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya. Sementara konsideran keduanya adalah Pobinci bincikikuli, siapa dicubit sakit, jangan mencubit.

"Dua hal ini prinsip ketuhanan yang dikenali melalui pengenalan diri dan soal kemanusiaan," pungkasnya.  

Mendengar pemaparan Kiai Jadul demikian, Gus Ulil mengusulkan pentingnya penulisan Fiqih Siyasah (Fiqih Politik) Islam Nusantara. Pasalnya, Kesultanan Buton dalam pandangannya terlihat egaliter, tidak otoriter atau istifdadiyah mengutip Ibnu Khaldun.

"Mas Jadul mencoba merekonstruksi kira-kira fiqih siyasah yang berasal secara induktif dari sejarah Nusantara. Ini buat saya menarik sekali," kata dosen Pascasarjana Unusia itu. (Syakir/NU Online)