Pandangan Ulama tentang Asuransi Syariah

 
Pandangan Ulama tentang Asuransi Syariah

LADUNI.ID - Menurut Dewan Syariah Nasional, asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan saling tolong menolong di antara sejumlah orang, di mana hal ini dilakukan melalui investasi dalam bentuk aset (tabarru) yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.

Dalam asuransi syariah, diberlakukan sebuah sistem, di mana para peserta akan menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim jika ada peserta yang mengalami musibah. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa, di dalam asuransi syariah, peranan dari perusahaan asuransi hanyalah sebatas pengelolaan operasional dan investasi dari sejumlah dana yang diterima saja.

Tujuan asuransi sangatlah mulia, karena bertujuan untuk tolong-menolong dalam kebaikan. Namun persoalan yang dipertikaikan lebih lanjut oleh para ulama adalah bagaimana instrumen yang akan mewujudkan niat baik dari asuransi tersebut, baik itu bentuk akad yang melandasinya, sistem pengelolaan dana, bentuk manajemen, dan lain sebagainya.

A. Pandangan Ulama’ yang Mengharamkan Asuransi

Dalam pemilahan pendapat seperti ini dilakukan agar dapat menggambarkan secara tegas mana Ulama yang mengharamkan adanya Asuransi. Pendapat yang pertama yaitu segala asuransi dalam segala aspeknya adalah haram, termasuk Asuransi Jiwa, Asuransi Sosial, Maupun Asuransi Komersial. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan Ulama seperti Sayid Sabiq (pengarang Fiqh as-Sunnah), Abdullah Al- Qalqili (Mufti Yordan), Muhammad Yusuf Qordawi (pengarang al-Halal wa al-Haram fi al-Islam), dan Muhammad Bakhit Al-Muth’i (Mufti Mesir). Menurut pandangan kelompok ini asuransi diharamkan karena beberapa alasannya diantara lain adalah:

  1. Asuransi mengandung unsur perjudian (Maisyir) yang dilarang dalam Islam.
  2. Asuransi mengandung ketidak pastian (Gharar).
  3. Asuransi mengandung unsur riba/ranten yang secara jelas dan tegas dlarang dalam Islam.
  4. Asuransi bersifat eksploitasi karena jika peserta tidak sanggup melanjutkan pembayaran premi sesuai dengan perjanjian maka premi hangus/ hilang atau dikurangi secara tidak adil (peserta dizalimi).
  5. Premi-premi yang sudah dibayarkan seringkali akan diputar dalam praktik-praktik riba.
  6. Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang yang bersifat tidak tunai (akad sharf).
  7. Pada Asuransi Jiwa menjadikan hidup/mati seseorang sebagai obyek bisnis, yang berarti mendahului takdir Allah (Anshori, 2008:10).

Selain itu juga, menurut pandangan Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 3, menyatakan bahwa asuransi tidak termasuk Mudharabah yang shahih, melainkan mudharabah yang fasid yang tentu hukumnya secara syarak bertentangan dengan hukum akad asuransi, ditinjau dari segi undang-undang. Hal ini terjadi karena tidak mungkin dapat dikatakan bahwa perusahaan (syirkah) menyumbang orang yang mengasuransikan dengan pembayaran. Akad asuransi ditinjau dari segi aturan mainnya adalah akad perolehan berdasarkan perkiraan (Anshori, 2008:11).

Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i, Mufti Mesir, ketika ia diminta oleh rezim Ottoman untuk memberikan pendapatnya mengenai persoalan ini. Surat yang berisikan jawabannya dicetak dan diterbitkan oleh Nile Press di Mesir pada tahun 1324 H (1906 M). Menurut dia, uang jaminan untuk harta dimungkinkan dalam salah satu dari dua hal: dalam kasus kafalah (pemberian uang jaminan) atau dalam kasus kerusakan pada harta. Syarat-syarat pada kafalah tidak berlaku bagi kontrak asuransi, karena kerusakan pada harta yang diasuransikan bukan disebabkan oleh perusahaan asuransi. Tidak ada alasan untuk membebankan pertanggungjawaban atas perusahaan asuransi jika harta yang diasuransikan hilang, terutama karena sebab-sebab pertanggungjawabannya tidak cukup menurut hukum Islam. Maka, ia mengambil argumen yang diajukan oleh Ibn ‘Abidin dan berpendapat bahwa kontrak asuransi tidak berlaku, karena perusahaan asuransi atau pengusaha asuransi asing memikul sendiri hal yang tidak mengikatnya menurut hukum Islam. (Muslehuddin, 1999:152)

Mahdi Hasan, Mufti India, melarang praktik asuransi dikarenakan:

  1. Asuransi tak lain adalah riba berdasarkan kenyataan bahwa tidak ada kesetaraan antara dua pihak yang terlibat, padahal kesetaraan demikian wajib adanya.
  2. Asuransi juga adalah perjudian, karena ada penggantungan kepemilikan pada munculnya risiko.
  3. Asuransi adalah pertolongan dalam dosa, arena perusahaan asuransi, meskipun milik negara, toh merupakan institusi yang mengadakan transaksi dengan riba.
  4. Dalam asuransi jiwa juga ada unsur penyuapan (risywah), karena kompensasi di dalamnya adalah untuk sesuatu yang tidak dapat dinilai. (Ali, 2004:143)

Hasan Ali dalam bukunya menuliskan, bahwa alasan utama pengharaman Asuransi, menurut Masjfuk Zuhdi, yaitu premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam prektik riba. (2004:142)

B. Pandangan Ulama’ yang Menghalalkan Asuransi

Sedangkan Ulama yang menyatakan bahwa asuransi hukumnya halal atau diperbolehkan dalam Islam dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf (pengarang Ilmu Ushul al-Fiqh), Mustafa Ahmad Zarqa (Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syiria), Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Hukum Islam di Universitas Cairo Mesir), Muhammad Nejatullah Siddiq, dan Abdurahman Isa (pengarang kitab al-Muamallah al-Haditsah wa Ahkamuha). Adupun beberapa alasan yang mereka kemukakan yaitu:

  1. Tidak ada nash (al-Qur’an dan Sunnah) yang secara jelas dan tegas melarang kegiatan asuransi.
  2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak baik penanggung maupun tertanggung.
  3. Saling menguntungkan kedua belah pihak
  4. Asuransi dapat berguna bagi kepentingan umum, sebab premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. Atau dengan kata lain lemaslahatan dari usaha asuransi lebih besar dari pada mudharatnya.
  5. Asuransi dikelola berdasarkan akad mudharabah (bagi hasil).
  6. Asuransi termasuk kategori koperasi (Syirkah Taawuniyah), usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong-menolong.
  7. Asuransi dianologikan (diqiyaskan) dengan dana pensiunan seperi Taspen. (Anshori, 2008:11-12)

 

Sedangkan menurut pendapat Ormas Islam, Nahdhatul Ulama memutuskan bahwa Asuransi Jiwa hukumnya haram kecuali memenuhi syarat-syarat berikut: (1) Asuransi tersebut harus mengandung tabungan (saving). (2) Peserta yang ikut program asuransi harus berniat menabung. (3) Pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam ( bebas dari gharar, maisir dan riba). (4) Apabila peserta mengundurkan diri sebelum jatuh tempo dana yang telah dibayarkan kepada pihak asuransi tidak hangus.

Lain halnya untuk Asuransi kerugian hal itu menurut NU diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Apabila asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang menjadi agunan bank.
  2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait dengan ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang ekspor dan impor (Anwar, 2007:27-28).

Muhammad Yusuf Musa berpendapat, Asuransi dalam segala jenisnya adalah contoh kerjasama berguna bagi masyarakat. Asuransi jiwa bermanfaat bagi peserta asuransi dan juga bagi perusahaan asuransi. Karenanya, tida ada ruginya menurut hukum Islam jika ia bebas dari bunga, yakni peserta asuransi hanya mengambil yang sudah dibayarnya tanpa tambahan apa pun jika ia hidup lebih lama dari masa asuransi, dan jika dia mati maka para ahli warisnya mendapat kompensasi. Ini sah menurut hukm Islam. (Muslehuddin, 1999:154)

C. Pendapat Ulama’ yang menghalalkan Asuransi Tertentu

Pandangan yang menyatakan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan. Pendapat yang ketiga ini antara lain dianut oleh Muhammad Abu Zahra (Guru besar hukum islam pada Universitas Cairo, Mesir). Alasan bahwa asuransi yang bersifat sosial diperbolehkan karena jenis asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam islam, sedangkan asuransi yang bersifat komersial tidak diperbolehkan karena mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam islam.(Anshori, 2008:12). Beliau juga menyatakan bahwa asuransi kendaraan untuk perbaikannya tidak dilarang. . . tetapi asuransi jiwa adalah semacam perjudian, karena tidak ada pembenaran bagi seseorang, yang memberikan hanya sebagian dari suatu jumlah, untuk berhak mendapat seluruhnya jikalau ia mati dan mengambil apa yang telah dibayarkannya disertai keuntungan jikalau ia hidup lebih lama dari masa asuransi. Ini tidak lain adalah riba. (Muslehuddin, 1999: 153)

Berdasarkan dari organisasi islam, misalnya PP Persatuan Islam (Persisi), melalui Dewan Hisbah mengharamkan praktik asuransi konvensional. Demikian pula Muhammadiyah, yang dalam muktamarnya di malang tahun 1987 juga mengharamkan Asuransi yang mengandung unsur Gharar dan judi kecuali Asuransi yang diselenggarakan oleh pemerintah seperti Taspen, Astek dan Jasa Raharja dengan pertimbangan bahwa didalamnya mengandung kemaslahatan yang dibenarkan secara islam (Anshori, 2008:13)

D. Pandangan yang Menyatakan Bahwa Asuransi Adalah Subhat

Alasannya yaitu karena tidak ada dalil yang menyatakan secara tegas bahwa asuransi adalah haram, begitu juga tidak ada dalil yang secara tegas menyatakan bahwa asuransi itu diperbolehkan. Dengan demikian maka, dalam Islam apabila berhadapan dengan hukum yang sifatya subhat adalah lebih baik ditinggalkan. (Anshori, 2008:12)

E. Pandangan DSN-MUI tentang Asuransi

Berdasarka Fatwa DSN-MUI No: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum asuransi syariah sebagai berikut:

  1. Firman allah tentang perintah mempersipkan hari depan : Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada allah. Sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Hasyr(59) ayat 18).
  2. Firman Allah tentang perintah saling tolong-menolong dalam perbuatan positif, antara lain: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada allah, sesungguhnya allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah (5) ayat 2).

Sedangkan dengan kaidah fikih menjelaskan atau menegaskan meliputi : (1) pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. (2) segala mudharat harusdihindarkan sedapat meungkin. (3) segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.

KESIMPULAN

Pada dasarnya pendapat para ulama tentang masalah asuransi terbagi menjadi empat pendapat. Pendapat yang pertama, yaitu yang melarang atau mengharamkan asuransi, pendapat yang kedua, yaitu membolehkan asuransi serta yang ketiga, yaitu memboleh kan asuransi tertentu, dan keempat yaitu memandang bahwa asuransi adalah syubhat.

Tetapi dapat di ambil kesimpulan bahwa:

  1. Asuransi dengan segla bentukny diperbolehkan (seperti pendapat Mustafa Ahmad az-Zarqa), jika terbatas dari unsur riba, maisir dan gharar, seperti yang emnjadi dasar pemikiran kelompok ulama yang mengharamkan asuransi selama masih ada unsur ribanya.
  2. Jika terjadi kecelakaan, bantuan hanya diberikan kepada mereka yang terikat oleh kontrak ini dan para pemegang saham perusahaan.
  3. Jumlah asli ditambah dengan keuntungan diberikan kepada setiap pemegang saham yang akan dianggap sebagai hartanya, sedangkan dana cadangan akan tetap sebagai wakaf (tabarru’).
  4. Perlu adanya Dewan Pengawas Syari’ah Independen yang fungsinya betul-betul mengontrol operasional sebuah perusahaan asuransi, apakah akad dan produk-produk yang dikeluarkan perusahaan asuransi itu sudah sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam.

Demikian lah penjelasan kami mengenai pendangan para uama tentang asuransi, kami yakin makalah ini belumlah sempurna dan dapat menjawab segala pertanyaan yang ada dibenak pembaca. Tetapi setidaknya dapat menambah wawasan pembaca dalam muamalah, dan asuransi khususnya.

Wallahu ‘alam