Makna dan Keistimewaan Bulan Rajab

 
Makna dan Keistimewaan Bulan Rajab
Sumber Gambar: laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta - Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Kita memuji-Nya dan memohon pertolongan kepada-Nya dan meminta ampunan kepada-Nya, serta kita berlindung kepada Allah dari segala keburukan diri kita, dan kejelekan amal perbuatan kita. Siapa saja yang diberi petunjuk oleh Allah tidak ada siapa pun yang dapat menyesatkan dia, dan sebaliknya siapa yang disesatkan oleh Allah, tidak ada siapapun yang dapat memberi petunjuk kepadanya. Shalawat dan salam kita kirimkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta para keluarga dan shahabat Beliau.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan, pada bulan haram ini (Rajab), seorang hamba harus tetap mewaspadai syaitan yang akan selalu melancarkan tipu-daya, godaan dan bisikan-bisikan agar manusia santai saja dalam menyongsong bulan mulia ini. Syaitan akan senantiasa antusias tanpa putus asa untuk menyesatkan anak-anak Adam, memalingkan mereka dari agama Allah SWT memerintahkan mereka melakukan perbuatan keji dan  mungkar, mengesankan maksiat dengan gambaran yang indah dan melontarkan rasa benci dalam hati mereka terhadap amal ketaatan.

Demikianlah makar syaitan. Bila melihat seorang hamba menyukai amal shaleh, syaitan akan memberatkan hatinya untuk beramal. Jika syaitan tidak berhasil menghalang-halanginya dari amal shaleh, syaitan akan menyimpangkan hamba itu untuk berbuat berlebihan, melontarkan bisikan  dan keragu-raguan dalam hatinya, sehingga melanggar ketentuan-ketentuan dalam ibadah. Seseorang yang telah terkena bisikan syaitan dan terjerat oleh gadaannya, akan berat dan bermalas-malasan untuk berbuat amal shaleh, dan sebaliknya, akan mudah menerjang maksiat-maksiat.

Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menyimpulkan, “ Sesungguhnya rasa malas untuk beramal dan meremehkan maksiat yang kalian dapati dalam jiwa kalian, merupakan pengaruh dari bisikan syaitan dan godaannya. Maka, bila kalian mendapatinya, mohonlah perlindungan kepada Allah SWT darinya. Di situlah akan engkau dapatkan kesembuhan dan jalan keluar dari godaannya.
Allah SWT berfirman:

وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

اِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا اِذَا مَسَّهُمْ طٰۤىِٕفٌ مِّنَ الشَّيْطٰنِ تَذَكَّرُوْا فَاِذَا هُمْ مُّبْصِرُوْنَۚ

Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan maka berlindunglah kepada Allah [590]. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [590] Maksudnya: membaca Audzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim. (QS. A’raf 7:200)

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.(QS. A’raf 7:201)

Lantas, apa Makna Bulan Rajab? Dan bagaimana keistimewaannya?

Rajab biasa juga disebut “Al-Ashabb” (الأصب) yang berarti “yang mengucur” atau “menetes”.
Dijuluki demikian karena derasnya tetesan kebaikan pada bulan ini. Bulan Rajab bisa juga dikenal dengan sebutan “Al-Ashamm” (الأصم) atau “yang tuli”, karena tidak terdengar gemerincing senjata pasukan perang pada bulan ini.

Selain itu, dalam Kitab I’anah Al-Thalibin menjelaskan bahwa “Rajab" merupakan derivasi dari kata “tarjib” yang berarti mengagungkan atau memuliakan. Adapun julukan lain untuk Rajab yaitu “Rajam” (رجم) yang berarti melempar. Dinamakan demikian karena musuh dan syaitan-syaitan pada bulan ini dikutuk dan dilempari sehingga mereka tidak jadi menyakiti para wali dan orang-orang shalih.

Allah SWT memasukkan bulan Rajab sebagai salah satu bulan haram alias bulan yang dimuliakan.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ

Artinya: Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. (QS At-Taubah 9:36)

Bulan haram adalah empat bulan mulia di luar Ramadhan, yakni Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.  Disebut “bulan haram” (الأشهر الحرم) karena pada bulan-bulan tersebut umat Islam dilarang mengadakan peperangan.

Memang beberapa hadis dla’if, bahkan palsu, yang menjelaskan secara eksplisit tentang gambaran pahala amalan-amalan tertentu pada bulan Rajab. Meski demikian, bukan berarti tidak ada keutamaan menjalankan ibadah, misalnya menjalankan puasa dalam bulan Rajab. Justru puasa menjadi istimewa karena dilakukan pada bulan istimewa. Hanya saja, seberapa besar pahala yang akan didapat, Allahu a’lam, hanya Allah yang tahu. 

Dalam hadis riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Majah, dan Imam Ahmad bin Hanbal dikatakan:

صُمْ مِنَ الْحُرُمِ

Artinya: Berpuasalah pada bulan-bulan haram.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumid-Din menyatakan bahwa kesunahan berpuasa menjadi kian bernilai bila dilakukan pada hari-hari utama (Al-Ayyam Al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan, dan tiap pekan. Terkait siklus bulanan ini Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab masuk dalam kategori Al-asyhur Al-fadhilah di samping Dzulhijjah, Muharram dan Sya’ban. Rajab juga terkategori Al-asyhur Al-hurum di samping Dzulqa’dah, Dzul Hijjah, dan Muharram.

Keitimewaan bulan Rajab juga terletak pada peristiwa ajaib Isra’ dan Mi’raj Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Rajab tahun 10 kenabian (620 M). Itulah momen perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha lalu menuju ke sidratul muntaha yang ditempuh hanya semalam. Dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj ini, umat Islam menerima perintah shalat lima waktu. Begitu agungnya peristiwa ini hingga ia diperingati tiap tahun oleh kaum muslimin di berbagai belahan dunia.

Maka, ketika bulan Rajab menyapa seseorang dan mendatangi hidupnya, sehingga ia memperoleh kesempatan untuk menikmati usia dalam bulan tersebut, hendaknya menyikapinya dengan bijak dan baik. Pertama-tama, ia mensyukuri nikmat besar tersebut, sebab bersyukur adalah kaedah umum untuk merespon sebuah kenikmatan dari Allah SWT , apapun nikmat tersebut, baik nikmat duniawi, apalagi kenikmatan yang berhubungan dengan agama, kesempatan beramal shaleh dan memperbaiki diri.

 

Sumber : Kitab I’anah Al-Thalibin dan Kitab  Ihya ‘Ulumiddin
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Rabu, 6 Maret 2019 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo