Sejarah Halal Bihalal yang Sudah Menjadi Tradisi Islam Nusantara

 
Sejarah Halal Bihalal yang Sudah Menjadi Tradisi Islam Nusantara
Sumber Gambar: Foto Ist

Laduni.ID, Jakarta - Berbeda dengan tradisi di negara-negara Arab yang menjadikan hari raya Idul Adha sebagai perayaan paling besar dan paling meriah, di Indonesia kaum Muslimin menjadikan Idul Fitri sebagai hari raya yang paling penting dan dirayakan dengan sangat meriah, sehingga pemerintah pun menjadikannya libur nasional dengan waktu paling lama dibandingkan hari libur lainnya.

Kaum Muslimin di Indonesia memanfaatkan panjangnya hari libur pada hari raya Idul Fitri untuk mengunjungi orang tua, kerabat dan sanak famili. Di banyak daerah bahkan ada tradisi saling mengunjungi rumah tetangga dan teman. Selain menjaga silaturahmi, kunjungan pada hari raya Idul Fitri di Indonesia digunakan sebagai kesempatan untuk saling meminta maaf.

Dalam berinteraksi sehari-hari, baik dalam hubungan bisnis, maupun pertemanan, manusia tidak luput dari kesalahan baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan, disengaja maupun tidak disengaja. Tradisi saling meminta maaf pada hari raya Idul Fitri di Indonesia menjadi kesempatan yang sangat baik untuk memperbaiki hubungan-hubungan yang kurang harmonis antar saudara, teman, bahkan rekan bisnis.

Meskipun meminta maaf atau saling memaafkan merupakan kewajiban bagi umat Islam, namun ada kalanya orang merasa canggung bahkan gengsi untuk melakukannya. Dengan adanya tradisi saling memaafkan pada hari raya Idul Fitri, hal tersebut lebih mudah dan lebih nyaman untuk dilakukan.

Melakukan sungkem kepada orang tua dan para sesepuh sambil meminta maaf bahkan menjadi tradisi yang sangat penting di kalangan umat Islam Indonesia sehingga para penduduk kota-kota besar yang memiliki orang tua dan kerabat di desa merasa berkewajiban untuk mudik setiap hari raya Idul Fitri.

Meminta maaf atas segala bentuk kesalahan merupakan kewajiban dalam Islam. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh, Rosulullah saw bersabda:

“Barang siapa melakukan kezaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya, karena di akhirat tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya.”


Setiap kezaliman yang dilakukan manusia kepada lainnya akan menjadi beban yang sangat berat di akhirat jika tidak dimaafkan oleh orang yang terzalimi sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa kezaliman akan menjadi biang kegelapan di hari kiamat. Oleh karena itu meminta maaf atas kesalahan merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan dengan keselamatan seseorang di akhirat kelak.


Salah faham dan perasaan tersinggung juga sering terjadi di antara manusia. Hal ini jika tidak segera diselesaikan terkadang bisa menjadi bibit permusuhan yang akhirnya menjerumuskan manusia kedalam neraka. Ucapan dan tindakan yang tidak sengaja melukai perasaan orang lain pun bisa menjadi masalah besar dan menyebabkan permusuhan, tidak saling menyapa, dan saling membenci. Mengenai hal ini Rasulullah saw bersabda:

“Haram bagi seorang Muslim marah kepada saudaranya dan memutuskan persaudaraan lebih dari tiga malam, sehingga jika bertemu mereka saling menghindari. Adapun yang paling baik di antara keduanya adalah yang lebih dulu menyapa dengan salam.”


Dalam riwayat lain bahkan dikatakan jika ada orang yang marah dan membenci saudaranya sesama Muslim lebih dari tiga hari, lalu mati sebelum berbaikan, maka ia masuk neraka. Oleh karena itu meskipun terlambat, saling memaafkan tetap sangat penting untuk dilakukan. Dan tradisi lebaran dengan saling meminta maaf menjadi momen yang sangat berharga karena memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin untuk bertemu, berjabat tangan, dan saling memaafkan tanpa harus malu.

Selain itu berjabat tangan di antara dua orang Muslim bisa mengugurkan banyak dosa. Rosulullah saw bersabda:
 

“Sesungguhnya seorang Muslim itu jika bertemu Muslim lainnya lalu mengambil tangandanmenyalaminyamakaberguguranlah dosa-dosa mereka sebagaimana gugurnya dedaunan dari pohon yang telah mengering pada saat angin kencang, atau diampuni dosa- dosa mereka meskipun dosa-dosa mereka itu sebanyak buih di laut.”

Berjabat   tangan   sesama    Muslim  jika dilakukan dengan tulus dan didasari persaudaraan bisa menggugurkan dosa-dosa keduanya. Dan tradisi hari raya di Indonesia memberikan kesempatan yang sangat besar kepada kaum Muslimin untuk bersalaman. Bahkan sebelum saling mengunjungi antar tetangga pada hari raya, setelah sholat Ied kaum Muslimin di Indonesia biasa melakukan tradisi jabat tangan secara massal sehingga setiap orang yang datang untuk sholat Ied akan bisa saling bersalaman.

Tradisi-tradisi dalam merayakan hari raya idul fitri ini tidak biasa dilakukan di negara-negara Arab meskipun Rosulullah saw memberi contoh tradisi mengunjungi kerabat pada hari raya. Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa Rasulullah saw melewati jalan yang berbeda untuk berangkat dan pulang dari sholat Ied. Ibnu Hajar menyebutkan bahwa di antara sebabnya adalah karena beliau saw mengunjungi kerabat-kerabat beliau baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal setiap hari raya. Namun apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw ini tidak menjadi tradisi yang dijaga oleh bangsa Arab sampai hari ini.

Tidak salah jika Umar Kayam menyebut tradisi lebaran merupakan tradisi khas kaum Muslimin Indonesia. Hal ini tak lepas dari tradisi dan kebudayaan masyarakat Jawa yang kemudian oleh para ulama dipadukan dengan nilai-nilai keIslaman. Menurut Umar Kayam, tradisi lebaran ini awalnya dilakukan oleh kaum Muslimin di Jawa, baru kemudian menyebar dan saat ini dipraktikkan oleh kaum Muslimin di seluruh Indonesia.

Saat ini, kaum Muslimin yang bukan berasal dari suku Jawa juga melakukan sungkem kepada orang tua di hari raya. Sungkem merupakan tradisi khas Jawa. Sejarah tentang sungkem ini setidaknya bisa dilacak sejak zaman Adipati Arya Mangkunegara I, yang juga bergelar pangeran Sambernyawa, ketika ia memimpin  Surakarta.  Pada  hari raya Idul Fitri ia biasa mengumpulkan para punggawa dan prajurit di pendopo  istana untuk sungkem kepada raja dan permaisuri. Sejak saat itu, tradisi mencium tangan para sesepuh sambil duduk di hadapan mereka atau sungkem menjadi tradisi yang dilakukan pula oleh masyarakat luas.

Selain hal-hal di atas, belakangan muncul istilah halal bihalal yang dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti “Maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang”.

Halal bihalal memang memiliki arti yang lebih khusus dari lebaran atau riyaya, karena ia merupakan sebuah acara yang diadakan secara khusus, di sebuah tempat khusus. Adapun mengunjugi kerabat atau teman di hari raya biasanya disebut sejarah atau ziarah lebaran, dan riyayan (berlebaran), bukan halal bihalal.

Menurut Geertz lebaran atau riyaya merupakan penampakan paling menonjol dari budaya Jawa yang dikatakannya sangat toleran terhadap keragaman ideologi dan agama. Sifat toleran ini disebutnya sebagai karakteristik fundamental budaya Jawa. Dan Riyaya pulalah yang menyatukan semua orang baik dari kalangan santri, abangan, maupun priyayi. Lebaran disebutnya memiliki makna yang sangat personal bagi orang Jawa di mana orang-orang yang kedudukannya lebih rendah sungkem kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi, seperti anak kepada orang tua, santri kepada kiyai, dan sebagainya. Sungkem dan mengunjungi rumah sesepuh serta kerabat untuk maaf-maafan ini dikatakan oleh Geertz sebagai inti dari perayaan Riyaya.

Nah, halal bihalal menurutnya merupakan sebuah simplifikasi dari ritual yang paling penting dari tradisi riyaya itu. Ia bahkan menyebut halal bihalal sebagai sebuah “pesta sekuler” karena selain mendegradasi nilai ritual  yang  sangat  penting,  halal  bihalal  juga dianggap hanya memperhatikan aspek semarak pestanya saja. Ia juga menyimpulkan bahwa acara halal bihalal ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dengan status sosial yang tinggi saja. Halal bihalal hanya menjadi pesta bergengsi kaum elit.

Apa yang diungkapkan oleh Geertz ini ada benarnya jika acara halal bihalal digunakan sebagai pengganti tradisi riyayan, sungkeman, dan saling mengunjungi rumah kerabat dan tetangga, sehingga tradisi-tradisi unik dalam berlebaran tak bisa dirasakan lagi. Beberapa keluarga kaya memang lebih suka mengadakan acara halal bihalal yang dikemas dalam bentuk reuni keluarga besar, yang bersifat ekslusif.

Tapi tidak semua halal bihalal menghilangkan tradisi riyaya, karena sekolah- sekolah, madrasah, kantor, bahkan majelis ta’lim yang biasa mengadakan halal bihalal tidak menjadikannya sebagai pengganti tradisi lebaran. Tradiri riyayan tetap dilaksanakan, baru setelah selesai kupatan, halal bihalal diadakan.

Di kalangan Nahdliyin, sebagaimana ditulis oleh Masdar Farid Mas’udi dalam sebuah artikel, istilah halal bihalal dipercaya merupakan istilah yang diciptakan oleh Kiyai Abdul Wahab Chasbullah.

Dikisahkan, pada tahun 1948, republik yang baru berdiri ini dilanda gejala disintegrasi bangsa. Banyak elit politik yang saling bertikai sehingga sangat sulit mengajak mereka untuk duduk bersama dalam satu forum. Padahal sedang terjadi pemberontakan serius yang dilakukan oleh DI/TII maupun Partai Komunis Indonesia. Pada pertengahan bulan Ramadan tahun itu, presiden Soekarno mengajak Kiyai Abdul Wahab berdiskusi untuk mencari solusi dari masalah perpecahan para elit politik itu.

Kiyai Abdul Wahab lalu mengusulkan untuk mengumpulkan semua tokoh politik dalam sebuah acara silaturahmi bertepatan dengan hari raya yang akan datang. Namun Soekarno waktu itu menganggap acara silaturahmi biasa tidak akan menarik bagi para politisi yang sedang bertikai itu sehingga sulit diharapkan mereka mau datang berkumpul.

Saat itu muncullah ide dari Kiyai Wahhab untuk membuat acara halal bihalal. Menurutnya para politisi itu bisa diberi pengertian bahwa sikap saling menyalahkan di antara mereka itu adalah sesuatu yang salah dan haram. Karena haram, maka harus dibuat halal dengan cara saling bertemu, duduk  satu meja, dan saling memaafkan. Maka acara silaturahmi yang digagas itu kemudian disepakati dengan istilah halal bihalal.

Acara halal bihalal pada hari raya saat itu berhasil dilaksanakan. Para politisi yang bertikaibersediadudukbersamadalamsuasana hari raya dan saling memaafkan. Selanjutnya instansi-instansi pemerintah di bawah kekuasaan Bung Karno juga mengadakan acara serupa. Sedangkan di kalangan masyarakat, kiyai Abdul Wahab yang merupakan salah satu tokoh pendiri NU ini mempopulerkan tradisi tersebut di masyarakat.

Menurut Nikolaos Van Dam, seorang duta besar Belanda untuk Indonesia yang juga seorang pakar bahasa Arab, istilah halal bihalal ini meskipun terbentuk dari kata “halal” dalam bahasa Arab, tetapi ia merupakan istilah khas Indonesia. Ia sempat menyangka bahwa istilah itu ada dalam bahasa dan tradisi Arab, namun setelah mencarinya dalam kamus dan tradisi Arab, ia tidak berhasil menemukannya. Karena itu ia berkesimpulan bahwa istilah halal bihalal berasal dari tradisi kaum Muslimin di Indonesia.

Adapun Mas’udi berusaha memberikan analisa mengenai terbentuknya istilah halal bihalal ini dengan mengungkapkan dua kemungkinan. Pertama, istilah itu mungkin bermakna thalabu halalin bi thariqin halalin, yakni mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Kedua, bisa jadi ia berasal dari ungkapan halal yujza’u bi halal, yakni pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan; dengan cara saling memaafkan.

Tapi istilah halal bihalal sendiri bukan istilah yang baru ada sejak tahun 1948. Pernyataan Mas’udi bahwa istilah halal bihalal ini dicetuskan oleh kiyai Abdul bisa jadi benar—tetapi bukan sejak tahun 1948. Karena istilah ini sudah dikenal pada tahun 1935, dan Kiyai Abdul Wahab lahir pada tahun 1888.

Theodore Pigeaud menyusun sebuah kamus bahawa Jawa-Belanda sejak  tahun  1926 atas perintah Gubernur Jenderal Hindia- Belanda. Dalam terbitan pertama kamus itu tahun 1938, sudah terdapat kata “Alalbihalal” digabung dalam satu kata dengan huruf  awalan “A” dan menunjukkan arti yang mirip dengan yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia saat ini, serta disebutkan pula  bahwa ia merupakan tradisi khas lokal.

Ada riwayat menyebutkan bahwa sekitar tahun 1935, ada seorang penjual martabak berkebangsaan India yang berjualan di gerbang taman Sriwedari Surakarta. Ia dibantu oleh seorang pribumi untuk mendorong gerobak dan mengurus api yang digunakan untuk menggoreng. Dalam menjajakan barang daganganya, si pembantu ini berteriak “Martabak Malabar, halal bin halal, halal bin halal!” lalu anak-anak menirukannya dengan berteriak “halal behalal”. Sejak itu istilah ini menjadi terkenal di Surakarta.

Kata “halal” juga digunakan dalam bertransaksi para jamaah haji dari Nusantara pada zaman Belanda. Karena keterbatasan para jamaah haji dalam menggunakan bahasa Arab, maka ketika tawar menawar harga barang di Mekah, mereka hanya bertanya “halal?” Jika kemudian penjualnya menjawab “halal”, maka akad jual beli dianggap sah dan disetujui.

Dua kisah di atas meskipun menyebutkan tentang penggunaan kata halal, dan secara khusus halal behalal (halal bin halal), tapi nampaknya tidak memiliki korelasi langsung dengan tradisi maaf-memaafkan pada hari raya Idul Fitri yang sudah dicatat oleh Pigeaud dalam kamusnya yang terbit pada tahun 1938.

Meskipun tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan istilah halal bihalal, namun sejarah dimulainya tradisi halal bihalal secara nasional dapat dilacak sejak tahun 1948 ketika kiyai Wahab mengusulkan untuk membuat acara silaturahmi para tokoh politik dengan menyebut acara tersebut dengan istilah halal bihalal. Semua peneliti juga sepakat bahwa istilah dan tradisi halal bihalal adalah khas Indonesia. [Ali Mashar ]

Sumber Bacaan

Al-Asqollani, Ahmad ibn Ali ibnHajar, Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Dar al-Royan li al-Turots, 1986. AL-Hathimiy, Nurudin Ali bin Abi Bakr, Majmu’u al-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, Maktabah al-Qudsiy, 1994. Al-Mausu’aa al-Fiqhiyyah, Wazaratu al-Awqof wa al-Syu’un al-Islamiyah al-Kuwaitiyah, Dar al-Salasil, Kuwait, 1994. Al-Nawawi, Yahya bin Syarof Abu Zakariya, Syarh Nawawi ‘Ala Muslim, Dar al-Khoir, 1996. Al-Safariny, Muhammad bin Ahmad bin Salim, Ghodza al-Albab Fi Syarhi Mandhumat al-Adab, Muassasah Qurthubah, 1993. Geertz, Clifford , Religion of Java , The University of Chicago Press, Chicago, 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2007. Masdar Farid Mas’udi, KH. Wahab Chasbullah Penggagas Istilah “Halal Bihalal”. https://www.nu.or.id/post/read/60965/ kh-wahab-chasbullah-penggagas-istilah-ldquohalal-bihalalrdquo Pigeaud, Theodore Gauthier Th., Javaans-Nederlands Woordenboek, Springer, 1983 edition. Umar Kayam, Ziarah Lebaran, Pustaka Utami Grafiti, Jakarta, 2010. Van Dam, Nikolaos, Bahasa Arab di Indonesia Kontemporer, dalam Abu Hasan Asy’ari (ed.), Membaca Takdir Pemikiran dan jejak STA, Dian Rakyat, Jakarta, 2009.
 

Dikutip Dari : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)