Bid'ah pada Masa Rasulullah dan Sahabat

 
Bid'ah pada Masa Rasulullah dan Sahabat

LADUNI.ID, Jakarta - Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa) Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu yang menjadi awal permulaan.
Dalam al-Qur-an disebutkan:

قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9)
Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam) bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah diutus pula.

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.

Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah SAW adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang tercela.

Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’ karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]

Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah: “Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].

Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayat­kan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat Tarawih: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab “ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]

Bid’ah ada dua macam bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah terpuji atau populer dengan sebutan bid’ah hasanah adalah setiap perbuatan baru yang tidak bertentangan dengan syariat. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukan, tapi bukan berarti tidak boleh dilakukan. Sementara bid’ah tercela adalah setiap perbuatan baru yang bertentangan dengan syariat Islam.

Sebagian orang menolak pembagian bid’ah ini karena mereka memahami bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Dengan logika demikian, setiap hal yang tidak dilakukan Rasulullah terutama yang berkaitan dengan urusan ibadah, dianggap salah dan bid’ah.

Namun, kalau melihat sejarah Rasulullah dan sahabatnya, ada beberapa fakta yang menunjukkan bahwa Rasulullah pun dalam beberapa hal mengamini “bid’ah” yang dilakukan oleh sahabat, termasuk dalam ibadah sekali pun. Misalnya, Shahih Al-Bukhari menyebutkan:

عن رفاعة بن رافع رضي الله عنه قال: كنا يومًا نصلي وراء النبي صلى الله عليه وآله وسلم فلما رفع رأسه من الركعة قال: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ»، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: «مَنِ المُتَكَلِّمُ» قَالَ: أَنَا، قَالَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ

Artinya, “Rifa’ah bin Rafi’ berkata, ‘Kami pernah shalat bersama Rasulullah, saat bangun dari ruku’ ia membaca, ‘Sami’allahu liman hamidah.” Tiba-tiba ada seorang sahabat yang membaca, ‘Rabbana wa lalakal hamd hamdan katsiran tayyiban mubarakan fihi (wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah). Setelah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa yang mengucapkan kalimat itu?’ Sahabat itu berkata, ‘Saya Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berkata, ‘Saya melihat sekitar tiga puluhan malaikat berloma-lomba untuk siapa pertama kali yang mencatat (pahalanya),’” (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menjelaskan bahwa lafal yang dibaca sahabat dalam shalat tersebut tampaknya belum pernah dijelaskan Nabi Muhammad SAW. Ketika ada sahabat yang membaca doa tersebut Rasulullah tidak marah dan malah memuji sehingga kita pun boleh mengamalkannya. Sebab itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bari mengatakan:

واستدل به على جواز إحداث ذكر في الصلاة غير مأثور إذا كان غير مخالف للمأثور

Artinya, “Hadits di atas dijadikan dalil sebagai kebolehan membuat dzikir baru dalam shalat yang tidak ma’tsur selama tidak bertentangan dengan ma’tsur.”

Dengan demikian, melakukan bid’ah dalam ibadah juga dibolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat. Tentu maksud bid’ah di sini adalah bid’ah hasanah, bukan bid’ah sayyi’ah atau dhalalah. Hal ini sudah dilakukan pula oleh sahabat Rasulullah di hadapan beliau SAW.

Dari sini kita dapat menarik pelajaran agar tidak terlalu cepat menyalahkan amalan yang dilakukan sekelompok orang atas dasar Rasul tidak pernah melakukan. Karena bisa jadi apa yang dilakukan itu merujuk pada dalil-dalil umum dalam syariat yang sebetulnya kalau dikaji tidak