Kaffah Memahami Khittah NU

 
Kaffah Memahami Khittah NU

LADUNI.ID, Jakarta - Khittah berarti menulis dan merencanakan. Kemudian kata ini bermakna garis atau jalan yakni garis, nilai dasar dan jalan perjuangan. Khittah NU berarti jalan, dasar dan asas perjuangan NU.

NU sebagai garis perjuangan, memiliki karakter yang khashaish (khusus) yakni sebagai jam'iyah diniyah-ijtima'iyah. Garis khittah perjuangan NU terdiri dari dua hal yakni sebagai benteng agama (benteng ideologi Aswaja) dan sebagai benteng negara.

Khittah NU dalam bidang akidah, menganut akidah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Dalam bidang fikih, mengakomodasi empat madzhab fikih yakni madzhab Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Dalam bidang tasawuf, NU mengakomodasi tasawuf moderat yang dimotori oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Abu Junaid Al-Baghdadi. Dalam bidang kemasyarakatan atau karakter dakwahnya, NU memegang prinsip tasamuh (toleransi), tawasuth (moderasi), tawazun (keseimbangan) dan i'tidal (keadilan). Sebagai penganut paham Aswaja, NU berpedoman pada Al-Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas.

Khittah NU sebagai jam'iyah diniyah-ijtima'iyah yang dirumuskan sejak berdirinya pada tahun 1926 inilah yang mendasari bahwa NU bukanlah partai politik dan tidak akan terlibat dalam politik praktis. Karena NU pernah menjadi partai politik yang mengakibatkan NU keluar dari khittah dasarnya maka gerakan NU kembali kepada khittah disebut sebagai khittah NU 1926.

Memahami Khittah NU 1926 bukan berarti NU buta akan politik. Bukan pula warga NU tabu dan haram berpolitik. Khittah NU 1926 dimaksudkan sebagai landasan dasar bahwa NU tidak akan menjadi partai politik. Itu artinya warga NU tetap perlu berpolitik dalam arti bukan hanya sebatas pengertian politik yang sempit yakni politik praktis namun yang menjadi tujuan utama adalah politik kebangsaan juga politik keumatan. Memajukan umat dan bangsa.

Dengan demikian, warga NU boleh berpolitik sehingga warga NU menyebar diberbagai partai politik nasionalis. Pengaruh positifnya, NU senantiasa menjadi penyeimbang dan perekat bangsa. Menjadi mayoritas tanpa sekat partai. Tidak kemana-mana namun ada dimana-mana.

Sampai kapanpun NU tetap menjadi kekuatan politik sehingga sikap NU dalam merespon isu-isu keagamaan dan sosial sangat diperhitungkan. Sikap NU tak sekedar merespon isu-isu nasional bahkan isu global-internasional. Siapa sih yang tak kenal NU? Masyarakat dunia selalu menanti gerakan dan gebrakan NU dalam menyelesaikan permasalahan internasional.

Jika ada warga atau tokoh NU terlibat dalam dunia politik bukan berarti melanggar khittah. Selagi ditujukan dalam rangka memperjuangkan agama khususnya menjaga ideologi Aswaja dan menjaga ideologi Pancasila maka sah-sah saja karena khittah NU 1926 bersifat dinamis sesuai isu yang dihadapi dengan tetap berpijak pada tujuan dasar lahirnya NU. Garda Aswaja dan garda NKRI.

Wajar saja jika kemudian banyak tokoh NU bahkan pesantren-pesantren NU yang mendukung tokoh tertentu dalam dunia perpolitikan. Tak boleh dituduh sebagai pelanggar khittah. Semata-mata untuk mempertahankan ideologi Aswaja dan NKRI.

Jika warga NU tak memahami khittah NU secara kaffah (utuh dan menyeluruh) maka akan mudah tertipu oleh gerakan-gerakan yang seolah menyuarakan kembali pada khittah NU 1926 yang sebenarnya memiliki agenda terselubung untuk mendukung kelompok yang memusuhi NU. Jika menyuarakan khittah dalam rangka menjaga netralitas maka boleh-boleh saja namun jika bermaksud mengarahkan dukungan kepada kelompok yang jelas-jelas bertentangan dengan NU yakni anti ideologi Aswaja dan anti Pancasila maka hal ini jelas sebuah penipuan atas nama khittah.

Warga NU harus cerdas dalam memahami khittah. Dan kecerdasan warga NU ini kian tampak dengan semakin kompaknya tokoh-tokoh NU dan pesantren-pesantren besar NU memberikan dukungan atau maklumat kepada tokoh yang memang layak untuk didukung. Bukan untuk kepentingan pribadi namun semata-mata kepentingan agama dan masa depan bangsa.


Artikel ini ditulis oleh Suryono Zakka Aswaja Center