Cara Mengganti Shalat yang Ditinggalkan Bertahun-tahun

 
Cara Mengganti Shalat yang Ditinggalkan Bertahun-tahun
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Secara bahasa shalat berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti doa. Sedangkan, menurut istilah, shalat bermakna serangkaian kegiatan ibadah khusus atau tertentu yang dimulai dengan Takbiratul Ihram dan diakhiri dengan Salam.

Shalat dalam sebuah Hadis diibaratkan sebagai tiang agama, artinya orang yang mendirikan shalat berarti ia telah mendirikan agama, sedangkan orang yang meninggalkannya berarti ia telah merobohkan tiang itu.

Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ، فَإِنْ صَلَحَتْ , فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ , وَإِنْ فَسَدَتْ , فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ

Sungguh hal yang pertama dimintai pertanggungjawaban dari seorang hamba kelak di hari kiamat adalah shalat, jika salatnya bagus beruntunglah ia, jika tidak, merugilah ia” (HR. At-Tirmidzi)

Oleh karena itu, sebagai umat Islam yang baik, kita harus memperhatikan dengan benar perihal ibadah shalat. Kelak yang akan dimintai pertanggungjawabn pertama kali adalah tentang shalat kita.

Setiap muslim mulai berkewajiban melaksanakan ibadah shalat sejak masuk dalam usia baligh. Dan ketika sudah masuk usia tersebut, dia juga wajib mengganti (qadha’) shalat yang ditinggalkan, baik disengaja maupun tidak.

Tidak sedikit orang Islam yang tidak tahu atau kurang memperhatikan shalatnya ketika awal masa balighnya, dan terkadang baru menyadari kesalahannya tersebut setelah beranjak dewasa. Bahkan mungkin ada juga yang baru tahu bahwa shalat yang ditinggalkannya tersebut wajib diganti.

Perlu disampaikan bahwa ketika usia seorang muslim telah baligh, maka dia wajib melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Termasuk perintah Allah SWT, bahkan ibadah yang paling utama adalah shalat. Jika shalat tersebut ditinggalkan, baik disengaja maupun tidak, maka seorang Muslim yang meninggalkan ibadah shalat tersebut wajib melakukan qadha’ atau menggantinya.

Terkait dengan qadha’ tersebut, setidaknya ada empat pembahasan yang akan diuraikan. 

Pertama, terkait jumlah shalat yang wajib di-qadha’. Setiap orang muslim yang pernah meninggalkan shalat fardhu, wajib men-qadha’ semua shalat yang pernah ditinggalkan tersebut. Tapi, bagaimana jika ia lupa jumlahnya? Kalau demikian halnya, maka ia wajib men-qadha’ atau melakukan shalat lagi sebagai pengganti shalat yang ditinggal tersebut, sampai yakin sudah tidak ada lagi shalat yang belum diqadha’ sebanyak yang pernah ditinggalkannya. Keterangan ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Berikut ini keterangannya:

مَنْ عَلَيْهِ فَوَائِتُ لَا يَدْرِيْ عَدَدَهَا يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يَقْضِيَ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ، عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ، وَقَالَ الْمَالِكِيَّةُ، وَالْحَنَفِيَّةُ: يَكْفِيْ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ

Seseorang yang mempunyai tanggungan shalat (qadha’) dan dia tidak tahu jumlahnya, maka dia wajib meng-qadha’ hingga yakin tanggungannya tersebut sudah terpenuhi, sebagaimana menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hanafi cukup dengan adanya anggapan yang kuat terkait tanggungannya tersebut, meski tidak sampai taraf yakin.”

Kedua, terkait waktu men-qadha’. Banyak ulama yang berpendapat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat tanpa udzur tidak boleh melakukan apapun selain meng-qadha’ shalat, dan hanya diperbolehkan melakukan aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Tentu hal ini sangat berat dilakukan kebanyakan orang. Namun, ada pendapat dari Al-Imam Abdullah Al-Haddad yang bisa dijadikan solusi. Sebagaimana dikutip dalam Bughyah al-Musytarsyidin. Berikut ini keterangannya:

وَمِنْ كَلَامِ الْحَبِيْبِ اَلْقُطْبِ عَبْدِ اللهِ اَلْحَدَّادِ: وَيَلْزَمُ التَّائِبُ أَنْ يَقْضِيَ مَا فُرِطَ فِيْهِ مِنَ الْوَاجِبَاتِ كَالصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالزَّكَاةِ لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ، وَيَكُوْنُ عَلَى التَّرَاخِيْ وَالْاِسْتِطَاعَةِ مِنْ غَيْرِ تَضْيِيْقٍ وَلَا تَسَاهُلٍ –إلِىَ أن قال- وَهَذَا كَمَا تَرَى أَوْلَى مِمَّا قَالَهُ الْفُقَهَاءُ مِنْ وُجُوْبِ صَرْفِ جَمِيْعِ وَقْتِهِ لِلْقَضَاءِ، مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُهُ لَهُ وَلِمُمَوَّنِهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْحَرَجِ الشَّدِيْدِ

Sebagian dawuh Al-Habib Abdullah Al-haddad: seseorang yang taubat wajib meng-qadha’ kewajiban shalat, puasa, zakat yang pernah ia tinggalkan. Kewajiban ini dilakukan semampunya, sehingga ia tidak merasa sulit dan keberatan, namun juga tidak boleh sampai menganggap sepele. Pendapat ini -seperti yang anda lihat- lebih utama dari pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh melakukan apapun selain men-qadha’ shalat, ia hanya diperbolehkan melakukan aktivitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Karena pendapat tersebut tentu sulit diamalkan.”

Dengan demikian, berdasarkan pendapat ini, ia tidak harus menghabiskan seluruh waktunya untuk men-qadha’, tetapi cukup dengan men-qadha’ semampunya. Meski demikian, tetap tidak diperbolehkan menganggap sepele tanggungan tersebut. Artinya, jika lelah melakukan qadha’, maka ia boleh beristirahat dan melanjutkannya ketika sudah segar kembali.

Ketiga, terkait cara men-qadha’. Cara men-qadha’ shalat adalah dengan melakukan shalat seperti biasa. Namun dalam shalat qadha’ ada sedikit perbedaan dalam niat, tergantung shalat apa yang akan di-qadha‘. Kalau berniat shalat qadha’ Maghrib, maka perlu diperjelas shalat tersebut dan disertai lafadh qadha’, sebagaimana contoh berikut ini:

أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثلاث رَكعَاتٍ قَضَاءً لله تَعَالَى

“Saya shalat fardhu Maghrib tiga rakaat qadha’ karena Allah Ta’ala.”

Keempat, terkait waktu men-qadha’. Dalam melaksanakan shalat qadha’ seorang muslim tidak terikat waktu. Jadi bisa melakukan qadha’ shalat Ashar di waktu Maghrib atau Isya’ atau di waktu yang lain. Demikian juga bisa melakukan qadha’ shalat Maghrib di waktu Subuh, misalnya.

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim