Hukum Mengajarkan Al Qur'an kepada Non Muslim

 
Hukum Mengajarkan Al Qur'an kepada Non Muslim

Laduni.ID, Jakarta - Dalam tatanan kehidupan sosial di Indonesia terutama di kota-kota besar kita akan menjumpai kehidupan masyarakat yang majemuk, baik dalam hal suku, ras, agama, dan kebudayaan. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujurat Ayat 13, bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan segala perbedaannya dengan tujuan untuk saling mengenal. Tidak jarang kita menemukan seorang muslim memiliki hubungan dengan non muslim, baik sebagai tetangga, kawan, rekan bisnis, urusan pekerjaan, atau urusan lainnya. Secara konteks interaksi sosial dan kenegaraan, semua warga negara Indonesia dari suku dan agama apapun mendapatkan jaminan dan hak yang sama tanpa memandang status agama dan suku.

Selaras dengan ajaran Islam bahwa Islam sangat menghargai perbedaan dan bahkan secara umum Islam menjamin hak-hak dan keyakinan non muslim sehingga seorang muslim dilarang memperlakukan non muslim dengan buruk. Penjelasan tentang ini banyak termakrub dalam ayat-ayat Al-Qur'an seperti dalam QS. Al-An'am Ayat 108, QS. Al-Baqarah Ayat 256, QS. Yunus Ayat 99, QS. Al-Mumtahanah Ayat 8, dan QS. Al-Ankabut Ayat 46.

Secara umum dalam hal muamalah dan hubungan sosial Islam tidak melarang dan bahkan mengharuskan seorang muslim untuk menjaga hubungan dan menghormati seorang non muslim. Namun dalam hal ibadah seperti seorang muslim yang mengajarkan Al-Qur'an kepada non muslim, banyak perbedaan pendapat dalam kalangan ulama.

Jika tujuan kita mengajarkan Al-Qur'an kepada non muslim adalah syi'ar dan dakwah Islam, Allah SWT berfirman dalm QS. At-Taubat Ayat 6

وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ

"Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui"

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas mengafirmasi kepada kaum non muslim untuk belajar Al-Qur’an dari jasa seorang muslim yang disewa olehnya. Tidak hanya itu, ayat di atas juga mewajibkan kaum muslim untuk mengajarkan ilmu agama (khususnya ilmu tauhid) kepada non muslim yang ingin belajar tentang agama, sekalipun harbi (yang memerangi agama Islam). (Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adzim, juz 2, hal 337).

Menurut pandangan al-Jashas, non muslim yang meminta diajari agama tersebut sudah pasti termasuk orang yang memang ingin mengetahui agama yang benar. Oleh karena itu, wajib bagi muslim untuk memberikan jaminan aman kepadanya di saat proses belajar-mengajar tentang agama. (Imam al-Jashas, Ahkam al-Quran, juz 3, hal 103)

Soal apakah kaum non muslim tersebut menerima atau menolak apa yang diajarkan oleh kaum muslim, itu adalah persoalan lain. Imam al-Qurthubi menegaskan:

قوله تعالى : { وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ } أي من الذين أمرتك بقتالهم ، استجارك أي سأل جوارك ، أي : أمانك وذمامك ، فأعطه إياه ليسمع القرآن ، أي : يفهم أحكامه وأوامره ونواهيه ، فإن قبل أمرا فحسن ، وإن أبى فرده إلى مأمنه ، وهذا ما لا خلاف فيه

Yang dimaksud oleh firman Allah Swt “wa in ahad min al-musyrikin” adalah kaum non muslim yang diperintahkan untuk dibunuh (kafir harbi). Jika mereka menyewa jasamu untuk memberikan jaminan aman maka berilah jaminan aman tersebut agar mereka bisa mendengarkan Al-Qur’an, yakni segala ketentuan yang ada di dalamnya. Jika mereka menerima maka hal itu baik. Namun, jika mereka menolak maka kembalikanlah mereka ke tempat amannya mereka (tempat asalnya). Ini adalah persoalan yang tidak diperselisihkan di kalangan ulama.”. (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, juz 8, hal 75-76).

Bukan hanya itu, praktik semacam ini juga pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. ketika mengirim surat kepada raja Romawi, Heraclius guna mengajaknya masuk Islam. Surat tersebut berisi tentang ajakan untuk mengesakan Allah Swt., tidak menyekutukan-Nya dengan apapun dan mengakui bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah Swt. (Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 1, hal 263)

Terdapat perbedaan dalam kalangan Imam Madzhab dalam persoalan ini. Berikut kami urainkan pandangan para Imam Madzhab terkait persoalan ini.

1. Imam Abu Hanifah

Parktik semacam ini diperbolehkan secara mutlak, baik diharapkan masuk Islam atau tidak. Pendapat ini berpedoman pada Hadis yang berkisah tentang surat-menyurat Nabi kepada raja Romawi, Heraclius sebagaimana yang disebutkan di atas.

Alasan lainnya, belajar-mengajar Al-Qur’an tersebut dalam rangka menumbuhkan rasa ingin kepada non-Muslim yang belajar untuk masuk Islam. (Imam al-‘Aini, al-‘Aini, juz 14, hal 207)

2. Imam Malik

Menurut Imam Malik, kaum muslim dilarang secara mutlak mengajarkan Al-Qur’an kepada non muslim, baik yang diajarkan hanya sedikit maupun banyak. Pendapat ini disandarkan kepada Hadis yang melarang seorang muslim membawa Al-Qur’an ke wilayah yang dikuasai oleh kaum non muslim.

Alasan lainnya, jika non muslim diajari Al-Qur’an maka akan berakibat kepada dikuasainya Al-Qur’an oleh non-Muslim yang berpotensi segala isinya akan dirubah (tahrif). (Imam al-Baji, al-Muntaqa li al-Baji ‘ala al-Muwattha’, juz 3, hal, 165)

Namun, sebagian ulama yang bermazhab Maliki masih ada yang merincinya. Jika yang diajarkan sedikit sebagai dalil argumentasi maka diperbolehkan. Jika banyak maka tidak diperbolehkan. (Imam al-Zarqani, al-Zarqani al-Muwattha’, juz 10, hal 10)

3. Ulama Madzhab Syafii

Adapun di dalam mazhab Syafii sendiri, masih terjadi silang pendapat. Ada yang melarangnya secara mutlak, sekalipun non-Muslim tersebut diharapkan masuk Islam.

Ada juga yang membolehkannya dengan syarat ada harapan islamnya non-Muslim yang belajar Al-Qur’an. Dan pendapat kedua inilah yang diunggulkan oleh Imam Nawawi, al-Qodhi Husain, al-Baghawi, dan lain-lain. (Imam al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 2, hal 78).

Wallahu A'lam