Syariat Apa yang Dianut Nabi Muhammad Sebelum Turunnya Islam?

 
Syariat Apa yang Dianut Nabi Muhammad Sebelum Turunnya Islam?

LADUNI.id - Sebelum turunnya wahyu pertama pada 610 M, Nabi Muhammad SAW tetap Mencari Kebenaran. Namun, beliau tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat, dalam kisah-kisah lama atau dalam tulisan-tulisan para pendceta, melainkan dalam alam sekitarnya: dalam luasan langit dan bintang-bintang, dalam bulan dan matahari, dala. padang pasir di kala panas membara di bawah sinar matahari yang berkilauan.

Atau di kala langit yang jernih dan indah bermandikan cahaya bulan dan bintang yang sedap dan Iembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di balik itu yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam alam itulah ia mencari Hakikat Tertinggi.

Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri demikian, jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan semesta alam ini, menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia.

la tidak memerlukan permenungan yang panjang guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran samasekali.

Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan manfaat, tak dapat memberi perlindungan kepada siapa pun yang ditimpa bahaya. Hubal, Lat dan Uzza, dan semua patung dan berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka'bah, tak pernah menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! Gerangan di mana kebenaran dalam alam yang luas ini, luas dengan buminya, deñgan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tak lain hanya benda-benda langit seperti bumi ini juga. Ataukah barangkali di balik benda-benda itu terdapat eter yang tak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa eter itu? Adakah hidup yang kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini terjadi dan dijadikan pula kita di dalamnya?

Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah punya ketentuan yang pasti yang tak berubah-ubah. Tak mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang dialami manusia, kebaikan atau keburukan, datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa ia memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Nabi Muhammad selama ia mengasingkan diri dan bertekun dalam Gua Hira'.

Rasulullah ingin melihat Kebenaran dan melihat hidup itu seluruhnya. Pemikirannya memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus-menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat Khadijah menanyakannya selalu, karena dia pun ingin lega hatinya bila sudah diketahuinya ia dalam sehat dan afiat.

Dalam melakukan ibadah selama dalam tahannus itu adakah Muhammad menganut suatu syariat tertentu? Dalam hal ini pendapat para ulama tidak sama. Dalam kitab sejarahnya, (al-Bidâyah wan-Nihâyah) Ibn Kasir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang digunakan melakukan ibadat itu: Ada yang mengatakan menurut Nuh, ada yang mengatakan menurut Ibrahim, yang lain berkata menganut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut syariat Isa dan ada pula yang mengatakan, yang lebih dapat dipastikan, bahwa ia menganut syariat tertentu dan diamalkannya. Barangkali pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini sesuai dengan dasar renungan dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad. (*)

Sumber :
Kitab Hayãt Muhammad atau Sejarah Hidup Muhammad, Karya Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D. Cetakan ke 42 April 2014. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ali Audah.