Agama: Antara Arab Dan Sanskerta

 
Agama: Antara Arab Dan Sanskerta

LADUNI.ID - KH M. Syafi’i Hadzami, seorang ulama terkenal di Betawi, lahir di Jakarta 13 Januari 1931, dan meninggal juga di Jakarta, pada tanggal 7 Mei 2006 dalam usia 75 tahun. Dari para santrinya, dia mendapatkan gelar al-Muallim Syafi’i Hadzami. Santrinya tersebar di berbagai belahan wilayah di Indonesia. Hal ini seiring dengan semakin banyaknya orang Betawi yang meninggalkan kampungnya, dan orang-orang dari daerah lain berbondong-bondong menuju ke Jakarta.

Selain aktif memberikan ceramah agama di banyak sekali majelis, dia juga melahirkan beberapa karya tulis, di antaranya –yang saya pernah membaca- adalah buku Taudhihul Adillat (memperjelas petunjuk-petunjuk), sebuah buku yang mengulas tentang berbagai permasalahan beragama dalam kehidupan sehari-hari. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan dari tanya jawab yang diberikan oleh banyak pendengar setia kajiannya. Tak tanggung-tanggung, buku ini mampu memberikan jawaban yang kuat dengan analisa serta penguasaan literatur klasik Islam yang banyak, di zaman belum adanya program Maktabah Syamilah yang praktis.

Di antara bukti ketajaman analisanya adalah ketika dia mengkritisi dengan baik pandangan orang yang mengatakan bahwa istilah agama berasal dari bahasa Sanskerta, A artinya “tidak” serta Gama yang bermakna “kacau”, dua kata ini kemudian memberi makna bahwa agama artinya “tidak merestui kekacauan” apapun bentuknya. Tidak ada problem dalam makna yang nyaris diakui oleh banyak orang ini. Karena memang sejatinya agama selalu membawa kedamaian dan berjuang melawan segala kekacauan yang bisa mengganggu ketenangan manusia.

Namun, menurut al-Muallim, makna ini kurang tepat, karena kata “Agama” yang dalam dialek Melayu sering disebut dengan “Ugama” atau “Igama” terlalu jauh untuk dinisbatkan kepada bahasa Sanskerta. Tetapi –menurut al-Muallim- lebih meyakinkan kalau dia berasal dari bahasa Arab “Aqoma” (أقام). Kata Aqoma ini dalam beberapa dialek –di antaranya dialek Hadhramaut-, huruf qof sering diartikulasikan dengan G. Demikian, jadilah kata Aqoma itu terbaca Agoma yang artinya “melaksanakan” atau “menyempurnakan”.

Demikian pula, dalam bahasa Melayu kita masih menemukan penggunakan istilah Igama (meski tidak terkenal) merupakan bentuk ketiga (mashdar) dari kata utama Aqoma dalam ilmu tashrif. Sedangkan Ugama adalah bahasa awam yang menyebut bunyi kasroh dengan harkat dhommah. Sampai hari ini, dua istilah terakhir ini masih kita diucapkan oleh sebagian masyarakat di Indonesia dan Malaysia. Pandangan al-Muallim ini memang cukup kuat, dan setidaknya memotong pemahaman yang sebelum-sebelumnya sudah dianggap mapan.

Menurut penulis, ada beberapa problem yang boleh jadi merupakan alasan dari sikap keberatan al-Muallim, yang pertama karena bahasa Sanskerta bukanlah bahasa yang dominan, dan hanya berkembang di saat kerajaan Hindu-Budha dari India masih berdiri di Indonesia, yakni Kutai Mulawarman dan Tarumanegara. Bahasa Sanskerta ini pun tak sempat menjadi bahasa yang mentradisi, karena masyarakat Nusantara lebih banyak menggunakan bahasa Melayu.

Selain itu, istilah Sanskerta maknanya adalah bahasa yang sempurna sebagai lawan dari bahasa Prakerta atau dikenal dengan bahasa rakyat. Demikian, bahasa Sanskerta ini tak banyak dikuasai oleh masyarakat Melayu pada saat itu, meski harus diakui bahwa banyak sekali kosa kata dalam bahasa Indonesia yang diserap dan disarikan dari bahasa India kuno ini. Sanskerta hari ini banyak digunakan sebagai bahasa liturgis di Hindu, Budha dan Jainisme, khususnya di India dan Nepal.

Setelah runtuhnya kerajaan Hindu- Budha di Indonesia, bahasa Sanskerta tenggelam seiring semakin kokohnya bahasa Melayu yang sejak lama menjadi bahasa Pasar di Nusantara. Dalam penulisan, bahasa Melayu dengan mudah mengadaptasi tulisan Arab sebagai pola dalam mengembangkan komunikasi tertulis, kemudian dikenal dengan istilah Arab Pegon. Hal terakhir inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu faktor penting bagi menguatnya dakwah Islam khususnya di wilayah Nusantara. Karena dengan menggunakan Arab Pegon, Ulama Nusantara mampu melakukan proses transfer keilmuan melalui jalur bahasa rakyat yang mudah diterima.

Pentingnya posisi Arab Pegon ini juga bisa dilacak dari karya-karya klasik literatur keislaman di Nusantara yang banyak berupa Serat, Babad serta kitab-kitab dengan aksara Arab Pegon. Di antaranya Suluk Sunan Bonang (Head Book Van Bonang) yang dipercaya sebagai karya Sunan Bonang, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Tasawuf Hamzah Fanshuri, kitab-kitab karya Kiai Sholeh Darat, Karya Syekh Abddurohman Singkil, serta karya-karya lain yang ditulis oleh ulama Nusantara dengan Arab Pegon.

Kata Pegon sendiri berasal dari bahasa Jawa, Pego yang artinya menyimpang. Demikian karena huruf Pegon ini banyak menyimpang dari sistem artikulasi huruf-huruf Arab konvensional, selain itu huruf Pegon ini juga menyimpang dari sistem penulisan dalam aksara Jawa. Arab Pegon ini benar-benar berkembang dalam sebuah tatanan baru yang menunjukkan kearifan ulama Nusantara (yang banyak berlatar belakang pedagang) untuk mempertemukan dua tradisi berbeda (Arab dan Melayu) dalam satu sistem komunikasi yang unik dan anti-mainstrem.

Terkait penggagas Arab Pegon, banyak pendapat yang mengatakan digagas oleh Kiai Raden Rahmat atau Sunan Ampel, ada pula yang mengatakan digagas oleh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, atau yang lebih belakangan lagi, dikatakan bahwa aksara ini digagas oleh Syaikh Nawawi al-Bantani. Oleh karena giatnya ulama-ulama ini dalam mempertemukan dua tradisi yang berbeda.

Kembali kepada pandangan al-Muallim di atas, Posisi penting Arab Pegon inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan dari keberatannya terkait asal-usul kata “Agama” yang oleh banyak orang diakui berasal dari bahasa Sanskerta. Dan jika kita perhatikan denga baik, kata “Agama” sendiri memang lebih dekat dengan bahasa Arab sebagaimana dijelaskan di atas. Selain karena merujuk pada posisi penting Arab Pegon yang menjadi bahasa pasar, serta eksklusifitas bahasa Sanskerta yang banyak menjadi bahasa liturgis, juga timbulnya dua penyebutan lain yakni “Igama” dan “Ugama” yang semuanya seakar dengan kata “Agama”. Dua kata tersebut tidak ditemukan dalam sistem bahasa Sanskerta. Ini menunjukkan bahwa istilah “Agama” yang masyhur digunakan di Nusantara ini lebih dekat dengan bahasa Arab.

Selain itu, dari sisi makna kata “Aqoma” yang bermakna “melaksanakan” dan “menyempurnakan” juga memiliki makna yang lebih kuat dari kata “A-gama” dari bahasa Sanskerta yang sekadar bermakna preventif, dalam artian tak memberikan akar yang kuat dalam ruang praktis. Kesan yang bisa kita tangkap dari makna “tidak kacau” yang terkandung dalam kata “A-gama” hanya sebuah pengandaian tentang bagaimana seharusnya manusia dalam beragama, dari sini konsep agamanya terlihat mengawang. Sedangkan, makna tersirat dari kata “Aqoma” adalah sebuah komitmen untuk melaksanakan sesuatu, dan menyempurnakanya sehingga terus membaik. Dari sini, konsep agama yang terkandung dalam kata aqoma jauh lebih membumi dan menjejak.

Karena perbedaan dua pemaknaan terhadap istilah itu, maka konsep agama yang dihayati oleh seseorang juga bisa jadi berbeda. Jika mengikuti definisi agama yang diambil dari bahasa Sanskerta, maka pengejawantahannya boleh jadi banyak berbentuk kepada pengembangan spiritual dan emosional, hal ini tampak dari agama Hindu-Budha yang lebih menekankan gaya beragama yang meditatif untuk menemukan “inner-peace”. Dan jika mengikuti definisi yang kedua –dari Arab-, maka bisa jadi manifestasinya adalah sebuah pola beragama yang lebih aktif –bukan reaktif-, mempunyai misi universal untuk menjadi Messiah bagi manusia, serta tersimpan nilai-nilai revolusioner di dalamnya meski bukan PKI.

Oleh: M Hasanie Mubarok