Zuhud itu Tempatnya di Hati

 
Zuhud itu Tempatnya di Hati
Sumber Gambar: Pexels, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni. ID, Jakarta - Salah satu kajian dan praktik dalam tasawwuf adalah bersikap zuhud. Ketika disebut kata zuhud, maka biasanya stereotip yang sering muncul adalah dikaitkan dengan hidup menyepi, menjauhi masyarakat, berpakaian lusuh, tidak memiliki harta dan hal-hal lain yang bersifat menjauhi 'keduniawian'. Padahal pandangan ini belum tentu sepenuhnya benar. Sebab ada pendapat sebagian ulama sufi yang memandang dibolehkannya memiliki banyak harta dengan cara yang halal, asalkan hatinya tetap cinta dan hanya terpaut kepada Allah SWT.

Pandangan tersebut di antaranya diungkapkan oleh seorang ulama sufi bernama Sufyan As-Sauri sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Asror Yusuf dalam bukunya Kaya Karena Allah, bahwa yang dimaksud zuhud adalah membatasi keinginan untuk memperoleh dunia, bukannya membatasi diri dengan hanya memakan hidangan yang kasar atau mengenakan pakaian yang kasar. Senada dengan Sufyan As-Sauri, Dzun Nun Al-Misri juga menyatakan untuk tidak mencari dunia, namun jika harus mencari dunia, maka paling tidak janganlah mencintainya. Pandangan zuhud seperti ini juga ditegaskan oleh pendiri Tarekat As-Syadziliyyah, Imam Abu Hasan As-Syadzili, bahwa zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah SWT.

Berdasarkan definisi zuhud yang diungkapkan oleh beberapa ulama sufi di atas, dapat diambil benang merah bahwa zuhud adalah sebuah sikap dalam hati yang hanya bergantung, fokus dan cinta kepada Allah SWT, sehingga hatinya tidak bergantung dan tidak cenderung cinta kepada hal-hal duniawi, meskipun secara lahir memiliki banyak harta.

Kisah sufi yang mempraktikkan zuhud ini seperti Imam Abu Hasan As-Syadzili. Ia adalah seorang sufi yang dikenal kaya raya, namun di dalam hatinya hanya mencintai Allah SWT. Dikisahkan bahwa ada seorang tamu yang merupakan murid dari kerabatnya yang miskin. Murid tersebut diperintahkan oleh gurunya bertemu Imam Syadzili untuk mendapatkan nasehat. Ketika sudah sampai di rumah Imam Syadzili yang sangat mewah itu, murid tadi tidak percaya bahwa Imam Syadzili adalah seorang ulama besar. Karena dalam pandangannya, bagaimana mungkin seorang ulama tapi memiliki rumah mewah bagaikan istana, perhiasan yang elok, serta memiliki kuda yang gagah dan besar. Maka ia pun berpikir bergelimangnya harta Imam Syadzili tidak mungkin mencirikan orang yang dekat dengan Allah SWT. Dan menurutnya, gurunya yang dalam kondisi miskin adalah yang lebih pantas menjadi ulama.

Setelah masuk ke dalam rumah Imam Syadzili dan bertemu dengannya, tamu yang merupakan murid dari kerabatnya menyampaikan salam dari gurunya dan meminta nasehat kepada pendiri Tarekat Syadziliyyah tersebut. Lalu Imam Syadzili berkata; "Tolong sampaikan kepada gurumu, kapan berhenti memikirkan dunia?" Ia pun pulang kembali ke tempat gurunya dengan penuh rasa penasaran dan heran. Sebab ia tidak dapat memahami maksud nasehat yang ia dapatkan dari Imam Syadzili.

Setelah bertemu kembali gurunya, ia menyampaikan pesan Imam Syadzili. Kemudian gurunya berkata sambil menangis; "Benar yang dikatakan oleh Imam Syadzili bahwa meskipun ia banyak harta, tapi tidak sedikitpun hartanya menempel dan melekat di hatinya. Sedangkan saya yang dalam kondisi miskin, tapi masih memikirkan kapan memiliki harta." Sang murid pun akhirnya memahami maksud nasehat Imam Syadzili.

Kisah lain soal Imam Syadzili adalah tentang seseorang yang ingin bertemu dengannya yang dikenal seorang ulama sufi yang agung. Tetapi karena ia tidak tahu rumah Sang Imam, ia pun bertanya kepada orang lain dan akhirnya sampai ke rumah Sang Imam. Setelah melihat rumah Imam Syadzili, ia tidak percaya bahwa sang Imam adalah seorang ulama sufi yang dekat Allah SWT karena memiliki rumah yang mewah. Alhasil ia pun mengurungkan niatnya dan pergi dari rumah Sang Imam.

Namun dalam perjalanan pulang, ia berpapasan dengan kereta kuda yang mewah dan seseorang dalam kereta tersebut mempersilakan dirinya untuk menaiki kereta kudanya. Dalam perbincangan di atas kereta, diketahui bahwa pengendara kereta mewah tersebut adalah Imam Abu Hasan As-Syadzili. Maka orang tadi menjelaskan bahwa sebelumnya ia ingin bertemu dengannya. Mendengar hal tersebut, Sang Imam memberikan sebuah gelas yang berisikan minuman terbaik. Orang tersebut merasa terpesona dengan minuman yang diberikan Sang Imam, sebab ia belum pernah melihat minuman pilihan tersebut.

Khawatir minumannya tumpah, ia pun fokus untuk memegang gelas yang berisikan minuman tadi. Hingga tak terasa, perjalanan menggunakan kereta kuda telah sampai ke rumah Imam Syadzili. Kemudian Sang Imam bertanya kepadanya; "Bagaimanakah perjalanan tadi, apakah kamu dapat menikmati keindahan kota ini?" Orang itu pun tidak bisa menjawab apa-apa karena selama perjalanan ia hanya berfokus untuk melihat dan memegang gelas yang berisikan minuman terbaik itu agar tidak tumpah. Imam Syadzili pun kembali melanjutkan berbicara; “Antara kamu dengan minuman anggur itu ibarat saya dengan harta saya dan Allah dalam batin saya. Karena perhatian saya hanya tertuju dan fokus kepada Allah SWT, sehingga saya tidak pernah peduli kota ini indah atau tidak.”

Dari dua kisah Imam Syadzili di atas dapat diambil 'ibrah, setidaknya ada tiga hikmah yang berkaitan dengan zuhud, yakni: Pertama, harus selalu memiliki ketetapan cinta kepada Allah SWT di dalam hati, meskipun memilki banyaknya harta, sehingga melimpahnya harta tidak akan membuat lalai. Kedua, bisa jadi dalam kondisi miskin, tetapi hatinya masih terlalu sering memikirkan harta atau dunia, maka kondisi ini belum termasuk zuhud. Ketiga, orang yang memiliki rasa cinta yang sangat tinggi kepada Allah SWT akan dapat berpaling dari gemerlap dunia, meskipun memiliki harta yang banyak. Berdasarkan kisah zuhudnya Imam Syadzili tersebut, maka benar saja kalau KH. Said Aqil Siradj menyatakan bahwa zuhud tidak selalu identik dengan melarat.

Zuhud juga dapat diartikan bahwa ketika  memiliki banyak harta, tetapi tidak memiliki ruang sedikitpun di hati untuk mencintai, namun hatinya telah dipenuhi dengan cinta kepada Allah SWT. Bila seseorang telah melakukan hal tersebut, maka ia telah berhasil mengendalikan dunia berada di tangannya dan Allah SWT yang selalu berada di hatinya. Hal ini sesuai dengan nasehat Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, yakni; “Letakkan dunia di tanganmu, jangan di hatimu! Hatimu harus terus merasakan kehadiran Allah, sebutlah nama Dzat-Nya. Penuhilah hatimu dengan nama-nama-Nya nan Indah.”

Salah satu contoh sikap zuhud  seseorang tidak cinta dunia adalah cenderung lebih suka banyak memberi daripada menerima. Hal ini juga dinyatakan dalam Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yaitu:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

“Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah”.

Berarti meskipun ia memiliki harta yang melimpah, maka ia lebih senang dan bahagia hartanya tersebut disedekahkan di jalan Allah SWT. Sikap ini telah dilakukan oleh banyak Sahabat Nabi Muhammad SAW yang kaya raya, seperti Siti Khadijah dan Sayyidina Usman bin Affan. Mereka selalu rela dan ikhlas memberikan semua hartanya termasuk jiwanya untuk membantu perjuangan dakwah Rasulullah SAW.

Dengan demikian, jika seseorang kaya raya dan hatinya tetap mencintai Allah SWT, sudah pasti ia akan ikhlas menyedekahkan hartanya untuk Allah SWT, seperti untuk pembangunan Masjid dan pondok pesantren, membantu perjuangan dakwah para ulama, serta menolong fakir miskin dan anak yatim. Ia menyadari bahwa harta yang ia miliki hanyalah merupakan titipan dari Allah SWT dan akan dipertanggungjawabkan, sehingga ia sendiri tidak mencintai harta tersebut dan hanya mencintai Allah SWT.

Selain itu, ada keterangan yang menarik terkait tetap dibolehkannya memiliki harta, selagi tetap ingat Allah SWT dan akhirat atau dengan kata lain tetap menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman:

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi." (QS. Al-Qasash, ayat 77).

Begitu juga keterangan tentang doa yang biasa dibaca oleh umat muslim yaitu:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

"Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" (QS. Al-Baqarah, ayat 201).

Dari doa tersebut, dapat diketahui bahwa keseimbangan dunia dan akhirat itu penting. Seseorang tidak hanya meminta kepada Allah SWT untuk kebaikan akhirat, tetapi juga ia meminta kepada Allah SWT untuk kebaikan dunia. Salah satu bentuk kebaikan dunia adalah dibolehkannya memiliki harta dan menjadi kaya raya, tetapi tidak boleh mencintainya. Tetapi hatinya tetap cinta kepada Allah SWT.

Terakhir, sikap zuhud yang konkret dalam hati adalah tidak merasa sedih saat kehilangan apapun terkait dunia. Sebaliknya, akan merasa sedih sekali ketika jauh dari Allah SWT. Zuhud itu tidak bisa hanya dilihat dari rupa atau penampilan. Tetapi hakikatnya zuhud itu dilihat dalam hati. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 Juli 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Labib Syarief

Editor: Hakim