Merealisasikan Dayah Berinovasi di Era Industri 4.0

 
Merealisasikan Dayah Berinovasi di Era Industri 4.0

LADUNI. ID, KOLOM -Dalam sejarah bangsa ini, keberadaan Dayah (Pesantren) dan hubungannya dengan penyebaran Islam di nusantara tidak lepas dari peran dayah. Menelesuri dalam persepektif historisnya Dayah itu sendiri berasal dari kata zawiyah yang bermakna ‘sudut atau pojok masjid.’

 Kata zawiyah itu pada mulanya dikenal di Afrika Utara pada awal perkembangan Islam. Zawiyah dimaksudkan kala itu adalah ‘pojok mesjid yang menjadi halaqah para sufi, mereka biasanya berkumpul, bertukar pikiran dan pengalaman, berzikir, dan berdiskusi.
 
 Di Aceh khususnya dalam khazanah pendidikannya, istilah zawiyah itu berubah menjadi dayah. Dayah menjadi benteng terakhir untuk memfilter generasi dari berbagai pengaruh luar dan sejak awal mulanya menjadi tempat menerpa generasi penerus dalam membekali para santrinya dengan berbagai macam disiplin ilmu agama, mendidik akhlak dan budi pekerti.
 
 Dayah dewasa ini lahir dengan inovasi baru di zaman semakin canggih informasi dan teknologinya, diharapkan mampu untuk menjawab tantangan. (Dayah Narkoba, portalsatu, 2016)

 Saat ini menjamur dan begitu banyaknya dayah,  secara kasat mata tentu saja akan  timbul adanya permasalahan pendanaan yang harus disediakan baik oleh pemerintah maupun orangtua santri. Tetapi, keadaan yang sebenarnya terjadi bukanlah demikian beratnya. 

Banyak dari dayah di tanah air yang tidak memungut biaya dari para santrinya, dengan dasar sedekah dan tabungan akhirat. Lebih luar biasa lagi, lembaga dayah menjadi sebuah lembaga kewirausahaan dalam mendukung segala bentuk kegiatan di dayah. 

Di samping itu masih ada dengan kuota tidak sedikit dayah yang mengharapkan bantuan bahkan iris hati kita mendengarnya masih ada oknum yang  menjadikan dayah sebagai “perusahaan” atau “ajang bisnis”,nauzubillah!!!

Melihat perkembangan dewasa ini, dayah itu harus mampu mewujudkan dirinya secara mandiri tidak perlu bergantung  diri kepada pemerintah, di satu sisi kita melihat dengan berdiri badan dayah dan kini telah berubah menjadi Dinas Pendidikan Dayah Aceh secara tidak langsung dari satu sisi telah “merusak” dan “mencederai” marwah dan eksestensi kemuliaan dayah itu sendiri.

 Nilai luhur dengan khasnya mandiri dan tidak bergantung sepenuhnya kepada pemerintah, tentu saja itu dapat menjaga jarak dengan pemerintah dan mampu berfungsi sebagai pengontrol dan pengkritik kebijakan pemerintah.
 
Namun di saat “bergantung” dengan pemerintah, perlahan “al-hadaya aslu mahabbah”(hadiah itu asal kecintaan) akan“membuahkan” hasil, hadiah yang di maksudkan disini pemberiaan pemerintah kepada dayah.

Walhasil fungsi pengontrol kebijakan dan pengkritik pemerintah akan melemah bahkan  “pohon cinta” semakin berakar dan tumbuh. Poin penting yang hendak di sampaikan disini lembaga dayah belum mampu mandiri. Lantas bagaimana solusinya?

 Dalam perjalannannya dayah itu bukan hanya tempat melahirkan para ulama dan teungku yang diharapkan mampu mnejadi mercuar ilmu nanti nya dalam masyarakat,. Namun  juga di harapkan insan dayah dapat menjalankan kegiatan operasional pendidikan hingga kehidupan santrinya dengan jalan kewirausahaan terpadu. 

Pada dasarnya, dayah semestinya dapat memanfaatkan ruang lingkup mereka sebagai lahan pertanian, terutama komoditas pertanian pangan. Komoditas pangan dipilih karena komoditas denderung berumur pendek dan dapat langsung dimanfaatkan sebagai bahan makanan penduduk dayah.

 Tentu peran dinas pertanian dan lembaga yang ahli dibidang ini dapat melakukan bimbingan dan kerjasama dengan pihak dayah dalam menyukseskan program tersebut.

 Selain itu, dengan umurnya yang pendek lahan ini dapat dimanfatkan untuk keperluan lainnya oleh dayah. Masalah perawatan dan penjagaan projek pertanian di dayah ini tentu saja tidak seharusnya menjadi kajian mendalam oleh dayah tentang siapa yang akan melakukannya. 

Santri dan dewan guru yang jumlahnya ratusan hingga ribuan orang itu dapat dimaksimalkan dalam pengelolaannya di bantu oleh lembaga ahli bidang petanian baik pemerintah atau LSM dan universitas. 

Melibatkan peran mereka santri dan dewan gurunya ini bukanlah semata-mata hanya memanfaatkan tenaga saja, tetapi terlebih kepada mengajarkan mereka tentang pertanian, perkebunan dan sejenisnya serta terjun langsung dalam hidup duniawi realitas.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi
Dewan Guru Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga