Ibadah Haji: Spritualitas dan Kesalehan Sosial

 
Ibadah Haji: Spritualitas dan Kesalehan Sosial

LADUNI. ID, KOLOM- Kita dapat menyaksikan bagaimana gigihnya perjalanan manusia lintas profesi yang bersungguh sungguh ingin menunaikan ibadah haji.

Kisah kisah menarik pun seolah membuka mata kita bahwa haji adalah milik semua umat Islam yang mau bersungguh-sungguh dan memantapkan niat ingin menjadi tamu-tamu Allah Swt.

Kisah pedagang kecil, anak muda, tukang becak hingga perjuangan seorang tukang parkir menjadi lintasan inspirasi yang harusnya memotivasi diri kita dan menampar ego kita masing masing yang terkadang masih enggan dan tidak mau bersungguh-sungguh ingin hadir dan melaksanakan ibadah sakral ini.

Selain itu, secara eksplisit juga dite­gaskan oleh Allah agar mereka yang berhaji melakukannya semata-mata karena Allah. Dalam Alquran ditegas­kan, Diperintahkan semata-mata karena Allah kepada manusia untuk berhaji, bagi mereka yang memiliki kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa kufur (tidak mau melaksanakan perintah Allah), keta­huilah Allah Maha kaya dan tidak memerlukan sesuatu pun dari semesta alam(QS Ali ‘Imran [3]: 97).

Kesungguhan niat seseorang sangat gamblang dalam pelaksa naan ibadah haji. Berawal dari munculnya keinginan dalam hati seseorang untuk menjadi tamu Allah Swt (spirit).

Kemudian dinyatakan melalui “lisan”, pikiran untuk mempelajari tatacara melaksanakan ibadah haji (learning). Hingga akhirnya dipraktikkan dengan tindakan nyata mulai dari bekerja, membuka tabungan haji, ikut manasik hingga berbagai tindakan nyata mem persiapan proses pemberang katan haji (action).

Ada satu hadits yang sangat terkenal bagi kita mengisahkan tentang kesung­guhan niat seseorang. Kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa manusia. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah.

Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah tersebut sehingga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.

Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama.

Dia bertanya kepada ulama tersebut, “Apakah masih ada pintu taubat untukku.” Maka ulama tersebut menga­takan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpin­dah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang saleh, karena kampungnya meru­pakan kampung yang dia tinggal seka­rang adalah kampung yang penuh kerusa­kan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung hala­mannya. Di tengah jalan sebelum sam­pai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim).

Itulah contoh dan gambaran arti niat sebenarnya. Bersungguh-sungguh untuk mengupayakan keinginan agar bisa terwujud. Dimulai dari adanya keinginan untuk bertobat, kemudian dinyatakan dengan kemauan bertanya mencari ilmu dalam melaksanakan keinginannya dan kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata kesediaan untuk bertindak bahkan berkorban mening­galkan kampung halamannya agar bisa mewujudkan keinginannya tersebut.

Begitu juga seharusnya apabila kita menginginkan kesuksesan dan keba­ha­giaan dalam hidup. Harus ada keinginan kuat, kesungguhan, senan­tiasa mening­katkan ilmu, mencari metode dan mem­perbaiki caranya serta dengan tekun tanpa kenal lelah bergerak, ber­tindak untuk meraihnya. Man jadda wa jaddah.

Kisah kisah inspiratif dari rangkaian perjalanan suci ini hendaknya kita jadikan momentum diri bahwa tidak ada yang tidak mungkin untuk mengum­pulkan niat menapaki perjalanan suci menghadap kepada Sang Maha Agung.

Niat adalah kekuatan yang terpatri dalam hati kita untuk senantiasa menjadi penyemangat dan penguat etos kerja dan usaha kita untuk selalu bersungguh-sungguh menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah Swt berkehen­dak. Justru para muslim dan muslimat yang bergelimangan harta enggan melaksanakan ibadah haji adalah golongan yang tidak mau bersyukur dan bertemu serta bersua menjadi tamu Allah Swt.

Sebagai seorang Muslim yang beriman semestinya kita menyadari bahwa setiap pemak naan spiritualitas keberislaman dan keimanan yang sedang kita jalani merupakan harapan menjadi Muslim yang rahmatan lil ‘alamin sebagaimana dahulu Nabi Muhammad inginkan.

Maka, melalui haji dengan menghayati nilai-nilai spiritual dalam setiap ritusnya hendaknya akan meningkatkan aspek keberagamaan yang lebih bernuansa humanis.

Sebagai mana makna historis dalam haji yang dapat menguatkan fondasi budaya, politik dan ekonomi masyarakat Muslim melalui pertemuan besar di Mekkah dan Madinah yang dahulu telah dilakukan sejak masa Nabi Ibrahim hingga Nabi Muhammad, seharus nya menyiratkan sebuah masya rakat Muslim yang ber perada­ban, berkemanu siaan dan berkeadilan. Semoga ada manfaatnya. Wallahu ‘Alam

***Muhammad Hisyamsyah Dani, Penulis adalah Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SU Medan Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Dinamika UIN SU Medan