Kritik Salah Sasaran Terhadap Ilmu Kalam

 
Kritik Salah Sasaran Terhadap Ilmu Kalam

LADUNI.ID - Mendengar pengkritik ilmu kalam itu kadang lucu dan menggemaskan. Ada yang mengharamkan ilmu kalam, mengajak menjauhi ilmu kalam dan mengkritik macam-macam uraian ilmu kalam. Yang begini bisa dipastikan jauh dari ilmu ini, dan itu berarti dia tak paham sebab memang menjauhi. Tapi anehnya dunia, banyak orang tak paham justru berani komentar macam-macam tentang apa yang dia sendiri tak pahami. Akhirnya tak nyambung dan salah sasaran.

Salah satu contohnya, ada yang bilang buku ilmu kalam itu gersang dari ayat dan hadis, hanya akal-akalan saja. Ini kritik yang paling konyol.

Buku Ilmu kalam itu ada dua macam; ada yang disusun untuk meluruskan kesalahpahaman orang yang percaya ayat dan hadis, dan ada yang disusun untuk meluruskan mereka yang tak percaya al-Qur’an dan hadis.

Bagi mereka yang sudah meyakini kebenaran ayat al-Qur’an dan hadis, maka bisa lihat buku-buku kalam yang semisal dengan al-Asma' Was Shifat karya Imam Al-Baihaqi. Isinya penuh dengan nukilan keduanya.

Tapi bagi para filsuf, saintis agnostik, ateis dan semacamnya yang hanya percaya argumen rasional, maka percuma menukil ayat dan hadis. Meyakinkan mereka harus sepenuhnya dengan argumen rasional. Nah, di sinilah peruntukan buku-buku ilmu kalam yang dikritik minim dalil ayat - hadis itu.

Dalam sejarahnya, lawan utama para ulama ahli kalam Ahlussunnah adalah kaum sok rasional itu sebab mereka tak percaya tuhan atau pun Nabi. Sebab itulah buku-buku ilmu kalam muta'akhirin nyaris penuh dengan argumen rasional sebab itulah bahasa yang mau mereka dengarkan. Argumen rasional tentang sifat-sifat ketuhanan terus diajarkan agar kapan pun dibutuhkan bisa dipakai.

Kalau disangka uraian rasional itu untuk mereka yang sudah percaya al-Qur’an dan hadis lalu uraian ilmu kalam dikritik sebagai uraian miskin dan gersang, maka itu kritik salah sasaran namanya.

Sebagian lagi ada yang mengkritik kerumitan bahasan ilmu kalam. Dibilang kerumitan ilmu kalam itu tak diperlukan sebab intinya hanya soal sederhana yang mudah dipahami orang awam. Pengkritik semacam ini juga salah memahami sasaran bahasan rumit itu untuk siapa.

Misalnya bahasan panjang dan rumit tentang sifat wujud. Biasanya membahas makna wujud, jenis-jenis wujud, apakah wujud itu sesuatu yang mandiri di luar dzat ataukah dzat itu sendiri, dan macam-macam lain yang lumrahnya tak dipikirkan orang.

Bahasan jlimet itu sasarannya bukan orang kampung yang sejak ia lahir lingkungannya percaya ada kekuatan supranatural di alam semesta. Yang model begini tak perlu diberi pembuktian rumit bahwa Tuhan itu ada sebab jangankan pada Tuhan, pada Jailangkung dan kawan-kawannya saja mereka percaya.

Pembahasan rumit sifat wujud itu juga bukan untuk meyakinkan orang yang percaya al-Qur’an. Kalau seseorang sudah percaya bahwa al-Qur’an adalah firman Allah, maka untuk apa lagi dia diberi pembuktian bahwa Allah itu ada?

Yang rumit-rumit soal sifat wujud itu juga bukan untuk mereka yang nalarnya sederhana. Kalau nalar audiens sederhana, maka justru percuma bila diberi yang rumit sebab takkan mampu mencerna. Orang dengan nalar sederhana cukup diberi penjelasan sederhana saja biar tak bingung.

Tapi lain cerita bila ketemu orang yang berpikir kompleks yang punya segudang data untuk menjelaskan berbagai kejadian alam hingga dia yakin bahwa Tuhan itu sebetulnya khayalan orang bodoh saja yang percaya hal-hal ghaib. Butuh argumen panjang dan rumit untuk meyakinkan orang semacam ini bahwa Tuhan itu ada.

Demikian juga kalau bertemu orang yang yakin bahwa semua yang ada itu pastilah punya bentuk fisik, punya ukuran, batasan, dimensi, tempat serta arah tertentu. Orang model seperti ini juga butuh penjelasan panjang kali lebar bahwa wujud tak selalu demikian sehingga wujud Tuhan tak musti dianggap seperti itu.

Demikian juga untuk sifat-sifat lainnya yang kadang perlu penjelasan panjang lebar untuk jenis audiens yang berbeda.

Ilmu kalam itu bagaikan obat, buku-bukunya disusun dengan dosis yang berbeda-beda sesuai penyakit audiens yang dituju. Ada yang sederhana level aqidatul awam hingga sangat rumit seperti level kitab-kitabnya Imam ar-Razi. Semuanya punya sasaran yang berbeda.

Bila ada yang berkata bahwa ilmu kalam adalah sesuatu yang cuma bikin rumit hal sederhana, itu mungkin karena sasaran dakwahnya hanya butuh uraian sederhana saja. Bila sasaran dakwahnya selevel sasarannya Imam ar-Razi, pasti lain cerita.

Oleh : Abdul Wahab AHmad

 

 

Tags