Berbagi Ruang

 
Berbagi Ruang

LADUNI.ID - Pagi ini saya menyusuri sejumlah tempat hanya untuk merebahkan penat, barangkali lebih tepatnya saya sebut kejenuhan. Jenuh terhadap rutinitas, pagi berangkat, sore pulang dan malam tidur.

Belum lagi ruang pandang terbatas hanya di serambi dunia berukuran sekitar 5 meter. Semilir sejuk pendingin ruangan tidak membuat luluh gerah. Persoalan gerah tubuh saja tidak selesai dengan pendingun ruangan, apalagi gerah nalar yang cenderung kering dan stagnan. Menjenuhkan bukan?.

Hidup perlu bergerak di ruang sisa dunia yang telah terbagi-bagi. Berbagi dengan orang lain dan kelompoknya, memilih bergabung atau kita jeli dengan "ruang kosong" yang ditinggalkan. Begitu setiap orang bergilir atau harus menghardik, karena tidak ada ruang yang benar-benar baru saat ini.

Ketersediaan ruang yang terbatas menjadikan perseteruan perebutan ruang semakin ketat. Pengajuan self interest akan saling bersaing dengan klaim sebagai yang paling efektif. Maka syahwat saling menghabisi akan lebih dominan daripada sekedar persoalan kompetisi.

Dalam perebutan ruang tersebut kadang tidak lagi berbicara persoalan kompetensi, tapi lebih bersifat emotif. Dalam ruang private perebutan ruang itu masuk menjadi sebuah ambisi, sedangkan dalam ruang sosial akan berwujud afiliasi. 

Ambisi akan membawa pada ketamakan, sedangkan afiliasi akan mengantarkan pada kepentingan partisan. Pertarungan perebutan ruang akan terus menghabisi yang lemah, sedangkan dalam skala komunal juga akan terus memberangus mereka yang minor.

Sungguhpun begitu suara parau menjemput kejayaan begitu sangat sering diteriakkan. Seolah-olah antar yang satu saling mengirim empati, padahal tidak lebih sekadar pemanis retorika belaka. Faktanya, seseorang naik pentas pasti setelah mendepak kepala sesamanya.

Fenomena di atas menunjukkan terdapat kejanggalan dalam melihat diri. Diri dalam individu maupun diri sebagai kelompok. Diri itu hanya betul-betul tentang diri yang tidak ada hubungannya dengan yang lain (the others). Padahal diri itu mestinya inklusif-elastis, terbuka dan mudah menyesuaikan. 

Perebutan ruang mestinya bukan persoalan saling menghabisi tapi adalah seni saling berbagi. Aristoteles mengumpamakan, perhatian terhadap diri bukan berarti adalah kecintaan yang berlebihan pada "diri", tetapi adalah perhatian terhadap diri sebagai bagian dari diri yang universal.

Bahwa kita mencintai "diri" itu harus bersamaan dengan kita mencintai yang lain. Bahwa kita meyakini kelompok kita yang paling baik bukan berarti menuduh yang lain tidak baik. Persoalan "aku, kamu, kami, dia dan mereka" hanyalah persoalan keluwesan dan kelegaan kita berbagi ruang.

Kalau ada yang merasa jenuh-gerah seperti apa yang saya rasakan, pertanda ada ketidakseimbangan dalam berbagi ruang, bukan persoalan pemandangan dan rutinitas yang membosankan. Mari kita lega dan luwes dalam berbagi ruang, agar hidup ini tidak membosankan.

Oleh: Ach Tiani

 

 

Tags