Kajian Kitab Al-Hikam Pasal 9, tentang 'Pencapaian Hasil Ruhani Seperti Karomah Kewalian'

 
Kajian Kitab Al-Hikam Pasal 9, tentang 'Pencapaian Hasil Ruhani Seperti Karomah Kewalian'

LADUNI.ID, Jakarta - Kajian Kitab Al-Hikam Pasal 9, tentang 'Pencapaian Hasil Ruhani Seperti Karomah Kewalian, Ditentukan Oleh Usaha Ruhani dan Taqdir Allah'

Oleh: Asy-Syaikh Al-Habib Shohibul Faroji Azmatkhan

Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho'illah As-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam pasal 9 berkata:

تَـنَوَّعَتْ أَجْنَاسُ اْلأَعْمَالِ لِـتَـنَوُّعِ وَارِدَاتِ اْلأَحْوَالِ

"Beragamnya jenis amal-amal itu disebabkan oleh beragamnya warid-warid (yang diturunkan Allah) pada ahwal-ahwal (hamba-Nya)."

Penjelasan (Syarah)

Warid adalah karunia Allah yang diturunkan kepada hamba-Nya.

Proses turunnya warid terkait dengan kesiapan qalb , dalam hal ini adalah kadar ahwal si hamba. Sebagai contoh, dalam Al-Quran Allah berfirman:

                        ... وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا

"Tidak dianugerahkan (al-hasanah atau kebaikan) itu melainkan kepada orang-orang yang sabar." Q.S. Al-Fushilat [41]: 35

Dalam ayat di atas, sabar adalah ahwal si hamba, dan kebaikan (al-hasanah) yang dianugrahkan merupakan anugerah (warid) yang Allah karuniakan.

Namun dalam pasal 9 ini, Asy-Syaikh Ibnu Athaillah tidak hanya berbicara tentang ahwal dan warid; namun juga berbicara keterkaitan antara anugerah (warid) dan usaha (amal).

Bahwa anugerah (warid) yang diterima seorang hamba terkait dengan usaha (amal) hamba tersebut.

Amal yang dimaksud di sini adalah berupa usaha yang khusus, yakni amal atau dharma atau usaha yang terkait dengan misi hidup atau jatidiri seseorang.

Haruslah dipahami bahwa jatidiri setiap manusia adalah unik dan berbeda.

Suatu anugerah (warid) yang Allah karuniakan kepada seorang hamba pasti akan mengungkap jatidiri hamba tersebut.

Seorang nabi, seorang rasul, seorang wali, seorang mursyid, seorang raja, seorang ilmuwan, masing-masing memiliki amal-amal yang khusus terkait jatidirinya. Misalkan seorang hamba yang jatidirinya sebagai mursyid, maka akan dikaruniai anugerah (warid) berupa pengetahuan atau kemampuan untuk membimbing murid-muridnya.

Dalam pandangan Tasawwuf Islam, Hal ini diartikan sebagai pengalaman ruhani dalam proses mencapai hakikat dan makrifat.

Hal merupakan zauk atau rasa yang berkaitan dengan hakikat ketuhanan yang melahirkan Ma'rifatullah (pengenalan tentang Allah). tanpa Hal tidak ada hakikat dan tidak diperoleh Ma'rifatullah.

Ahli ilmu membina Ma'rifatullah melalui dalil ilmiah tetapi ahli tasawuf bermakrifat melalui pengalaman tentang hakikat.

Sebelum memperoleh pengalaman hakikat, ahli kerohanian terlebih dahulu memperoleh Kasyaf yaitu terbuka keghoiban kepadanya.

Ada orang mencari Kasyaf yang dapat melihat makhluk ghaib seperti jin. Dalam proses mencapai hakikat ketuhanan kasyaf yang demikian tidak penting.

Kasyaf yang penting adalah yang dapat mengenali tipu daya syaitan yang bersembunyi dalam berbagai bentuk dan suasana dunia ini.

Rasulullah saw. sendiri sebagai ahli kasyaf yang paling unggul hanya melihat Jibrail a.s dalam rupanya yang asli dua kali saja, walaupun pada setiap kali Jibrail a.s menemui Rasulullah saw. dengan rupa yang berbeda-beda, Rasulullah tetap mengenalinya sebagai Jibrail a.s.

Bila seseorang ahli kerohanian memperoleh kasyaf maka dia telah bersedia untuk menerima kedatangan Hal atau zauk yaitu pengalaman kerohanian tentang hakikat ketuhanan.

Hal tidak mungkin diperoleh dengan beramal dan menuntut ilmu.

Sebelum ini pernah dinyatakan bahwa tidak ada jalan untuk masuk ke dalam gerbang Ma'rifatullah.

Seseorang hanya mampu beramal dan menuntut ilmu untuk sampai pintu gerbangnya. Apabila sampai di situ seseorang hanya menanti karunia Allah, semata-mata karunia Allah yang membawa makrifat kepada hamba-hamba-Nya. karunia Allah yang mengandung ma'rifat itu dinamakan Hal.

Ada orang yang memperoleh Hal sekali saja dan dikuasai oleh Hal dalam waktu yang tertentu saja dan ada juga yang terus-menerus di dalam Hal.

Hal yang terus-menerus atau berkekalan dinamakan wishol yaitu penyerapan Hal secara terus-menerus, kekal atau baqo'. Orang yang mencapai wishol akan terus hidup dengan cara Hal yang terjadi.

Hal-hal (ahwal) dan wishol bisa dibagi menjadi lima macam:

1. Abid
Abid adalah orang yang dikuasai oleh Hal atau zauk yang membuat dia merasakan dengan sangat bahwa dirinya hanyalah seorang hamba yang tidak memiliki apa-apa dan tidak mempunyai daya dan upaya untuk melakukan sesuatu. Kekuatan, usaha, bakat-bakat dan apa saja yang ada dengannya adalah daya dan upaya yang dari Allah.

Semuanya itu adalah karunia Allah semata-mata. Allah sebagai Pemilik yang sebenarnya, apabila Dia memberi, maka Dia berhak mengambil kembali pada masa yang Dia kehendaki. Seorang abid benar-benar bersandar kepada Allah s.w.t sekiranya dia melepaskan sandaran itu dia akan jatuh, karena dia benar-benar melihat dirinya kehilangan apa yang datangnya dari Allah s.w.t.

2. Asyiqin
Asyiqin ialah orang yang memandang sifat keindahan Allah s.w.t. rupa, bentuk, warna dan ukuran tidak menjadi soal kepadanya karena apa saja yang dilihatnya menjadi cermin yang dia melihat Keindahan serta Keelokan Allah s.w.t di dalamnya.

Amal atau kelakuan asyiqin ialah gemar merenungi alam dan memuji Keindahan Allah s.w.t pada apa yang disaksikannya.

Dia boleh duduk menikmati keindahan alam beberapa jam tanpa merasa jemu. Kilauan ombak dan rintik hujan memukau pandangan hatinya.

Semua yang kelihatan adalah warna Keindahan dan Keelokan Allah s.w.t. Orang yang menjadi asyiqin tidak memperdulikan lagi adab dan peraturan masyarakat. Kesadarannya bukan lagi pada alam luar ini. Di menembus alamnya sendiri yang ada dalam relung ruhaninya hanyalah Keindahan Allah s.w.t.

3. Muttakholiq
Muttakholiq adalah orang yang mencapai yang Haq dan bertukar sifatnya. Hatinya dikuasai oleh suasana Qurbi Faroidh atau Qurbi Nawafil. Dalam Qurbi Faroidh, muttakholliq merasakan dirinya adalah alat dan Allah s.w.t menjadi pengguna alat.

Dia melihat perbuatan atau kelakuan dirinya terjadi tanpa dia merancang dan campur tangan, bahkan dia tidak mampu mengubah apa yang akan terjadi pada kelakuan dan perbuatannya.

Dia menjadi orang yang berpisah daripada dirinya sendiri. Dia melihat dirinya melakukan sesuatu perbuatan seperti dia melihat orang lain yang melakukannya, yang dia tidak berdaya mengawal atau mempengaruhinya.

Hal Qurbi Faraidh adalah dia melihat bahwa Allah s.w.t melakukan apa yang Dia kehendaki. Perbuatan dia sendiri adalah gerakan Allah s.w.t, dan diamnya juga adalah gerakan Allah s.w.t. Orang ini tidak mempunyai kehendak sendiri, tidak ada ikhtiar dan tadbir. Apa yang mengenai dirinya, seperti perkataan dan perbuatan, berlaku secara spontan. Kelakuan atau amal Qurbi Faroidh ialah bercampur-campur di antara logika dengan tidak logika, mengikut adat dengan merombak adat, kelakuan alim dengan jahil. Dalam banyak perkara penjelasan yang boleh diberikannya ialah, "Tidak tahu! Allah s.w.t berbuat apa yang Dia kehendaki."

Dalam suasana Qurbi Nawafil pula muttakholliq melihat dengan mata hatinya sifat-sifat Allah s.w.t dan dia menjadi pelaku atau pengguna sifat-sifat tersebut, yaitu dia menjadi khalifah dirinya sendiri. Hal Qurbi Nawafil ialah berbuat dengan izin Allah s.w.t karena Allah s.w.t memberikan kepadanya untuk berbuat sesuatu.

Contoh Qurbi Nawafil adalah mukjizat Nabi Isa a.s yang membentuk rupa burung dari tanah liat lalu menyuruh burung itu terbang dengan izin Allah s.w.t, juga mukjizat beliau a.s menyeru orang mati supaya bangkit dari kuburnya. Nabi Isa a.s melihat sifat-sifat Allah s.w.t yang diizinkan menjadi kemampuan beliau, sebab itu beliau tidak ragu-ragu untuk menggunakan kemampuan tersebut menjadikan burung dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah s.w.t.

4. Muwahhid
Muwahhid fana' dalam dzat, dzatnya lenyap dan Dzat Mutlak yang menguasainya. bagi muwahhid ialah dirinya tidak ada, yang ada hanya Allah s.w.t. Orang ini telah putus hubungannya dengan kesadaran basyariah dan sekalian maujud.

Usaha atau ikhtiar atau amalnya tidak lagi seperti manusia biasa karena dia telah terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan dan kemakhlukan. Misalkan dia bernama Abdullah, dan jika ditanya kepadanya di manakah Abdullah, maka dia akan menjawab Abdullah tidak ada, yang ada hanyalah Allah! Dia benar-benar telah lenyap dari ke'Abdullah-an' dan benar-benar dikuasai oleh ke'Allah-an'. Ketika dia dikuasai oleh hal seperti ini dia terlepas daripada beban hukum syara' atau hukum fiqih.

Dia telah fana dari 'aku' dirinya dan dikuasai oleh kewujudan 'Aku Hakiki'. Walau bagaimana pun sikap dan amalnya dia tetap dalam ridho Allah s.w.t. Apabila dia tidak dikuasai oleh hal, kesadarannya kembali dan dia menjadi ahli syariat yang taat. Perlu diketahui bahwa hal tidak boleh dibuat-buat dan orang yang dikuasai oleh hal tidak berupaya menahannya.

Orang-orang sufi bersepakat mengatakan bahwa siapa yang mengatakan, 'Ana al-Haq!' sedangkan dia masih sadar tentang dirinya maka orang tersebut adalah sesat dan kufur!.

5. Mutahaqqiq
Mutahaqqiq ialah orang yang setelah fana dalam dzat turun kembali kepada kesedaran sifat, seperti yang terjadi kepada nabi-nabi dan wali-wali demi melaksanakan amanat sebagai khalifah Allah di muka bumi dan kehidupan dunia yang wajib diurusi.

Dalam kesadaran dzat seseorang tidak keluar dari khalwatnya dengan Allah s.w.t dan tidak peduli tentang keruntuhan rumah tangga dan kehancuran dunia seluruhnya. Sebab itu orang yang demikian tidak boleh dijadikan pemimpin. Dia mesti turun kepada kesadaran sifat barulah dia boleh memimpin orang lain.

Orang yang telah mengalami kefanaan dalam zat kemudian disadarkan dalam sifat adalah benar-benar pemimpin yang dilantik oleh Allah s.w.t menjadi Khalifah-Nya untuk memakmurkan makhluk Allah s.w.t dan memimpin umat manusia menuju jalan yang diridhoi Allah s.w.t. Orang inilah yang menjadi ahli ma'rifat yang sejati, ahli hakikat yang sejati, ahli thoriqoh yang sejati dan ahli syariat yang sejati, berkumpul padanya dalam satu kesatuan yang menjadikannya Insan Robbani.

Insan Robbani peringkat tertinggi ialah para nabi-nabi dan Allah karuniakan kepada mereka ma'sum, sementara yang tidak menjadi nabi dilantik sebagai wali-Nya yang diberi perlindungan dan pemeliharaan.

Kesimpulan
Sesungguhnya Mu'jizat, Karomah, Ma'unah atau anugerah (Warid), Allah berikan sesuai amaliahnya dan kesiapan ruhaninya.

Referensi, Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho'illah As-Sakandari, Kitab Al-Hikam Pasal 9

(*)