Menelusuri Gen Kezuhudan Gus Dur

 
Menelusuri Gen Kezuhudan Gus Dur
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah seorang tokoh yang selalu asyik untuk diperbincangkan, dimanapun, kapanpun dan dari sisi apapun. Salah satu sisi dari Gus Dur yang selalu terasa asyik dibahas adalah tentang kondisi mental spiritual beliau yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah SWT (zuhud).

Kezuhudan Gus Dur sangat luar biasa, bertolak belakang dengan kehidupan masa kini yang sangat mengagungkan dunia material. Beliau mampu bertahan dari berbagai godaan harta maupun tahta dunia.

Salah satu bukti kezuhudan Gus Dur adalah ketika para lawan politik "mempreteli" kekuasaanya untuk melengserkan beliau dari kursi presiden. Dengan entengnya beliau mengatakan, “tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan dengan mati-matian”. Memang kelihatan aneh dan nyeleneh, kebanyakan orang akan mempertahankan kedudukanya dengan cara apapun meski taruhannya adalah nyawa, tetapi Gus Dur malah sebaliknya.

Di balik kezuhudan Gus Dur tersebut, memang tidak terlepas dari warisan sifat (gen) yang berasal dari leluhurnya, atau dalam kajian psikologis, lebih dikenal dengan Teori Hereditas. Teori ini menyakini bahwa pertumbuhan dan perkembangan seseorang lahir ke dunia ini membawa berbagai ragam warisan yang berasal dari ibu bapaknya atau nenek moyangnya. Warisan (keturunan atau pembawaan) tersebut di antaranya adalah sifat-sifat atau watak pada diri manusia.

Gus Dur dari jalur kakek, bagi kita sudah tidak asing lagi bahwa beliau mewarisi sifat zuhud dari sang pendiri NU, yaitu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Selain dari jalur kakek, kezuhudan Gus Dur juga tidak terlepas dari jalur neneknya (istri Mbah Hasyim Asy’ari), yang mungkin jarang kita ketahui. Dan ternyata juga tidak kalah dalam memberikan warisan kepribadian (sifat zuhud) kepada Gus Dur.

Gus Dur dari jalur nenek, adalah masih keturunan Kyai Basyariyah, seorang kyai yang sangat alim dan zuhud. Kyai Basyariyah dimakamkan di Desa Sewulan, Dagangan, Madiun. Beliau merupakan putra dari Pangeran Nolojoyo, adipati Ponorogo pada akhir abad ke 17 M. Nenek Gus Dur (Ibu Nyai Hasyim Asy’ ari) yang bernama Nafiqoh merupakan salah satu putri dari Kyai Ilyas, putra dari Kyai Raden Mas Buntaro. Kyai Mas Buntoro ini adalah salah satu putra dari Kyai Muhammad Santri yang sekaligus merupakan cucu langsung dari Kyai Ageng Basyariyah.

Siapakah Kyai Basyariah? Nama kecil Kiyai Ageng Basyariyah adalah Bagus Harun. Meski diasuh dalam keluarga ningrat, beliau lebih banyak menghabiskan masa mudanya untuk nyantri dan menimba ilmu di pesantren Gebang Tinatar asuhan ulama masyhur akan kealimanya, yaitu Kyai Ageng Hasan Besari Tegalsari, Ponorogo. Bagus Harun dikenal sebagai murid yang alim, cerdas dan  tawadhu'. Tak heran kalau beliau menjadi murid kesayangan kiyainya.

Alkisah, seperti terekam secara apik dalam Buku Sejarah Kyai Ageng Moh. Besari (1976), saat Mataram dipegang oleh Paku Buwono II, terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh RM. Gerendi (Pemberontakan Pacinan). Akibat pemberontakan tersebut, Paku Buwono II berlindung dan minta pertolongan ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo. Kyai Ageng Besari sebagai pengasuh saat itu mengutus santri kinasihnya Bagus Harun untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dan pada akhirnya Bagus Harun berhasil mengusir pemberontak, sedangkan Paku Buwono II dapat menduduki tahtanya kembali.

Atas jasanya tersebut Paku Bowono II berencana mengangkat Bagus Harus sebagai Adipati Banten. Namun Bagus Harun menolak karena harus kembali mengabdi kepada gurunya di Ponorogo.  Sebagai gantinya, Paku Buwono II memberikan songsong (payung kerajaan) dan lampit. Tapi tidak disangka dalam perjalanan pulang ke Ponorogo, songsong (payung) yang merupakan simbol pemberian tanah perdikan (tanpa pajak) itu juga ditolak dengan dibuang ke sungai.

Bukan tidak menghargai pemberian raja, tapi sepanjang perjalanan pulang, Bagus Harun merenung dan muhasabah atas dirinnya. Seandainya saja dia terus memegang hadiah itu, pasti akan berubah menjadi sombong dan tamak, serta akan mengganggu dalam menimba ilmu di pondok. Dan jika kelak diwariskan kepada anak cucu atau keturunannya, pasti juga dikhawatirkan akan membuat hal yang sama.

Sekembalinya dari pengembaran ilmu di pondok Gebang Tinatar Tegalsari, walaupun anak seorang ningrat, Bagus Harun tidak pernah membanggakan harta dan tahta dari leluhurnya. Jiwa kezuhudannya lebih terpatri lagi. Ia lebih suka berdakwah menyebarkan ajaran Islam, mengajarkan kezuhudan dan mewariskannya kepada santri dan anak turunya.

Melihat jalur keturunan yang sedemikian rupa itu, maka tidak mengherankan kalau kezuhudan Kyai Ageng Basyariyah yang mempunyai nama kecil Bagus Harun terwariskan kepada cucu beliau, yaitu KH. Abdurrahman Wahid alis Gus Dur. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Rohmad Arkam (Dosen STKIP PGRI Ponorogo)

Editor: Hakim